tiga

117 17 7
                                    

(remember to play the music—)

Hari itu, sebelum keberangkatannya, Mas Abid memberiku sebuah kotak bersampulkan kertas kado warna biru cerah kesukaanku. Sesuai permintaannya, aku membukanya hari ini. Aku baru sadar, ternyata hari yang dimaksudkan Mas Abid bertepatan dengan hari ulang tahunku.

Untuk calon dokter gigiku,

Selamat ulang tahun yang ke-20. Mungkin di hari itu, aku ngga bisa membawakan kue sambil menyanyi selamat ulang tahun di depan kamarmu tepat pukul 12 malam. Atau tiba-tiba muncul di depan pintu rumahmu, membawakan setangkai mawar. Oleh karena itu, aku ngasih kamu ini. Mungkin bukan suatu kado yang besar, tapi bisa menunjukkan seberapa berharganya kamu buatku.

Ingat aku pernah memintamu mengukur jari manismu dan bilang aku ingin melamarmu? Kamu perlu tau Mel. Aku tidak pernah main-main dengan kalimat itu.

Di usiamu yang ke-20 ini, Melati, apakah kamu mau menjadi ibu dari anak-anakku? Aku tau mungkin ini terlalu terburu-buru. Aku tau kamu belum siap. Tapi, saat ini aku cuma butuh iya tidakmu.

Aku melirik ke arah kotak kecil yang bersembunyi di balik kertas itu. Dengan hati-hati, aku membukanya. Sebuah cincin dengan ukiran dua huruf.

AM.

Abid Melati.

Dadaku bergemuruh. Entah bagaimana mendeskripsikan perasaan ini. Terkejut, bahagia, terharu, bercampur menjadi satu.

Drrt…!

Namun, tiba-tiba, ponselku yang ada di atas nakas bergetar, membuatku mendengus kesal karena  merusak suasana. Sebelum aku tau siapa yang menelepon. Ibu Mas Abid, Tante Maya rupanya.

“Halo Tante?”

“Iya halo Mel….” Jawaban Tante Maya tidak terdengar jelas. Mungkin, koneksinya sedang buruk.

“Ada apa Tante? Mas Abid sudah sampai di rumah?”

Barulah saat itu aku bisa mendengar isakan. Tante Maya ternyata sedang menangis di seberang sana.

“Halo Tante? Tante baik-baik aja?” tanyaku khawatir.

“Abid… Abid kecelakaan sewaktu dalam perjalanan ke rumah Mela,” isak Tante Maya, “dan Abid … sudah nggak ada Mel. Abid sudah nggak ada. Abid sudah nggak a…da….” Tante Maya mengulang kalimat itu tiga kali. Kalimat yang sama sekali tidak pernah ingin aku dengar.

Untuk selanjutnya aku mendengar tangis beliau pecah.

Duniaku kemudian seolah berputar cepat, memutarkan kaset-kaset kenanganku bersama Mas Abid. Sebelum akhirnya langitku pun runtuh. Hujan deras yang tiba-tiba turun malam ini mewakili aku beserta duniaku. Semestaku remuk. Hancur bersama aku.

Mas Abid … Mas benar-benar pulang, ya?


[]


Untuk prajurit tarunaku,

Terima kasih. Karena hari itu, kamu benar-benar menepati janjimu untuk pulang. Meskipun bukan kepulangan yang seperti ini kan, yang kita sama-sama mau?

Ada banyak hal yang kamu perlu tau, Mas. Bahwa bisa mengenalmu adalah suatu anugerah yang selalu kusyukuri. Bisa menjadi bagian dari perjalanan hidupmu merupakan suatu kebahagiaan tersendiri, di mana aku selalu bisa menjadi diriku sendiri saat di hadapanmu.

Tiga tahun bersamamu menjadi masa-masa terindah buatku. Aku benar-benar bangga bisa punya kamu.

Terima kasih untuk semua yang pernah kita lewati. Setiap detiknya, setiap menitnya, setiap harinya. Suka, duka, juga lelucon-leluconmu yang selalu hadir untuk meredakan kesedihanku.

Dan terima kasih untuk kado itu. Berkatnya, aku serasa menjadi wanita paling bahagia di muka Bumi ini. Walau pemberinya tak akan pernah melihat aku memakainya, seperti keinginannya.

Muhammad Abid Hilman, ada satu hal lagi yang perlu kamu tau. Bahwa kehilanganmu adalah salah satu hal yang sama sekali tak pernah terbesit dalam pikiranku. Bahwa kehilanganmu serupa mimpi buruk tak berujung.

Selamat jalan, abdi negaraku. Aku mencintaimu. Doaku mengiringimu. Selalu.

[]

—selesai—

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang