Hijrah 03

1.7K 85 9
                                    

Kalo ada salah tentang islamnya tolong dikoreksi. Karena aku riset hanya dari mbah google^^.

Selamat membaca, semoga salah satu dari kalian adalah jodohku.😆

***

"Jadi, hai para Ibu-ibu dan adik-adik yang dimuliakan Allah. Memang sebaiknya kita menutup aurat kita. Memangnya apa yang membuat kita tidak siap? Takut karier jadi jelek? Muka jadi jelek? Kehidupan jadi jelek?" Laila fokus mendengarkan sesekali mengangguk setuju.

"Siapa bilang?! Selain untuk menjalankan syariat Islam, berhijab dapat meninggikan derajat wanita dari belenggu kehinaan yang hanya menjadi objek nafsu semata. Coba pikirkan, orang gak akan napsu kalo kita tertutup, benar?" seru ibu yang memberi kajian dengan semangat.

"BENAR!" sahut para jamaah tak kalah semangat, Laila pun ikut semangat.

"Menurut riwayat Abi Salih ialah sebagai berikut: Ketika Rasulullah SAW datang di Madinah, jika istri beliau dan para wanita muslimah keluar malam untuk suatu keperluan, sering diganggu oleh orang laki-laki yang duduk di pinggir jalan. Setelah dilaporkan kepada Rasulullah, maka turunlah ayat ini (al-Ahzab, (33):59) yang berarti '​Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang-orang mu’min: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ketubuhnya. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang.'"

"Hei Ibu! Banyak kok wanita berhijab yang sukses. Yang cantik dari Korea juga ada yang berhijab. Bahkan kehidupan akan lebih baik jika kita berhijab," jelas ibu tersebut. Banyak sekali orang yang setuju. "Seorang wanita salihah akan berjodoh dengan yang salih. Jadi mari perbaiki diri. Mulailah dengan menutup aurat. Supaya, meski calon suami gak ganteng, kita masih bisa pergi ke surga bersama. Marilah kita berdoa semoga senantiasa dalam lindungan Allah SWT."

"Aamiin."

Laila terus mendengarkan sampai selesai. Ibu, Bapak yang hadir mulai pergi. Laila masih saja memikirkan kajian tadi. Semuanya benar, tapi ada saja yang mengganjal. Laila menggumam astagfirullah berulang kali. Ia masih saja meragu.

"Kenapa Laila?" tanya Aini melihat temannya masih terdiam

"Tidak, Aini." Laila menggelang pelan.

"Sepertinya kamu masih ragu," ungkap Aini.

"Ehm, iya sepertinya Aini. Kenapa aku masih meragu?" Laila terlihat frustasi. "Tapi memang masih ada yang mengganjal," bisiknya lirih.

"Kamu mau berdiskusi dengan pamanku? Dia orang yang pas menurutku. Sepupuku curhat padanya sebelum benar-benar hijrah." Laila menatap Aini lalu mengangguk. Semoga kali ini ia akan benar-benar yakin. Bismillah, ya Allah.

.

Laila berbaring di kasurnya. Ia berpikir, sebenarnya semua yang dikatakan ibu Halimah—yang memberi kajian tadi memang benar adanya. Tapi, tidak ada salahnya juga menemui paman Aini.

Kalau dipikir lagi, Laila bukanlah orang yang sangat jauh dengan Tuhannya. Laila tidak pernah meninggalkan salat lima waktunya, meski ia melakukannya di akhir waktu. Laila juga merasa tak pernah melakukan sebuah dosa besar. Tapi apa mau dibuat, selalu salat saja, jika ia tetap melanggar perintah-Nya apa gunanya?

Laila menangis pelan. Punya hak apa Laila merasa lebih baik dari yang punya dosa besar? Ia hanya manusia biasa.

Laila meraih gadgetnya. Sudah lama sekali, sejak ia kuliah di Surabaya ia jarang menjenguk sang ibu. Dan ibunya memang sudah jarang meneleponnya karena merasa Laila perlu waktu, waktu untuk mengenang ayahnya.

Laila adalah anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya yang selalu sakit dimanja oleh sang ibu. Hanya ayahnya yang memberi kasih sayang lebih.

Laila menekan nomor telepon yang hampir dilupakannya. Ia menunggu sampai akhirnya suara lembut sang ibu yang terdengar serak menyapa.

"Laila?" Laila mengangis sampai sesegukan.

Ia menarik napas pelan. "Assalamu'alaikum Ibu?" Suara tangis Laila semakin terdengar.

"Wa'alaikumsalam. Ada apa Nak?" tanya ibunya khawatir.

"Maaf Bu. Hiks, maafin Laila gak pernah kasih Ibu kabar. Laila selalu menghindari Ibu dan nggak mau pulang terus."

"Ngomong apa kamu Laila? Kamu kan sibuk kuliah, Nak. Gak papa," sahut ibunya menenangkan.

"Secepatnya Laila bakal pulang ke Madura ya, Bu. Gimana kabar Latif?"

"Alhamdulillah, iya Nak. Latif baik. Katanya, dia mau kuliah di Surabaya biar bisa bareng Kakaknya." Tangis Laila semakin kencang. Ia ingat adiknya yang kadangkala ia musuhi karena iri.

Kurang puas Laila meski banyak berbincang dengan ibunya hingga larut malam. Ia meletakkan gadgetnya lalu berdiri untuk membasuh wajah.

Ibu Halimah benar. Ia baru saja akan berhijab, tapi kehidupannya sudah lebih baik. Sejak dulu, ia selalu merasa ibunya pantas diperlakukan seperti ini, karena Laila berpikir itu salah ibunya yang hampir tak pernah memberi kasih sayang. Dan sekarang, ia sudah mulai bisa memahami alasan ibunya. Ia tak boleh egois, bukan? Sang adik pantas dimanjakan.

Laila tersenyum lantas memanjatkan doa, lalu memejamkan mata. Ia yakini, hidupnya akan lebih baik. Sangat-sangat baik. Alhamdulillah ya Allah.

Hijrah Laila Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang