KEPUTUSAN

50 8 31
                                    

Seorang perempuan harus bijak mengambil keputusan bila tak ingin hatinya kecewa. 

Anaya. Gadis berumur dua puluh tahun yang digandrungi para lelaki karena ayunya. Tapi siapa sangka di dalam pikirnya bahwa ia merasa tak ada satupun lelaki yang sesuai untuk dijadikan pendamping hidup. 

Semenjak lelaki yang perjuangkan cintanya malah pergi memilih perempuan lain, Anaya menjadi sosok yang pemurung. Bahkan tak ingin lagi mengenal tentang lelaki. Baginya semua lelaki sama. Awalnya selalu memberikan perhatian, namun pergi disaat Anaya mulai peduli. 

 Anaya memilih untuk menghapus rasa cintanya. Sekarang perempuan berkulit putih itu menjadi pribadi cuek tak ada senyum yang mengulum di bibir tipisnya. Jika ada lelaki mendekat ia selalu menghindar. Sayang, membuang cinta untuk orang yang tidak tepat pikirnya.

Hujan menghiasi langit sore kala itu. Seorang lelaki berjambang tipis mendekat ke Anaya yang sedang menunggu hujan mereda di emperan toko bersama dengan orang lain yang terjebak disana. Dengan membawa payung  lelaki itu mencoba menawarkan tumpangan.

"Hai, mau gak pulang bareng?" tanya lelaki itu.

"Ga usah terima kasih," jawab Anaya cuek.

"Kamu Anaya kan? kenalin namaku Leon," Leon menyodorkan tangan ke arah Anaya berharap perempuan dingin itu mau berjabat denganya. Anaya melarikan pandangan ke arah lain, seolah tak ingin diganggu. 

"Ya udah, kalo ga mau salaman, gapapa kok." Leon menarik tangannya kembali.

Tiba-tiba kilat berkilau melintas menciptakan suara petir yang menggelegar.

Aaaaa!!!

Sontak Anaya yang takut petir itu menggenggam tangan Leon. 

"Hmm ... tadi ga mau diajak salaman malah sekarang pegangan." Leon tersenyum menggoda.

"Eh. maaf," ucap Anaya gugup. Terlihat pipinya bersemu merah.

"Masih ga mau diajak pulang bareng hmm?" Tanya Leon lagi sambil menaikan alisnya. Manik hitam lelaki itu menatap Anaya lekat.

Anaya semakin gugup. Sekali lagi kilat menyambar disusul suara menggelegar di angkasa. Kali ini ia bermaksud berlindung di samping Leon. Dengan rasa takut Anaya menutup mata dan kedua telinga seperti tak ingin melihat kilat. Karena gugup tubuh Leon terdorong. Hampir saja jatuh sehingga posisi mereka kini saling berpegangan. 

Leon menatap wajah Anaya yang memerah seperti tomat. Kemudian tersenyum lagi sambil mengambil payung yang sempat jatuh.

"Udah deh! kita ke mobil sekarang. nanti bajumu basah kamu bisa sakit." kemudian Leon menarik tangan Anaya menuju mobil dan membukakan pintu untuknya. 

Anaya tak mampu berkata apa-apa, hanya menurut saja. Di dalam mobil ia diam sambil memerhatikan Leon menyetir. Setelah agak lama ia membuka suara.

"Leon kamu dingin gak?"

"Enggak! yang dingin tuh sikap kamu ke aku. Dingin banget." jawab Leon ketus tanpa menoleh. Sejenak hening. Hanya terdengar suara mesin. "Sebenarnya aku udah lama pengen ngobrol sama kamu, tapi kamunya cuek. Beruntung kamu takut petir, kalau tidak aku takkan punya kesempatan berdua sama kamu. Ternyata bener, hujan adalah waktu yang baik untuk berdoa," Lanjut Leon lagi penuh kemenangan.

Anaya diam. Kesal? mungkin. 

Leon memutar tombol Ac membuat ruangan di dalam mobil tak sedingin tadi. Hening lagi. Ia menghentikan laju mobilnya di bahujalan. Sejenak melepaskan jaket yang  dikenakan lalu disodorkan pada Anaya.

"Nih pake." Anaya mengangguk. "Ow iya, rumahmu dimana?" tanya Leon.

"Sebentar lagi ada pertigaan, ambil yang kekiri nanti ada rumah bercat putih aku turun disitu."

UNGKAPAN HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang