Udara dingin di pagi hari memang selalu menyelimuti Kota Fukuoka, Jepang. Tungku api terus-menerus menyala dan menyelamatkan wanita berambut panjang yang sedang tertidur pulas di rumahnya dari kedinginan.
Sial! Hari ini aku harus bekerja!
Ia tak bisa bayangkan jika hari ini ia bolos bekerja. Pasti ia akan dimarahi habis-habisan oleh Tuan Akira, pemilik perusahaan tempat ia bekerja.
Dengan berat hati, ia beranjak dari ranjangnya—pusat gravitasi bumi terbesar saat ini—dan bergegas ke kamar mandinya.***
"Kau belum berangkat, kan? Bisakah kau menunggu di stasiun sampai aku tiba?"
Kuakhiri sambungan telepon. Kulirik jam tanganku. Masih tersisa banyak waktu hingga jam masuk kerja.
Kerja di Jepang membuatku terbiasa untuk disiplin dan menjadi orang yang sangat sibuk. Tetapi aku senang menjalaninya. Dengan begitu, aku seperti tak punya masalah lagi.
"Erika!"
Terdengar seseorang berteriak memanggil namaku saat aku tiba di stasiun. Suara khasnya membuatku tak usah bertanya-tanya lagi. Sudah jelas, itu suara Febi.
"Sudah lama menunggu di sini?" tanyaku.
"Sudah lama sekali! Ah, tapi hari ini kamu sudah berjanji padaku."
"Maksudmu?"
"Kamu lupa? Hari ini kamu akan bercerita kepadaku."
"Penting sekali?"
"Hal ini menjadi sangat penting mengingat tiba-tiba kamu menangis ketika aku bercerita kemarin. Hal yang sangat aneh, bukan?"
Haruskah kuceritakan semua ini pada Febi?
"Ayolah! Aku siap menjadi pendengarmu."
"Ya sudah jika kau memaksa."
KAMU SEDANG MEMBACA
LAUT
Teen FictionLaut. Bayangan tentang hamparan air itu menyusup ke dalam pikiranku--kelam dan menakutkan. Tak adakah yang lebih menakutkan dari laut? Dulu memang aku takut pada lautan, tetapi sekarang aku lebih takut pada situasi ini. Wahai pelaut, datanglah lagi...