Extra

1.6K 61 4
                                    

"Qobiltu nikaahahaa watazwiijahaa bil mahril madzkur haalan."

"Sah?"

"SAH!"

"Alhamdulillah."

Setetes air mata terjatuh. Laila mengangis haru kala dirinya telah menjadi seorang istri. Sungguh, betapa Allah selalu memberi kebahagiaan yang indah selain musibah yang tidak akan melampaui batasan kemampuan umat-Nya. Allahu Akbar.

"Selamat anakku. Semoga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah war-rahmah." Laila menangis di pelukan sang ibu. Ia mengingat ayahnya yang tidak hadir di hari bahagianya.

"Maafin semua kesalahan Laila, Bu." Air matanya terus mengalir. Sang ibu mencium keningnya beberapa kali.

"Iya nak. Kamu harus menjadi istri yang berbakti ya," ujar ibunya disertai beberapa wejangan sebagai istri yang baik. Laila mengangguk.

Pintu kamarnya terbuka, Latif masuk dengan mata memerah. "Selamat ya, mbak."

Laila berdiri memeluk adiknya. Dapat ia dengar adiknya menangis kecil. Adiknya sudah besar, tampan dan pintar. Laila yakin adiknya akan menjadi orang yang sukses.

Beberapa saat kemudian ibu dan adiknya ke luar kamar. Laila menatap pantulan dirinya di cermin. Ia menggunakan gamis putih dengan lamin putih panjang di bagian tangan yang dilapisi brokat. Khimar panjangnya menutupi perut bagian depan, lengan kanan-kiri dan sampai paha di bagian belakang. Dandanannya pun sangat sederhana namun indah dan cantik. Tidak berlebihan.

Laila berdebar. Sebentar lagi mungkin suaminya akan masuk ke kamar dan menyapanya. Ia tersenyum kikuk merasa sangat gugup.

Laila berzikir dalam hati, mencoba mencari ketenangan. Suasana yang hening sangat membantunya.

Mata Laila mengelilingi kamarnya. Pernikahan memang berlangsung di rumah ibunya, Madura. Jadi selama ijab qobul Laila menunggu di kamar dengan tegang.

Kamarnya dihias sangat indah. Seprai kasurnya berwarna putih polos dengan hiasan bunga mawar. Bahkan sekitar lima balon terpajang di samping kasur ulah tiga ponakannya yang masih kecil.

Laila melihat kenop pintu yang bergerak, ia semakin gugup lalu menundukkan kepalanya dalam.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," bisik Laila. Sepertinya suaminya tak mendengar.

"Salam, Laila," ujar sang suami lembut dari jarak satu meter.

"Sudah, mas." Laila makin menundukkan wajahnya yang memerah dan bibirnya yang bergetar gugup.

"Pelan sekali," tukas suaminya diiringi kekehan.

Suami Laila maju mendekati istrinya. Laila yang melihat sepatu di depan kakinya pun tambah gugup. Tangannya mencengkram selimut di sisinya keras.

Usapan lembut terasa di atas khimar putih Laila. "Malu Laila?" tanya suaminya lembut.

Laila mengangguk cepat.

"Simpan dulu ya, aku hanya disuruh menjemputmu untuk ke luar," jelas sang suami. Dengan pelan Laila mendongak dan mendapati suaminya tersenyum sangat manis.

Suami Laila meraih tangan kanan Laila, dan membantu Laila bangun. Sambil menarik pelan, suaminya membawa Laila ke luar dari kamarnya.

Mereka berjalan pelan diiringi sorakan dari para undangan. Setelah sampai di tempat sang suami ijab qobul, penghulu meminta Laila mencium tangan suaminya. Pegangan tangan mereka telah terlepas.

Suami Laila mengulurkan tangan kanannya, berniat membantu Laila. Laila  berdebar sangat malu. Banyak yang menontonnya. Tanpa mengulur waktu, Laila meraih tangan suaminya pelan. Dibawanya tangan sang suami menuju wajahnya yang merah merona. Laila mencium tangan suaminya dengan khidmat disertai doa sehingga tanpa terasa setetes air mata haru mengalir dari matanya.

Setelahnya, penghulu meminta Suaminya membelai ubun-ubun Laila. Laila menunduk malu. Suaminya menyentuh khimar Laila pelan lalu berdoa sambil berbisik, "Allaahumma innii as-aluka khayraha wa khayra maa jabaltahaa ‘alaihi wa a’uudzu bika min syarrihaa wa min syarri maa jabaltahaa ‘alaihi."

(Ya Allah sesungguhnya aku memohon kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan pada dirinya. Dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan apa yang Engkau ciptakan pada dirinya.)

Tiga jam setelah pernikahan, Laila dan suaminya duduk berdua di atas kasur. Ingin mencoba mengenal diri lagi dengan berbincang.

"Terima kasih telah mau menjadi istriku, ya zaujati." Suami Laila mengelus kepala Laila pelan.

"Ehm, iya mas Auzar," sahut Laila pelan. Auzar meraih kepalanya lalu membawa Laila ke dalam dekapan halalnya yang nyaman.

Selesai (2)

Sekarang cerita ini benar-benar selesai yaa❤



Regards,
Nandap.

Hijrah Laila Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang