Jiwa di Hati Langit

29 1 2
                                    

Jiwa?

Siapa jiwa?

Bahkan saudara kembarnya—Raga—tak pernah menganggapnya ada. Bahkan Ibu juga. Hanya ayah, dan Ayah bahkan jarang pulang.

Jiwa tumbuh menjadi anak yang bisa dikatakan agak berandal. Dirinya masuk didalam dunia gelap. Pergi malam saat usianya baru saja genap 15. Merokok, melakukan keonaran sampai ia hampir di DO di tahun akhir masa putih birunya.

Ibu dan Raga tak habis pikir dengan Jiwa. Tapi apa peduli Jiwa kalau mereka hanya bisa mengomeli Jiwa dan mengolok-oloknya?

Walaupun dengan susah payah memohon ikut ujian kepada pihak sekolah, Jiwa akhirnya lulus dengan nilai yang baik dan masuk SMA yang sama dengan Raga. Tak ada perubahan, Jiwa bahkan masuk Basis lagi. Membuat keonaran lagi, bahkan Jiwa lebih berani sekarang. Dia disahkan menjadi ketua basis di angkatannya.

Katakanlah Jiwa adalah anak yang berandal, tapi jiwa kepemimpinannya tidak seburuk itu. Kalau saja Ibu menyayanginya sama seperti Raga, dan Raga menganggap Jiwa sebagai saudara kembarnya dengan baik, Mungkin Jiwa bukan jadi ketua basis, tapi ketua osis!

Tapi apalah daya Jiwa, bahkan posisi ketua osis sekarang sudah direbut Raga di tahun pertama di SMA nya. Raga memang sepintar itu. Menjuarai perlombaan mata pelajaran bergengsi tingkat nasional, jabatan ketua osis bahkan sangat mudah diraih olehnya.

Tapi apakah Jiwa juga tak bisa dianggap sama karena dirinya tidak ahli dibidang pelajaran itu? Jiwa tetap jago basket, Jiwa tetap pandai menulis puisi, Jiwa tetap pandai dalam seni. Walau seluruh keluarganya tak pernah tau, karena Jiwa terlalu takut untuk menunjukkan itu. Jiwa takut mereka mengabaikan karya Jiwa di depan matanya sendiri. Padahal Jiwa belum mencoba...

Sampai Jiwa memasuki tahun kedua di SMA. Jiwa mengurangi kegiatan Basis dan pergi ke rooftop sekolah untuk melukis dan menyelipkan puisi diujung lukisannya. Setiap sore selalu begitu. Tidak ada yang mengetahui kegiatan Jiwa selain Tuhan dan perempuan itu. Perempuan yang selalu memperhatikan wajah Jiwa yang lelah. Perempuan yang ikut menangis saat Jiwa menangis. Perempuan yang ikut senang karena Jiwa berhasil menyelesaikan lukisannya. Perempuan yang juga lemah dan tak mampu menunjukkan dirinya di depan Jiwa, sama dengan Jiwa yang tidak mampu menunjukkan diri yang sebenernya di depan umum.

Hari ini perempuan itu menemui Jiwa. Yang bertingkah seolah orang yang paling misterius padahal dia hanya ingin menutupi lukanya. Berusaha memanipulasi sikapnya yang berubah-ubah untuk menutupi keresahan hatinya, demi tak terlihat lemah di hadapan Jiwa.

Perempuan itu tampak menyapa Jiwa saat Jiwa tengah asik melukis. Tak ia sangka Jiwa bahkan tak sengaja merobek lukisannya karena Jiwa kaget setengah mati. Perempuan itu sempat merasa bersalah tapi ia mencoba berkata, "Apapun karyamu, Seburuk apapun karyamu, karya tetaplah karya. Berasal dari hati yang tulus. Dan sekarang kamu merobek karyamu, itu sama saja seperti merobek hatimu sendiri kan?"

Ucapan itu tak sengaja lolos dari bibir mungilnya. Ucapan yang tulus dari hati demi melihat Jiwa tampak tersenyum disana.

"Siapa namamu?" tanya Jiwa kala itu. Jiwa sangatlah terkesan.

Perempuan itu tersenyum seraya mengulurkan tangannya untuk Jiwa jabat, "Bintang di Langit"

Jiwa menjabat tangan mungil itu, "Nama yang bagus, saya Jiwa Perkasa."

Berjabat tangan seperti itu dan melihat senyum yang terbit karenanya membuat Bintang seolah berada di langit ketujuh, tapi demi menutupi senangnya ia berkata, "Jiwa yang perkasa, tetapi tidak mampu menunjukkan dirinya yang sebenarnya, artinya nama kamu sangat tidak sesuai dengan kepribadianmu, bukan begitu?" ucapnya.

Sedikit tersinggung Jiwa menjawab, "Kalau begitu Bintang sepertimu juga tidak pantas di langit, karena kata-katamu seperti jurang yang selalu berada di bawah dan dalam. Nama mu tidak cocok dengan kepribadianmu." ucapnya kesal.

Jiwa di Hati LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang