"Arin, nanti kuliah mau ambil jurusan apa?"
"Kayaknya arsitektur deh,"
"Alasannya?"
"Aku ingin merancang hati dengan bangunan yang kokoh, kuat, tahan lama, dan tidak mudah patah. Agar aku bisa lebih sabar, ikhlas, dan selalu menerima dunia yang tak pernah memihak."Mereka duduk berdua di atas rumput sintetis sambil menikmati angin sore. Mereka percaya, jika taman belakang sekolah adalah tempat yang paling nyaman untuk berbagi kisah kasih mereka.
"Kalo gitu aku ingin jadi tukang bangunannya."
"Ali!"
"Gapapa, biar aku bisa merealisasikan keinginanmu."
"Emang bisa?"
"Kamu ragu, Arin?"
"Bukan, tapi aku tidak percaya."
"Jangan percaya, nanti diguna-guna!"
"Hih!"Ini bukan pertama kalinya seorang Maurina Gilsha dibuat bingung dengan kata-kata tidak nyambung Ali Arsenio. Selalu tidak nyambung, dan kadang membuat Arin jengkel. Namun, Revan juga selalu punya cara untuk meredakan kejengkelan Arin.
"Ali,"
"Hmm?" Ali menoleh,
"Aku mau bicara,"
"Dari tadi kamu sudah bicara."
"Eishh, yang ini bicaranya beda."
"Iya, aku dengerin."Arin lama terdiam, pandangannya lurus. Ali dengan setia menunggu Arin mengeluarkan kata perkatanya, yang tentu kali ini tengah serius.
"Aku gak tahu, kita bisa gini terus atau enggak, Al."
"Maksudnya?"
"Kamu berkewarganegaraan Indonesia, nilai bahasa Indonesiamu juga bagus, seharusnya kamu mengerti."
"Kamu takut kita berpisah, ya?"
"Mungkin,"
"Arin, mungkin kita dipertemukan tuhan hanya untuk saling memberikan pelajaran dalam kenangan kita masing-masing. Setelah itu hanya ada dua kemungkinan yang terjadi, menyimpan kenangan atau meninggalkan kenangan."
"Dua kemungkinan itu tidak menguntungkan bagiku. Memangnya tak ada kemungkinan untuk melanjutkan kenangan?"
"Dunia ini fana, Arin. Apapun isinya perlahan akan minggat, menemui kehidupan yang nyata."
"Bagaimana kal--"
"Jangan terlalu banyak bagaimana dalam hidup, Arin. Kita jalani saja segala kenyataan,"
"Kenyataan selalu menyakitkan, dunia tak pernah baik-baik saja. Semua cinta pergi satu-persatu, mungkin kamu juga akan pergi."Ali sudah tahu kemana arah pembicaraan Arin, wanitanya itu takut akan kehilangan. Kehilangan yang membuatnya rapuh, Arin takut dengan kenyataan itu. Arin butuh kata-kata penenang dalam hal itu, sama seperti apa yang selalu Ali lakukan untuk Arin.
"Pergi bukan berarti meninggalkan. Percayalah, jangan takut akan kata pergi."
"Sebentar lagi aku akan menjadi mahasiswa, aku sudah dewasa, aku tidak butuh lagi kata-kata penenang, Ali."
Ali menoleh, "Kata-kataku memang tidak meyakinkan,"
"Tapi, kata-katamu mampu membunuh kerapuhanku."
"Itu memang tugasku,"
![](https://img.wattpad.com/cover/150295931-288-k864311.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka & Kerapuhan
Random"Kamu tahu?" "Tidak," "Yasudah!" "Jangan banyak yasudah, Arin." "Hah?" "Jatuhnya kamu kayak yang mengalah." "Jawaban tidak, sudah mewakili semuanya, Van." "Jawaban tidakku itu karena aku memang tidak tahu, tapi bukan berarti aku tidak mau tahu." "Y...