Prolog

68 35 56
                                    

Daegu, 30 Desember 2010

"Jung Hoo! Jung Hoo! Jung Hoo!"

Semua anak di dalam kelas itu bertepuk tangan sambil bersorak ricuh. Bak pertandingan gulat para sumo, suasananya bercampur menegangkan.

Dua anak yang berhadapan di depan mereka tengah saling menatap dengan tajam seakan benar-benar berada di arena tinju.

Jung Hoo, salah satu dari keduanya, mengacungkan jarinya kepada rival didepannya dengan angkuh,  "Ya! Perempuan setengah pria! Lebih baik kau menyerah saja! Aku masih bisa mentoleran karena kau ini wanita, lebih baik menyerah saja daripada harus menangis dan memeluk ibumu nanti, hahaha!"

Semua anak didalam kelas itu turut tertawa, sedangkan anak yang disebut Jung Hoo sebagai ‘Wanita setengah pria’ hanya berdecih kesal sambil merapikan topi yang ia kenakan.

"Cih, kau pikir aku sepenakut kau, Sang Anak Mama?" balas gadis itu menekankan kata 'Sang Anak Mama'.

Hal ini berhasil membuat Jung Hoo naik pitam, tanpa pikir panjang dia mendekat ke arah gadis itu lalu mencengkram kerahnya kuat-kuat, "Apa yang kau katakan barusan huh? Katakan sekali lagi kau akan ma—"

"Jung Hoo, Sang. Anak. Ma. ma." Tanpa takut, gadis itu tersenyum miring.

Jung Hoo melayangkan tinjunya, namun sebelum tangannya menyentuh wajah gadis itu, gadis itu sudah menendang selangkangannya terlebih dahulu kemudian meninjunya sekuat tenaga.

Jung Hoo tersungkur, mengumpat keras dalam hati. Anak-anak menjadi semakin ricuh, kebanyakan dari mereka terkejut dengan apa yang dilakukan gadis itu.

Sementara itu, gadis didepan mereka malah tersenyum lebar, lega akhirnya dia dapat melakukan hal yang dia tahan dari dulu kepada anak laki-laki ini.

Anak laki-laki itu berdiri, walaupun selangkangannya berdenyut kesakitan, dia memaksa, dia tidak boleh kalah oleh anak gadis sok kuat didepannya.

"Saekkiya!" Jung Hoo berlari membawa kepalan tangannya lalu—Bugh!

Lagi-lagi dia kalah cepat dengan gadis itu. Bukannya Gadis itu yang babak belur malah dirinya yang hancur. Malu juga sakit disaat yang bersamaan. Hei?! Tidak ada yang bisa mengalahkan Si Jago Jung Hoo. Tapi seorang gadis jadi-jadian memukulnya dengan santai, apa ini lelucon?!

Gadis itu mendekati Jung Hoo yang masih meringis kesakitan, berjongkok diatas tubuhnya dan berniat melayangkan tinjunya. Jung Hoo yang sudah kewalahan menutup wajahnya lalu berteriak,  "ARGH!!! SESEORANG TOLONG AKU! DIA INI GILA!"

BRAK!!

"YERIN-SSI!!!!!!!"

****

Seorang wanita paruh baya duduk menyilangkan tangannya sambil menatap anak laki-laki di depannya dengan iba. Menggeleng-gelengkan kepalanya saat anak itu menyelesaikan kalimatnya, "Jadi maksudmu, Yerin tiba-tiba saja berteriak marah ke seluruh kelas dan memukulmu?"

Anak itu mengangguk. Gadis disampingnya mendelik, hey?! Apa-apaan ini?!

"Yerin-ssi!" Mata wanita paruh baya itu beralih menatap gadis yang dia sebut Yerin dengan tajam, "Kenapa kau selalu saja melukai temanmu sendiri eoh?"

Yerin memutar bola matanya kesal. Memori menjengkelkan yang pernah dia lalui terputar kembali di dalam otaknya.
 
"Ya! Gadis jadi-jadian? Kau ini kenapa tidak pakai celana saja huh?"

"Jangan dekat-dekat dengan dia, dia ini aneh."

"Hei gadis aneh! Kenapa kau selalu pakai topi terbalik sih? Aku yakin otaknya pasti juga terbalik!"

"Yerin-ssi!!" Wanita didepannya berteriak, membuat lamunannya buyar, "Jawab pertanyaanku!"

"Mereka selalu mengejekku, Woo Ah-nim." Ah, Yerin bosan mengatakan ini, tapi mau bagaimana lagi?

Woo Ah, wanita paruh baya yang notabenenya adalah kepala sekolah Yerin hanya bisa memijat pangkal hidungnya, lelah, setiap minggu dia hanya pusing memikirkan muridnya yang nakal ini. Terlebih lagi, ini perempuan! Seorang gadis! Bagaimana bisa dia sebegitu berandalnya untuk seorang gadis berumur 11 tahun?

"Kau sudah memakai alasan itu saat puluhan kasusmu yang sama sebelumnya, Yerin-ssi..." Yerin menunduk lemas, "Aku akan menghubungi orang tua mu lagi." Woo Ah mengangkat gagang telepon didepannya.

"Tapi, Woo Ah-nim! Jung Hoo berbohong! Dia yang—"

"Kalau kau melakukan ini lagi, kau akan dikeluarkan dari sekolah Yerin-ssi."

****

"Hiks, hiks..."  

Diantara salju yang turun dan angin dingin yang berhembus, seorang gadis duduk ditaman belakang sekolah sendiri sambil menangis sesenggukan dengan tatapannya yang kosong.

Ibunya memarahinya habis-habisan kali ini. Katanya dia tidak akan diberi uang jajan selama satu bulan karena ulahnya tadi.

Park Yerin semakin terisak pada kesendiriannya ini. Mengapa tidak ada orang yang peduli dan mendengarkan sedikit saja keluh kesahnya?

Salju yang turun semakin lebat. Dingin mulai menjalar ke seluruh tubuh gadis itu. Gadis itu tidak peduli. Toh, memang tidak akan ada yang peduli walau dia menghilang dari dunia ini.

"Hei? Apa yang dilakukan anak gadis itu disini?" Seorang lelaki dewasa lewat dan menatapnya dengan iba.

Wanita disampingnya menggeleng, "Ya! Kau gadis kecil! Pulanglah ke rumah, akan ada badai salju sebentar lagi!"

"Ah, ayo kita pulang, pasti dia juga akan pulang sebentar lagi." ujar pria itu, menarik wanita disebelahnya dan berlari pergi.

Wussshh

Angin yang sangat kencang datang dan membuat syal yang dikenakan Yerin terbang entah kemana. Yerin panik, mengelap air mata di pipinya dan sadar kalau dirinya benar-benar dalam bahaya.

Gadis itu meringkuk, angin besar yang berhembus bersama salju membuatnya susah melihat. Tubuhnya perlahan menggigil. Tangannya diatas kepala menahan agar topi yang dipakainya tidak ikut terbang seperti syalnya tadi.

Sebuah tangan menggenggam pergelangannya erat. Gadis itu mendongak, namun salju yang turun menghujam wajahnya itu membuatnya kesulitan melihat.

Tangan itu menarik Yerin pergi entah kemana.

Tibalah mereka disebuah gorong-gorong tua tak terpakai. Kini dapat ia lihat sosok itu dari belakang walau samar-samar karena gelap.

Seorang anak laki-laki, lebih tinggi dari dirinya, memakai jaket bolong-bolong, celananya kucel dan sedikit timpang. Yerin meringis, pasti anak ini lebih kedinginan dari pada dirinya.

Gadis kecil itu menatap ke bawah. Tersenyum memandang tangannya yang masih dalam genggaman anak itu. Hangat. Tidak ada yang menggenggamnya sehangat ini selain ibu dan ayah.

"Terimakasih." Ujarnya.

Langkah anak itu berhenti lalu menoleh.

Manik kecil gadis itu membulat. Hatinya mencelos saat melihat rupa anak itu yang sangat kotor. Anak itu mengangguk pelan.

Yerin tersenyum sendu, "Namaku Yerin. Park Yerin, apa kau mau jadi temanku?"

.
.
.
.
.
.
.

Truth Untold,
Started, June 4 2018

Truth Untold •KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang