ARTI KESETIAAN

13 3 1
                                    

    “Bang, kita cerai aja yah?”

    Aku terkejut mendengar hal itu. Baru kali ini Navia mengatakan suatu kalimat yang dibenci selama dua tahun di usia pernikahan kami. Ketika itu anak kami sudah berumur satu tahun. Sedang lucu-lucunya. Seketika pikiranku kacau.

    “Bang …,” ucap Navia lagi menanti jawabku.

    Aku diam membisu. Suasana di resto menjadi hening. Hanya degup jantung yang terdengar di telinga sendiri. Seolah mengisyaratkan ada sesuatu bagian lainya yang merasa sakit. Hati. Hatiku seperti teriris sampai meneteskan darah. Hati yang dulu kubagi separuh untuk Navia.

    Aku menggenggam tanganya. Berusaha menguatkan hati Navia, namun ia lepas. Air matanya menitik tapi ia mencoba menghapusnya dengan ujung jari.

    Aku tahu ini salah. Mengajak bicara seorang kasir di minimarket yang notabene pernah menjadi  kekasih. Lalu chating mesra di sosmed diam-diam hingga kencan tanpa sepengetahuan Navia. Khilaf? Aku sengaja ingin menghidupkan komunikasi itu kembali dengan dalih menjalin silahturahmi. Bodohnya aku menjalani silahturahmi dengan orang yang pernah singgah di ruang hati. Menggugah kisah lama mengulit kenangan. Apa untungnya? Bahkan aku hampir kehilangan darah dagingku sendiri.

    “Tidak Navia!” jawabku tegas. “Ini bisa diperbaiki, beri aku kesempatan.” Aku menarik napas dalam.

    “Kesempatan yang ke berapa lagi, Bang?” Istriku terisak. “Berapa kali Abang lakuin kesalahan dan berapa kali aku maafin demi Khaira. Via gak pengen setelah Khaira besar nanti dia diejek teman-temannya karena gak punya Ayah. Aku pernah merasakan itu, Bang. Tapi aku juga gak mau Khaira dengerin pertengkaran kita tiap hari. Kamu tahu itu kan, Bang?” Navia menatapku lekat dengan ekspresi yang tak bisa kujelaskan setelah menumpahkan isi hatinya.

    Navia benar. Memang sulit menerima takdir sebagai anak broken home. Apalagi traumanya. Bahkan aku sendiri terlahir tanpa seorang ayah. Tapi aku masih beruntung karena Paman menganggap seperti anak sendiri. Setidaknya aku mendapatkan didikan dan kasih sayang dari seorang lelaki yang dihormati.

    Bagaimana dengan Khaira? Putriku darah dagingku. Apakah sampai hati aku membiarkan dia tanpa seorang ayah. Lelaki pertama yang mencintai dan memberinya rasa aman. Sementara aku sangat mengharap kelak ia yang akan merawat di masa tua.

    “Istriku … masihkah kau ingat janjiku? Apapun yang terjadi walau kita bertengkar tiap hari sekalipun aku takkan menceraikanmu. Apa setelah kita bercerai nanti kau bisa memastikan Khaira baik-baik saja? Tidak Navia. Sekali lagi tidak!”

Navia menggelengkan kepalanya lemah. Aku tahu perkara ini berat baginya.

    Talak memang ada di tangan suami, sebab itulah aku selalu menggenggamnya. Karena setan  takkan pernah suka melihat suami istri bersatu. Bila genggaman itu lepas semua menjadi tidak baik, untukku, Navia,dan segenap keluarga. Hubungan kekeluargaan terputus. Walau tidak untuk anakku.  

    Namun aku menyadari sepenuhnya. Memaafkan seseorang juga membutuhkan proses. Untuk melupakan sakitnya, menyembuhkan lukanya dan membuka kembali pintu hatinya. Dan kami memilih berpisah sementara. Bukan lagi pisah ranjang atau pisah rumah. Kami terpisah pulau antara Kalimantan dan Jawa demi keutuhan rumah tangga. Sekaligus mengubur kenangan mantan yang sempat kugali.

Aku menerima pekerjaan mengurus ladang sawit milik Paman sekaligus menjalani hukuman sendiri. Hukuman? Begitu aku menyebutnya. Resiko seorang yang sengaja melakukan kesalahan bahkan dosa. Menahan rindu yang sangat hebat pada Khaira yang dulu selalu kucium wangi tubuhnya, mengelus kepala yang plontos dan bermain dengannya. Ah! Semuanya.

Seminggu bahkan sebulan tak pernah aku jauh dari istri dan anak. Meski sesekali menelepon rumah untuk mengurangi rindu dan memantau keadaan Navia juga Khaira. Walau masih ditanggapi dengan nada kesal. Setidaknya bisa mendengar celoteh Khaira sebagai penyemangat kecilku.

Di tanah seberang kebiasaan baru tercipta. Mengirim gaji setiap bulan. Terkadang mengirim paket baju kesukaan Navia dan Khaira. Menanyakan kabar keluarga, saudara dan mertua. Sebagai tanda bahwa masih menjadi suami serta ayah. Sembari menanti waktu dipertemukan kembali dengan keluarga.

Kini aku telah sampai di depan resto. Resto yang dulu pernah menyimpan kisah pahit. Karena di sini kami bertemu, jadian, kencan, membicarakan masalah dan berpisah. Miris. Tapi tetap ada rasa manisnya. Sebab di sini adalah tempat awal pertemuan setelah hampir satu tahun aku meninggalkannya. Meninggalkan ia dalam kesendirian penuh luka.

Aku duduk lalu memesan dua minuman. Sembari memanggul sekarung rindu, menanti bertemu aku membalas chat-chat mesra. Hingga wangi itu datang mengusik hidung. Wangi yang lama kurindu.

“Navia?”

“Bang ….”

Suara lembut itu masih sama. Ia tersenyum sangat manis ditambah dres warna biru yang membalut tubuhnya. Cantik. Tapi … ia tak sendiri. Ia bersama lelaki dengan postur tubuh tinggi kurus. Bukan saudaraku. Apalagi adiknya.

Siapa lelaki yang bersamanya? Jantung mulai berdetak tidak karuan. Rahangku mengeras tangan mengepal menahan geram.

“Kamu boleh pulang,” ucap Navia pada lelaki itu seraya memberikan uang padanya.

Sial! Aku cemburu pada tukang ojek online.

Aku menghempaskan napas berat yang sedari tadi tertahan. Syukurlah.

Ternyata benar kata orang tua, lama tak bertemu akan menimbulkan rindu. Rindu yang dalam akan menumbuhkan cinta. Bahkan cinta yang lebih besar hingga cemburu seperti ini.

Urat syaraf perlahan mengendur saat Navia mencium tanganku lalu memeluk erat melepas rindu yang menjerat. Saat itu aku menyadari. Betapa beratnya berjuang demi menjaga kesetiaan setelah perjanjian.

UNGKAPAN HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang