Prolog

33 2 0
                                    

Pernah nggak sih kamu ketika bangun di pagi hari merasa nggak ada semangat buat melakukan apapun, buat menjalani hidup? Jika kamu belum pernah merasakannya, selamat. Kamu beruntung.

Sudah beberapa bulan terakhir ini aku merasakan hal tersebut. Jika orang lain bilang aku hanya jenuh, aku nggak merasakan kejenuhan, tapi aku merasakan kegamangan. Kegiatanku selama ini memang terkesan monoton, tidak ada yang istimewa. Rumah - kantor - rumah - kantor. Aku melakukan rutinitas tersebut bertahun-tahun. Dan itu nggak pernah aku sesali. Hanya saja seperti yang aku bilang di awal, aku gamang.

Aku tinggal bersama kedua orang tuaku. Dimana ayahku terlampau keras orangnya. Ibuku terlalu penurut dan takut sama ayahku. Apalagi aku, yang amat sangat ketakutan, malas jika harus berada dalam satu ruangan bersama ayahku. Tapi aku selalu mensugesti diriku sendiri jika ini adalah kunci surgaku. Hanya saja itu nggak baik untuk kesehatan mentalku.

Sore ini sepulang kerja, belum sempat istirahat, aku sudah diajak 'diskusi' panjang lebar sama ayahku. Perkara yang buatku harusnya menjadi ranah ibuku untuk berbicara akan tetapi diambil alih oleh ayahku.

"Punya anak perempuan tinggal di rumah bukannya rajin tapi malas banget. Masak nggak pernah, setrika nggak pernah. Pagi bangun cuma nyuci, nyapu, makan langsung berangkat kerja. Ngekos aja daripada disini hanya merepotkan orang tua saja. Beda banget sama adikmu, mandiri banget. Ngekos sekarang udah punya rumah sendiri, tinggal sama suaminya. Lha kamu apa yang kamu punya, haa?"

Aku hanya diam tak menanggapi apapun ketika ayahku mengatakan kejelekanku. Dulu aku berani menentang segala perkataan ayahku. Tapi sekarang, aku memilih diam. Bukan karena mengiyakan semua perkataan ayahku, hanya saja aku meminimalisir resiko yang akan terjadi jika aku menentang perkataan ayahku. Dan pastinya aku akan menyesali semua perkataan yang keluar dari mulutku.

Melihat aku yang hanya diam, ayahku semakin memojokkanku. Dan aku hanya bisa diam mendengarkannya.

"Yo pantes kamu malas kayak gini. Gimana jodohmu mau dekat, mbak, kalau kamunya aja malas, malah kerjaannya nyuruh-nyuruh orang tua kayak gini. Nyuruh ibumu masak, setrika, jemur pakaian."

Aku hanya bisa beristighfar dalam hati ketika mendengar semua perkataan ayahku. Berharap itu semua tak menjadi doa buruk untukku.

Melihat kediamanku, ayahku akhirnya memutuskan untuk pergi melangkah dari depanku. Aku hanya bisa melanjutkan langkahku ke kamar, tempat teraman untuk aku.

Aku tak pernah meminta ibuku untuk memasak, setrika bajuku. Ibu melakukan itu karena ibu tahu, jam 7 pagi, ayahku sudah siap untuk sarapan. Alhasil sekalian membuatkanku sarapan. Setrika, aku tak pernah meminta ibuku menyetrika bajuku, aku sudah pernah bilang, bajuku biar aku yang setrika. Tapi tetap ibuku bilang, jatahku setrika setiap weekend.

Aku hanya bisa menurut apa yang sudah ibu katakan, karena aku tahu, surgaku di bawah telapak kaki ibuku.

Hingga malam tiba, aku tetap sulit memejamkan mata, mengingat hatiku sudah teramat sakit ketika ayahku mengajakku 'diskusi' sore tadi. Hal ini tak aku sukai, karena ujung-ujungnya, aku akan kembali meminum obat yang mengandung obat tidur agar aku bisa tidur nyenyak hingga pagi hari dan berharap apa yang terjadi sore ini tadi hanya mimpi semata.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 12, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tiga LimaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang