Prolog

62 5 4
                                    

"Terkadang apa yang sudah didepan mata tidak semuanya bisa kita genggam"

APA?????

"Bunda apaan sih aku pengen sekolah di ibu kota aja ihh, aku ga mau ya nanti di sana pasti kampungan gitu ga ada mall, ga bisa nonton, ga bisa hangout"

"Ini semua demi kebaikan kamu dek, nanti kalau kamu disini siapa yang mau ngejagain kamu coba?"

Aku terdiam sambil berfikir "Kan ada mang ujang sama bi inem bun"

"Mereka tugasnya ngejaga rumah sama bersih-bersih bukan jagain kamu dek"

"Tapi bun aku ga punya temen nanti", aku masih saja merengek pada bunda biar aku tidak jadi pindah kerumah kakek.

" Ini semua demi kamu dek, biar kamu ada yang mengawasi, kalau kamu disini siapa yang akan tau kamu ngapain aja? Sekarang ini kamu udah mau masuk SMA bunda cuma takut kamu terjerumus ke pergaulan yang tidak baik, bunda bukannya tidak sayang kamu justru bunda sayang banget sama kamu", bunda berkata sambil meneteskan air mata.

"Tapi bun, ayah sama bunda tiap weekend juga pulang kesini" aku masih saja berpenderian teguh pada keinginanku bersekolah disini.

"Satu minggu ada 7 hari ayah sama bunda disini juga cuma 2 hari, yang 5 hari harus bolak balik luar kota sayang"

Hiks hiks hikss
Aku berlari menuju anak tangga dan menaikinya, kubanting pintu kamarku dengan keras lalu aku menangis sejadi-jadinya. Bukannya aku egois, hanya saja hatiku terlalu berat untuk meninggalkan kota kelahiranku ini. Sejak kecil aku dibesarkan disini, bahkan dari aku yang masih merangkak hingga sekarang aku bisa berlari dengan kencangnya. Dan satu hal lagi aku tidak cukup kuat jika harus berpisah dengan sahabat-sahabatku disini. Terlalu banyak kenangan yang sudah kugoreskan di kota metropolitan ini. Dan bagaimana mungkin aku harus meninggalkan apa yang sudah aku sayangi begitu dalam, melebihi dalamnya samudera hindia??? Hmmm aku yakin tidak akan ada yang mampu diposisiku saat ini.

Sejak kejadian malam itu sampai siang ini aku tidak keluar kamar, bahkan untuk sekedar sarapan saja aku tidak mau. Ya bukannya aku egois, hanya saja aku sangat terpukul dan bimbang harus mengambil keputusan bagaimana. Semalaman aku merenung dengan segala kemungkinan jika aku mengambil keputusan itu. Hingga aku menyadari suatu hal jika orang tuaku tak mungkin akan menjerumuskanku, mereka pasti punya sebuah alasan kenapa mengirimkanku kerumah kakek. Dan semoga saja keputusan yang akan kuambil ini yang terbaik dan tidak akan mendatangkan penyesalan pada akhirnya :)

Malamnya saat semua berkumpul untuk makan malam aku baru keluar kamar, awalnya aku malu bertemu orang tuaku. Tapi apa dayaku jika cacing dalam perutku ini sudah berdemo meminta sesuap nasi. Ya terpaksa aku ikut makan malam. Kedua orang tuaku hanya tersenyum dan memintaku untuk segera makan malam. Lalu aku segera mengambil makan dengan banyak sampai-sampai orang tuaku geleng-geleng kepala melihat tingkahku ini. Ya aku mengabaikan ego ku karena saat ini aku benar-benar lapar sekali haha. Aku jadi malu sendiri dengan aksi mogok makan kemarin, jika tau begini aku juga tidak akan menyiksa diriku dikamar. Kita makan dengan tenang dan tidak bersuara, ya memang sudah tradisi kelurga kita jika makan harus diam dan tidak bersuara. Setelah selesai makan ayahku mencoba mengajakku bicara.

"Dek bagaimana keputusanmu? Ayah tidak akan memaksamu untuk sekolah di kota kakek, ayah akan ikuti keputusanmu, bagaimanapun itu keputusanmu ayah akan setuju asalkan itu membuatmu bahagia" itu kata ayahku yang membuatku semakin bimbang, hingga akhirnya akupun dengan mantap menjawab.

"Ayah, Bunda aku mau ngomong kalau aku akan ....................................."

Gimana gaes? Wkwk absurd ya? Maaf ya orang baru amatiran wkwk
Jangan lupa vote ya wkwk
:)

Sebuah AlasanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang