Satu

9.5K 346 5
                                    

Angin berhembus kencang menerpa wajahku, membuat kerudung besarku bergoyang. Aku duduk ditepi pantai sambil menatap ombak yang mengenai telapak kakiku yang dibalut kaus kaki.

Aku menghela nafas pelan, hari sudah semakin sore, pantai pun sudah lumayan sepi. Tapi aku masih nyaman dengan posisi seperti ini.

Lagi-lagi aku teringat seseorang yang dulu selalu menemaniku kepantai, aku memang sangat suka tempat ini. Entahlah, hanya saja ketika aku berada didepan ciptaan-Nya aku terus menggumamkan takbir. Maka nikmat Tuhan mu yang manakah yang kamu dustakan? (QS. Ar-rahman)

Sekelibat kenangan masa lalu dengannya muncul difikiranku, kenangan saat aku dan dia berlari ditepi pantai dengan tawa yang menghiasi kami berdua. Saat dimana aku melemparinya pasir, saat dimana dia selalu mengusap kepalaku yang berbalut jilbab, dia laki-laki pertama yang mengusap kepalaku selain Ayahku.

Dan sekarang, aku tidak tau dimana dia, seperti apa wajahnya. Terakhir kali aku bertemu dengannya saat kelas 1 SMP, dan sekarang sudah 7 tahun aku tidak bertemu dia. Dulu, dia mengajakku bertemu disini, dia bilang padaku jika aku harus menunggunya kembali. Saat itu, aku tidak mengerti apa yang dibicarakannya, tapi setelah hari itu aku tidak melihatnya lagi. Aku kacau pada saat itu, ucapan janjinya masih terngiang jelas ditelingaku.

Tanpa sadar air mataku menetes, selalu seperti ini. Aku rindu ya Rabb, semoga dia selalu berada dalam lindunganmu. Jika sudah seperti ini, aku selalu berdoa pada-Nya semoga aku dan dia segera dipertemukan.

Aku mengusap air mata yang jatuh dipipi. Kemudian beranjak dari dudukku. Berjalan kearah sepeda yang tak jauh dariku. Aku kesini memang menggunakan sepeda, aku belum bisa menggunakan motor. Aku menaiki sepeda kemudian mengayuhnya meninggalkan tempat ini.

Semoga cepat kembali, kamu...

***

"Assalamu'alaikum Bunda," ucapku sambil menutup pintu.

"Waalaikumsalam," jawab Bunda.

"Bunda dimana?" Tanyaku saat tidak menemukan Bunda diruang tv, biasanya jam segini Bunda sedang menonton tv.

"Bunda didapur." Aku segera bergegas menuju dapur, aku melihat Bunda sedang membikin kue.

"Wuihh bikin kuenya banyak banget, Bunda," kataku ketika melihat kue bundar yang akan dimasukkan kedalam oven.

"Iya, Bunda sekalian bikinnya, tiga hari lagi kita kedatangan tamu," ujar Bunda sambil mencuci tangannya saat semua kue sudah masuk kedalam oven.

Aku mengerutkan keningku, "Siapa, Bun?."

"Kamu pasti bakalan tau, Key."

"Bunda mah ih, selalu main rahasia-rahasiaan. Temennya Bunda apa Ayah?"

"Bunda sama Ayah," jawab wanita disampingku ini dengan tersenyum.

"Ooh."

"Yaudah sana gih mandi, bentar lagi mau maghrib loh." Perintah Bunda.

Aku mengangguk, "Siap komandan!." Kataku sambil hormat.

Bunda terkekeh, aku mencium pipi Bunda kemudian berlalu dari hadapannya.

***

"Ayah belum pulang Bun?" Tanyaku saat ingin menyuapkan nasi kedalam mulut. Sekarang aku tengah makan malam dengan Bunda.

"Belum, masih sibuk meeting katanya," ujar Bunda sambil menaruh piring kotor ditempat cucian piring.

Aku menghela nafas pelan, Ayah selalu seperti itu lebih mementingkan urusan duniawi. Ayah kerja sampe malam, jika aku menyuruh Ayah sholat karena Allah sudah memanggil pasti Ayah bilang lagi sibuk, tapi jika ada panggilan dari rekan kerjanya Ayah selalu tepat waktu. Ya Rabb semoga engkau membukakan pintu hati Ayahku.

Keluargaku memang tidak pandai Agama, sholat kalau lagi ingat, Bunda tidak memakai kerudung, cuma aku dikeluarga inu yang memakai kerudung, aku juga bukan wanita sholehah, tapi setidaknya aku sedang memperbaiki diriku.

Setelah selesai makan, aku menghampiri Bunda, "Biar Keyra aja yang nyuci Bun."

Bunda mengangguk, "Bunda kekamar dulu ya."

Diumurku yang ke 19 tahun, aku sedang memfokuskan untuk belajar Agama. Aku memang tidak kuliah, entahlah aku hanya tidak ingin pusing mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk. Tugas - tugas SMA saja sudah membuatku pusing apa lagi di Universitas, pikirku.

Ayah dan Bunda ku terserah aku saja, jika aku tidak serius masuk perkuliahan untuk apa? Buang-buang duit saja, yah memang benar semua tergantung dengan niatnya.

Keseharianku hanya dirumah membantu Bunda, jika bosan aku pergi kepantai karena letak pantai tidak jauh dari rumahku, aku juga mengikuti kajian rutin setiap hari Rabu dan Sabtu. Kadang juga aku membuat kue dengan Bunda jika ada pesanan, sebenarnya Bunda tidak jualan kue tapi ada saja tetangga yang memesan kue.

Aku mengelap tanganku setelah selesai mencuci, aku berjalan menuju kamarku yang berada dilantai atas. Aku tidak mempunyai Adik atau pun Kakak, aku anak tunggal. Aku juga ingin punya Kakak sebagai teman curhatku, juga ingin punya adik yang lucu. Tapi setelah Bunda melahirkanku, kata dokter Bunda sudah tidak bisa hamil lagi.

Aku membaringkan tubuhku dikasur sambil memainkan handphone. Membuka WhatsApp, banyak notification yang masuk, itu dari grup kajian. Dan satu pesan masuk dari temanku.

Maya : Key besok anterin aku yuk.

Aku segera membalas pesannya.

Keyra : Kemana?

Maya : Keterminal bus jemput kakakku. Kamu bisa kan?

Aku mengerutkan keningku, baru tau kalau Maya punya Kakak, aku kira Maya sama sepertiku anak tunggal.

Keyra : InsyaaAllah bisa.

Maya : Ok, besok aku jemput kamu jam 9 ya Key.

Keyra : Siip.

Aku menaruh handphone dinakas, Maya itu sudah aku anggap saudara sendiri, kami kenal ketika waktu MOS SMA, dari kelas satu sampai lulus SMA aku dan Maya selalu satu kelas, itu yang membuat kami cukup akrab.

Sekarang Maya bekerja diKantor Pos sejak satu tahun yang lalu, sebenarnya teman-temanku pun menawariku pekerjaan karena banyak lowongan kerja, tapi Ayah melarangku, entahlah karena apa. Jika aku menanyakan alasannya pasti Ayah jawab "Selagi Ayah masih bisa kerja, masih bisa nyanggupin kamu sama Bunda, Ayah belum ngasih ijin kamu kerja. Mending kamu dirumah, bantuin Bunda."

Ayah itu sosok yang tegas, dia pekerja keras, aku sangat mengagumi Ayah. Benar kata pepatah cinta pertama anak perempuan adalah Ayahnya. Tapi aku juga tidak suka kalau Ayah lebih mementingkan duniawi, sementara akhirat dia abaikan.

Aku sering menyuruh Ayah sholat, tapi mungkin hati Ayah belum tergerak. Kalau dengan menasihati masih tidak mempan maka cara lain adalah dengan mendoakannya. Dan sekarang, aku berdoa semoga Ayah dan Bunda diberi hidayah oleh Allah subhanahu wata'ala.

***
Next?

Waiting For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang