satu

218 19 15
                                    

(remember to play the music —)
selamat membaca

“Kita cukupkan rapat pada hari ini.”

Tanpa menunggu aba-aba berikutnya, semua yang ada di ruangan beranjak dan membubarkan diri. Termasuk aku. Sekujur badanku sudah terasa pegal sekali. Sendi-sendiku kacau, seperti tidak ada di tempat hingga untuk berdiri saja rasanya tidak mampu. Rapat HIMA yang dimulai pukul 7 lalu dan baru saja selesai memang benar-benar menguras tenaga. Walau buatku itu bukan sesuatu yang baru.

Menjadi mahasiswa semester 3 sekaligus anggota HIMA, awalnya tidak mudah. Tuntutan IPS (Indeks Prestasi Semester/IPK semester) naik—atau setidaknya bertahan— sekaligus tuntutan aktif di organisasi, membuatku tertekan. Belum lagi, tidak jarang saat rapat, telingaku harus mendengarkan perdebatan-perdebatan yang membuat hati panas.

“Mela ndak mulih?”

Aku menoleh, mendapati laki-laki berkemeja biru yang sedang menunggangi motor maticnya, menatap ke arahku.

“Eh Faris. Iya, ini aku mau pesen ojek, kok.”

Wes  malem gini, yakin bisa dapet driver?” tanya Faris memastikan, “Aku solo nih. Nebeng aku aja gimana?” tawarnya.

Aku menengadah. Bulan separuh menggantung tenang di langit Purwokerto malam ini. Bunyi dedaunan yang bergesekan dengan siut angin menambah kesan sunyi. Hanya terlihat satu-dua kendaraan berlalu-lalang. Lampu-lampu jalan berpendar menyingkirkan bayangan pohon-pohon besar yang berjejer rapi di bahu jalan. Belum lagi gedung universitas yang berdiri megah di belakang, entah kenapa menambah kesan tidak enak. Mengingat, teman-teman yang lain sudah tidak nampak batang hidungnya.

“Gimana? Kalau ndak mau, yo wes aku tinggal,” kata Faris lagi. Setelah berpikir ulang, aku akhirnya mengiyakan tawaran Faris. Aku takut tidak dapat driver dan malah membeku di sini sampai besok. Kemudian, motor merah Faris melesat meninggalkan gedung kampus dengan mengikutsertakan aku di jok belakangnya.

“Mela ndak ada niatan nyalon jadi ketua HIMA gitu?” tanya Faris dengan logat Jawanya yang kental.

Laki-laki asli Jogja yang bernama lengkap Faris Pradipta Naufal ini sebenarnya kakak angkatanku. Beda satu tahun. Hanya saja, aku tidak memanggilnya dengan embel-embel Kak atau Mas atau semacamnya karena dia sendiri yang memintanya.

Faris menjabat sebagai ketua HIMA, yang automatis kami sering menjalankan program kerja bersama-sama. Aku sering mengobrol dengan Faris perihal materi perkuliahan yang aku kurang paham dan dia akan menjelaskannya dengan sabar. Itulah mengapa kami bisa akrab. Bahkan, tidak jarang aku diajak hangout, bertemu dengan teman-teman Faris yang kebanyakan anak angkatan atas. Alhasil, banyak kakak angkatan yang kenal bahkan berteman baik denganku.

Sebagai seseorang yang memiliki jabatan di kampus, Faris memiliki segudang penggemar yang kebanyakan—dan hampir semua, mungkin— perempuan. Selain karena pembawaannya yang khas, dengan kulit sawo matangnya itu, Faris punya senyum manis.

“Nggak, Ris. Jadi anggota aja udah capek. Apalagi jadi ketua,” jawabku, “bisa-bisa pingsan aku.”

Tawa Faris meledak, “Ya ndak mungkin lah. Lagian jadi ketua HIMA itu asik tau, punya kenalan di mana-mana.”

“Kan bukan itu tujuan utamaku ikut HIMA. Tau lah Ris, aku cuma pengen ngisi waktu luang aja.”

Sepanjang perjalanan, tak jarang kudapati sekumpulan anak muda nongkrong-nongkrong di warung lamongan. Sambil menyantap lele atau ayam goreng, mereka menghangatkan malam dengan topik obrolan entah apa. Yang jelas, mereka sampai terbahak-bahak.

Aku melihat Faris mengarahkan pandangannya, menatap wajahku dari pantulan kaca spion. “Jadi ketua HIMA ndak mau…,” gumam Faris, masih tertangkap jelas oleh indera pendengaranku, “kalau jadi pacarku mau ndak?”

Hampir saja aku tersedak ludahku sendiri. Satu detik selanjutnya aku terkekeh.

“Kamu bisa ngegombal juga ya, Ris.”

“Aku ndak lagi gombal, Mela,” jelas Faris, “aku serius. Aku tresna kamu ,” lanjutnya dengan membubuhkan penekanan pada setiap kata. Mata elangnya fokus mengemudi, namun sesekali melirik ke kaca spion. Dari tatapannya, aku bisa tau kalau dia bersungguh-sungguh. Dan justru, hal itu membuatku gugup tidak terkendali. Tuhan, bisa nggak aku turun aja di sini?

“Jadi piye ?”

“Gi—gimana apanya?” tanyaku balik setengah terbata.

Gelem ndak dadi pacarku ?” Faris memelankan laju kendarannya, membuat detak jantungku kian terdengar jelas. “Aku tau mungkin caraku ini ndak romantis banget. Dan mungkin kamu butuh waktu buat pikir-pikir dulu?”

“Nggak Ris. Aku nggak butuh waktu.”

“Berarti, kamu bisa jawab malam ini?”

Aku mengangguk. Mendadak, aku merasa seisi Kota Satria ini atau bahkan mungkin, seisi dunia, sedang memperhatikanku sekarang.

“Maaf Ris….” kataku pelan, lebih seperti berbisik. Hanya dua kata tersebut yang bisa kukatakan. Aku enggan berucap lebih, takut melukainya. Dan aku harap, dengan kalimat singkat itu, dia bisa mengerti.

Faris terdiam cukup lama. Sebelum kata-kata bernada kecewa keluar dari mulutnya, “Ndak apa-apa. Aku ngerti.  Makasih ya.” Aku mendengar dia menghela nafas berat. Kalau saja aku tidak sayang nyawa, mungkin detik ini aku bisa melompat dari motor Faris. Habis, mau berbicara, mau bergerak, mendadak canggung sekali rasanya. Seperti semua yang bakal aku lakukan itu salah.

“Tapi, aku kepo loh. Kenapa, Mel? Seumur-umur, baru pertama ini aku ditolak wedhok . Adik angkatan juga, hehe,” Laki-laki berhidung mbangir itu tertawa kecil. Lebih seperti sedang menertawai dirinya sendiri.

“Aku … udah punya.,” kataku hati-hati.

“Mela sudah ada yang punya tah? Maaf Mel, aku ndak tau. Lagian kamu ndak pernah cerita.”

“Menurutku bukan hal yang penting buat diceritain.”

“Tapi buatku sih itu penting Mel,” kata Faris, “kalau boleh tau, siapa?”

“Kamu nggak mungkin kenal, Ris.”

“Beda kampus, tah?” tebaknya.

“Iya. Dia lagi pendidikan di Akmil sekarang.”

Faris mengohkan. “Dari kapan, Mel?”

“Dari kelas satu SMA.”

“Berarti udah tiga tahun dong?”

“Iya.”

Ngana tah. Longlast ya Mel. Ntar kalau nikahan, jangan lupa undang aku ya.”

“Iya Ris. Aku pasti kabar-kabar kamu kok.”

Untunglah Faris tipikal orang yang mudah mencairkan suasana. Aku juga senang, dia sama sekali tidak marah—kalau kecewa aku rasa iya— dan mendoakan hal yang baik untukku. Pantas saja banyak perempuan yang menyukainya. Pantas saja dia bilang tidak pernah sama sekali ditolak perempuan, terkecuali aku. Semoga saja, dia menemukan orang yang jauh lebih baik dan lebih layak daripada aku.

Laju motor Faris berhenti. Akhirnya, usai lima belas menit perjalanan diselingi percakapan yang terasa panjang bak kereta api, kami sampai di depan rumahku.

“Makasih ya Ris. Eh, mampir dulu?”

“Eish, ndak baik laki-laki bertamu di rumah perempuan semalam ini,” sahutnya, “soal yang tadi, jangan terlalu dipikirin ya Mel. Jangan menjauh, jangan jadi canggung loh. Jangan segan-segan minta tolong ke aku kalau butuh bantuan. Atau … anggep aja aku ndak pernah bilang begitu.”

Aku mengangguk. “Mana mungkin aku menjauh. Kamu kan, sahabatku.”

“Eh, aku ada sesuatu buat kamu,” Faris mengambil sebuah plastik hitam yang tergantung di motornya, lantas menyodorkannya padaku, “selamat ulang tahun, Melati Andini Puspa.”

[]

catatan:
ndak: tidak
mulih: pulang
wes: sudah
tresna: cinta
gelem: mau
dadi: jadi
piye: gimana
wedhok: perempuan
ngana: begitu

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang