Begitu masuk, pintu di belakangku lenyap.
Sebagai gantinya, aku kini berada di dalam ruangan serbaputih. Satu-satunya yang mengganggu kekosongan sempurna hanyalah sebuah meja dengan dua kursi tinggi warna merah marun yang berhadap-hadapan. Seorang laki-laki manusia, tampang 11-12 Edward Snowden dengan kacamata dan jas lab, duduk di salah satu kursi. Tidak ada papan jalan, komputer, atau apa pun di mejanya.
Tampangnya boleh juga. Walau aku lebih senang sesama jenis, laki-laki itu masih masuk seleraku. Diam-diam aku menjilat bibir. Sedap.
"Iya, Juanita Yosephine Putri," katanya, "silakan duduk."
"Panggil saja Ifan," balasku sambil mengikuti arahannya. Material yang kududuki biasa saja, seperti sofa kulit sintetis.
Lelaki di depanku tersenyum ramah. "Aku Remy Brooks, dari dimensi berselang dua nomor darimu," katanya dalam bahasa Indonesia yang sempurna, tanpa aksen kedaerahan atau asing, "sebaiknya kita mulai saja dan langsung ke intinya. Nah Nona Ifan, bisa ceritakan bagaimana kehidupan di bumi?"
Hmm, untuk ukuran peradaban lain komunikasinya sama saja dengan tempatku. Padahal aku berharap dengan suara ultrasonik, bahasa isyarat, atau apa pun. Kecurigaanku soal gila tampaknya tidak salah. Tapi ya sudahlah. Jalani selagi nikmat.
"Kehidupan bagaimana? Kalau bertanya soal kehidupan secara global, seperti ada konflik di beberapa negara, yah, aku tidak mengikuti. Jadi aku tidak tahu."
Remy tertawa kecil. "Aku 'kan tidak memintamu menceritakan segala hal. Jelaskan saja apa yang kamu lihat." Aku bergidik sekelebat, teringat gaya bicara Andy F. Noya.
Mulai dari mana ya? Secara umum, aku bukan orang yang perhatian dengan sekeliling. Aku cerita seadanya, "Aku dari Indonesia, kaum minoritas. Di sana orang-orang sepertiku biasa kena persekusi dan tak punya hak-hak dasar. Tapi untung saja Papaku anggota DPR. Dan sekarang, di sana sedang panas-panasnya pergolakan politik." Aku berpikir, dan teringat muka Presiden. "Orang-orang terbagi dua. Pro dan oposisi pemerintah. Ayahku dari partai oposisi."
"Nah, lalu, kamu mendukung yang mana?"
Aku agak sebal. Memangnya ini penting buat pendaftaran sekolah? "Netral. Karena yang mana pun sama-sama gob—maksudku buta. Aku mendukung pemerintah kalau memang benar, dan mengkritik jika salah. Walau aku juga tidak bisa menentukan benar-salah, dan maka dari itulah aku malas dengan—," aku memutar telunjuk, "printilan politik seperti ini. Aku hanya mengikuti berita, tidak suka menilai."
Remy, atau aku lebih suka menyebutnya Snowden, kelihatan tertarik. "Lantas bagaimana di luar negaramu?"
"Masih lagu lama," sahutku. "Konflik berkepanjangan di Timur Tengah antara Israel dan Palestina. Lagi-lagi aku tidak mendukung siapa-siapa. Ada juga terorisme ISIS. Oh iya, cabangnya sempat beronar di negaraku. Aku tidak terlalu mengikuti beritanya sih. Lalu kalau boleh tahu, buat apa pertanyaan-pertanyaan tadi? Apa aku akan disortir berdasarkan pandangan politik?"
Snowden menggeleng. "Bukan. Kami hanya memastikan kamu memang asli dari dunia yang bersangkutan dan bukan virus."
"Virus?" Loh, kata si nama rumit bukannya tidak ada benar dan salah?
Jawaban Snowden terdengar misterius, "Nanti ada saatnya kamu tahu lebih banyak." Dia melanjutkan, "Nah, bisa ceritakan tentang dirimu?"
Tanganku mulai dingin. Aku paling benci ditanya personal. Butuh waktu lama sampai aku akhirnya bersuara, "Kuliah di Universitas Indonesia jurusan Ekonomi Manajemen."
"Sudah?" Snowden terkejut.
"Tidak tahu lagi mau cerita apa."
Seketika laki-laki itu terkekeh. "Sesuai data. Jadi kalau kamu banyak bicara, kami yakin kamu virus."
Aku menyeringai. Yes! Ada juga lembaga yang tidak kepo. "Masih ada berapa pertanyaan?" lontarku begitu saja, yang kemudian kusesali karena jelas-jelas tidak sopan.
"Sepertinya kamu tidak sabaran bersekolah, ya," ledek Snowden, "masih ada tiga lagi dalam bentuk uraian. Duduk saja dulu. Ingin minum apa?"
"Jus mangga."
Baru berkedip, tahu-tahu ada gelas tinggi di atas meja. Ukurannya standar, namun wadahnya terbuat dari kristal yang kuyakini bukan beling. Ringan tapi kuat. Kualitas wadahnya sebagaimana isinya. Jus ini adalah yang terenak dalam hidupku. "Tidak minum?" tanyaku pada Snowden.
"Sistem akan otomatis menyediakan bila aku menginginkan," Snowden meneruskan, "Dan bagaimana kamu bisa sampai ke sini? Bisa ceritakan reka ulang perjalananmu?"
Pertanyaan sialan, tapi wajar. "Aku menceburkan diri ke danau dekat balairung kampus dan tiba-tiba aku di sini. Ditarik cahaya putih yang kupikir Tuhan. Yah, bunuh diri."
"Sebelumnya, kenapa kamu ingin bunuh diri?"
"Penyakit milenial." Aku menahan agar tidak menggaruk pantatku yang tiba-tiba gatal. "Hidup rasanya terlalu keras dan aku lelah. Sederhana saja."
"Yakin bukan akibat alasan yang lebih personal?"
Aku mendengus. "Kupikir orang lain akan saling membunuh demi posisi menjadi anak DPR dan pengusaha kaya, walau harus dicaci dan dipukul tiap hari. Jadi menurutku, akulah yang lemah. Kuakui saja sebelum kau berekspektasi macam-macam."
"Oke," Snowden merespons. "Lalu menurutmu, apa yang membuatmu merasa berbeda dari yang lainnya?"
"Aku tidak pernah merasa berbeda."
"Selalu ada alasan kami mengundang makhluk dari berbagai semesta," sahut Snowden bernada konselor, "nah, kami hanya minta pendapatmu."
Setiap aku ingin mengingat hal paling baik tentang diriku, yang terlintas hanyalah hinaan ibuku atau konten aneh yang kutemukan di Reddit. Kalau yang terakhir bisa dianggap keistimewaan, maka itulah dia. Aku bisa menikmati segala hal yang menurut orang-orang mengancam nilai moral dan norma masyarakat, dan berterus terang bila ditanya.
"Menurutku aku berpikiran terbuka. Aku orang yang bisa jujur walau itu menyakitkan atau memalukan."
Kukira akan ada alarm yang mengatakan aku virus. Atau Snowden yang melotot. Kemudian aku mendapati diriku di rumah sakit jiwa beberapa detik setelahnya. Rupanya tidak. "Baik, pertanyaan terakhir."
Jantungku berdetak kencang. Keringatku bercucuran. Cepatkan bacotmu Snowden aku ingin masuk sekolah dengan segera. Siapa tahu sistemnya juga mirip Hogwarts dan betapa senangnya aku bila masuk setingkat Ravenclaw. Gryffindor boleh, Slytherin masih oke, tapi kalau Hufflepuff aku akan protes.
"Jadi, Nona Ifan, Akademi Magitek Terapan adalah lembaga pendidikan untuk mereka yang berbakat dari semesta yang tidak terbatas," sepertinya aku tahu ke arah mana pertanyaan ini dan benar saja, "apa yang bisa kamu berikan kepada kami sebagai kontribusi?"
Duh, masa aku tidak jadi masuk sekolah ajaib karena kurang satu pertanyaan? Membayangkan kemungkinan buruk, perutku mendadak mulas.
Aku tidak mau kembali ke dunia nyata, bahkan bila sekarang segala hal yang mengelilingiku ilusi belaka. Aku ingin tetap di sini, meskipun hanya memandu anak-anak kucing menyeberang jalan atau berkeliling kota futuristik dengan sedikit uang. Aku membenci orang tuaku, semua orang di kampus, bahkan diriku sendiri yang tak bisa berbuat apa-apa, sampai ke dasar jiwa.
Aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan. Alasan tepatnya aku berada di sini saja masih menjadi misteri.
"Apa aku akan dikembalikan ke bumi kalau menjawab tidak tepat?"
"Tidak juga."
Aku menghela napas. Terserahlah. Sampai kapan pun diberi waktu, jawabannya tetap sama. Bahwa aku tidak benar-benar tahu. Aku di sini karena kebetulan yang menyenangkan dan, aku tak pernah berharap untuk kembali. Lebih baik aku menjadi pengembara di sini daripada menjadi anak pejabat di bumi. Untuk itu, aku akan melakukan apa pun yang kubisa.
Itulah yang kukatakan pada Snowden.
Laki-laki itu langsung berdiri dan tersenyum lebar. Tangannya yang berurat tegas terulur. Aku menyambutnya dengan antusias.
"Kalau begitu, selamat datang di Akademi Magitek Terapan, Nona Ifan. Hari pertamamu akan dimulai besok. Maka untuk hari ini, persiapkan segala kebutuhan yang telah terdaftar. Sampai jumpa di lain waktu dan semoga sukses!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Unbeautiful Mind
Science FictionAku INTP, lesbian, depresi, nihilis-ateis dan sebagainya--lekatkan saja berbagai label negatif masa kini. Template milenial. Klise? Ya memang, sejak kapan aku merasa diri istimewa? Kalau ada yang bisa disebut kekuatan super, itu hanyalah kemalasanku...