dua

123 17 6
                                    

(remember to play the music—)

“Eh btw, lo serius sama apa yang lo bilang semalem, Mel?” celetuk Nesya.

Aku memutar bola mataku. “Iya aku serius lah Nes. Apa untungnya buatku coba, ngarang cerita begituan?”

“Iya juga sih. Tapi, gue masih ga percaya aja sih. Seorang Kak Faris ditolak cewek. Terus ceweknya kayak lo. Miris banget,” ceplosnya.

Semalam, aku buru-buru menelepon gadis asli ibu kota yang menjadi teman dekatku di kampus ini dan menceritakan apa yang terjadi. Termasuk perihal Faris mengucapkan selamat ulang tahun—dia menjadi yang pertama untuk tahun ini— sekaligus memberiku kado. Sebuah sketsa wajah berbingkai, dengan tulisan di pojok kanannya ‘Selamat ulang tahun. I love you 3000 -from Faris’ yang dilukisnya sendiri.

“Kalau gue jadi lo, ga pake mikir juga gue pasti terima lah. Kak Faris woy, Kak Faris!” tambah Nesya. Kemudian dia tersenyum-senyum sendiri seraya melihat ke luar jendela restoran, menikmati pemandangan alun-alun sore.

Aku beralih, mengabaikan Nesya, menatap nyalang layar ponselku. Membuka riwayat percakapan dengan seseorang yang aku rindu kehadirannya.

[Selamat bertugas, Mas. Jaga diri baik-baik, ya. See you really soon. (: ]

26 Juni. Tepat satu bulan sudah pesan itu terkirim dan bertanda dua centang biru. Selama itu juga aku tidak mendapatkan balasan barang satu huruf. Jariku bergeser, mengetuk profilnya. Masih sama. Tulisan terakhir dilihat 26 Mei pukul 22.39 berlatar foto seorang pria dengan senyum merekah berpakaian seragam hijau loreng hitam.

“Cailah, masih galau nungguin Mas Abid, Mel?” goda Nesya.

Aku mengangguk mantap, “Ya kamu kan tau sendiri , Nes,” jawabku sembari menyimpan ponselku dan kembali memakan bakso keju yang sudah kupesan sebelum keburu dingin.

“Jadi pacar taruna emang susah ya. Harus kuat-kuat nahan kangen! Dikit-dikit pendidikan, dikit-dikit pendidikan,” kata Nesya. Tangannya sibuk mengaduk-aduk es teh agar gulanya cepat larut. “Untung lo setia. Kalo nggak, pasti lo udah sama Kak Faris tuh. Ganteng, pinter, ketua HIMA lagi. Lo nggak ada penyesalan gitu udah nolak dia?”

Nesya bukan orang pertama yang mengatakan hal serupa. Teman-teman SMAku yang jauh lebih mengerti soal hubungan kami, pasti menanyakan hal yang sama jika bertemu.

Mas Abid gimana? Sering ketemu sama kamu ngga?

Setia amat kamu Mel, masih nungguin Mas Abid.

Kamu nggak mau cari cowok lain gitu, Mel? Kamu cape nggak sih nungguin Mas Abid?

Atau yang paling parah, pernah ada yang bilang begini, Eh kamu masih sama Mas Abid? Emangnya kamu yakin dia gak tergoda sama taruni-taruni di sana?

Aku sempat mengambil hati ucapan-ucapan itu. Tergoda mencari yang lain? Jengah menunggu? Iya, aku pernah. Apalagi tekanan jadwal kuliah padat, membuatku ingin mencari hiburan. Namun, ujung-ujungnya, aku selalu ingat bagaimana kami, aku dan Mas Abid sejak awal.

“Nggak nyesel sama sekali,” Aku menggeleng sebagai penegasan, “Kalo kamu diberi pilihan antara seseorang yang menemanimu berjuang dari 0 atau seseorang yang menemuimu ketika sudah di puncak, kamu bakal lebih pilih yang mana?”

“Ya … gue bakal pilih yang udah berjuang dari 0 sih.”

Kebisingan ibu-ibu sosialita yang bercipika-cipiki ria di meja sebelah menggantikan keheningan di antara kami. Suasana mall yang begitu ramai apalagi saat akhir pekan seperti ini, membuatku malas mau ke sini. Kalau bukan karena Nesya mentraktirku nonton bioskop sekaligus makan sebagai hadiah ulang tahunku, aku pasti menolak jika diajak ke sini.

“Eh, balik yuk. Aku mau siap-siap nih,” ajakku setelah pesananku habis disantap.

“Mau siap-siap ngapain?” Alis Nesya bertaut.

“Kan hari ini Mas Abid pulang.”

[]

Satu bulan yang lalu, aku mendapat kejutan kepulangan Mas Abid. Pukul 7 pagi, dia sudah berdiri rapi dengan badan jangkungnya di depan pintu rumahku. Padahal, dia bilang baru akan pulang seminggu setelahnya.

Dengan seragam dinasnya, dia mengajakku jalan-jalan. Kami mengelilingi daerah tinggi di Kota Purwokerto, yang terkenal dengan nama Baturraden. Pagi hingga matahari di ufuk tenggelam dipeluk malam. Sesekali berhenti di tepi jalan, menikmati udara segar di daerah yang jauh dari perkotaan.

“Eh gimana kuliahnya?” Mas Abid membuka percakapan. Kala itu, kami sedang mampir di sebuah warung yang letaknya ada di area objek wisata bernama Curug Bayan untuk makan mendoan, makanan khas Purwokerto.

“Ya gitu deh, Mas. Dibilang gak pusing, salah banget. Dibilang pusing, ya kan biar otaknya bekerja,” Mas Abid terbahak mendengar jawabanku, “materi kuliahnya banyak banget! Kalau nggak dicicil dari awal, bisa gagal survive aku,” imbuhku.

“Capek ya?”

Aku mengangguk, “Banget. Apalagi ketambahan kegiatan organisasi.”

Mas Abid selalu berbesar hati mendengar keluhanku. Entah dalam hal apapun. Dan aku senang. Dia bilang, mengeluh itu wajar. Kalau tidak pernah mengeluh, bukan hidup namanya. Dan karena itu, aku merasa nyaman. Sebab di sampingnya, aku bisa menjadi diriku sendiri.

“Capek itu emang resikonya. Tapi kan, emang udah pilihan kamu dari awal. Dinikmati aja lah.”

Aku mengangguk lagi.

“Tahun depan masih lanjut?” tanya Mas Abid. Aku mengedikkan bahu.

“Gak tau. Kayaknya nggak deh. Mau fokus belajar biar pas sarjana pakai selempang cum laude.

“Aamiin.”

“Kalau Mas sendiri gimana?”

Lalu, mengalirlah cerita Mas Abid tentang pengalamannya di Lembah Tidar. Bagaimana militer melatih kedisiplinannya. Bagaimana pengalamannya bertahan hidup di hutan menenteng bedil dan helm baja, belum lagi ransel yang beratnya puluhan kilo. Bagaimana militer membuka mata rantai pertemanannya. Kata Mas Abid, dia jadi punya kenalan yang tersebar di seluruh pelosok negeri.

Aku turut bahagia mendengar ceritanya. Sebegini bangganya ya, memiliki kekasih seorang taruna. Walau mungkin, aku sering sedih dan merasa iri dengan teman-temanku yang bisa malam mingguan bersama pacar atau diberi kejutan ulang tahun tepat pukul 12. Sedangkan aku? Boro-boro. Untuk face to face saja terbatas waktu. Paling kalau Mas Abid sedang pesiar  atau IB  saja.

Dari taruna, aku jadi belajar betapa berharganya waktu.

“Eh, aku ada sesuatu buat kamu. Tapi, aku mau kamu bukanya bulan depan ya.”

“Kenapa bulan depan?”

“Bulan depan aku pulang.”

“Memangnya, kapan kamu pergi?”

“Nanti.”

[]

catatan:
1. pesiar: jatah taruna untuk jalan-jalan, biasanya Sabtu-Minggu atau hari libur nasional. Itu pun kalau tidak ada tugas non-akademik.
2. IB: izin bermalam.

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang