Untuk pertama kalinya aku merasa bahwa aku sendiri
-Alfath Janerro Swidden-
~Jerman, March 2017
“Mom, Dad!!” teriak Alfath tak percaya dengan apa yang dikatakan kedua orang tuanya baru saja.
Clarissa -Ibu Alfath- mendekat kearah Alfath dengan jiwa keibuan dia mengelus punggung Alfath seraya menenangkan agar tidak emosi. “Alfath gak salah dengar kan?” tanya Alfath masih tak percaya.
“Terserah kamu mau percaya atau tidak.” jawab Leo -Ayah Alfath- sekenanya hingga membuat putra bungsunya itu tak habis pikir dengan apa yang akan terjadi padanya setelah ini.
“Momm.. Pleasee!!” ujar Alfath memelas kepada ibunya agar ia tidak melakukan apa yang diperintahkan ayahnya tadi. “I’m so sorry bee, i can’t help you for now” jawab Clarissa sambil tetap mengelus punggung Alfath.
“Silahkan kamu packing sekarang karena besok pagi buta kamu harus pergi ke Airport penerbangan pertama tujuan Jakarta” ucap Leo dengan dingin kepada anaknya. Menurut Leo ini mungkin akan lebih baik untuk anaknya jika dipindahkan kerumah kakek dan neneknya di Indonesia.
Alfath yang masih tak mengerti apa maksud ayahnya itu pun membantah “Kenapa? Aku salah apa sampai aku harus pindah? Jakarta? What? Debu, kotor, macet. I don’t want”
Leo memicingkan mata kepada Alfath dan mengambil amplop diatas meja kerjanya kemudian melemparkannya kepada Alfath. “Silahkan merenungkan diri” kemudian Leo berjalan dan menggandeng Clarissa agar menjauh dari Alfath.
Alfath membuka amplop coklat tersebut dan didalamnya ada foto dia bersama teman-temannya yang tengah asik berpesta di sebuah club kemarin malam. Bagaimana Leo tidak marah kepada anaknya. Alfath menggunakan card creditnya untuk membooking sebuah club semalam suntuk dan harganya terbilang wow. Dan disitu juga Alfath yang masih 18 tahun meminum alkohol dan bermain dengan wanita sexy. Pikiran Leo kalut. Jika ia membiarkan anaknya disini dengan kelakuannya dan tercium media yang ingin menjatuhkan perusahaanya maka lebih baik ia memindahkan Leo agar dididik oleh kakeknya di Indonesia yang seorang pensiunan militer.
‘Jadi selama ini mereka tau dan membiarkan?’ batin Alfath. Bukan membiarkan tapi memberikan kesempatan. Namun tidak ada yang berubah darinya.
Alfath memasukkan kembali foto tersebut kedalam amplop coklat. Kemudian menentengnya masuk kedalam kamar. Dia berpikir sejenak merenungkan nasibnya.
‘Yeahh.. Ini salahku. Maka aku akan menurutinya’ gumam Alfath dalam hati.
Alfath mengeluarkan sebuah koper dari dalam lemarinya untuk packing keperluan yang akan ia bawa ke Jakarta, tempat kakeknya tinggal. Tak boleh ada yang ketinggalan. Dia harus lebih baik disana. Harus bisa mengubah diri agar ayahnya tak merendahkannya lagi.
Packing selesai. Ia berbaring diranjangnya menghadap langit-langit biliknya untuk terakhir kali. Menikmati malam terakhirnya di Jerman sebelum dipindah paksa oleh ayahnya. Dia mulai terlelap karena terlalu lelah dibebani oleh pikiran-pikiran yang berat.
‘Dont just be good to others. Please, be good to yourself too’ ujar seorang wanita dalam tidurnya hingga Alfath terbangun dari tidurnya dan melirik jam menandakan pukul 5 pagi waktu Jerman. Yaa.. Dia harus bergegas. Hari ini dia pindah ke Indonesia.
~
Jakarta, Maret 2017
“Selamat morning semuanyaaaaa!!!” teriak seorang gadis belasan tahunan dari lantai 2 rumah menuju meja makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chocolate
Teen FictionYang ingin kuberitahukan sekarang adalah cinta itu tak semanis chocolate -Yolhanna Aira Fahrezi-