1

281 26 0
                                    

ㅡ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menatap pantulan diriku yang semakin lama kian menciut. Kantung mata yang dahulu kubenci kini meraung ingin tetap tinggal di kedua manikku. Bibir ranum yang dahulu sering ku banggakan kini memucat tanda menyerah. Sebuah perubahan yang sangat drastis dalam kurun waktu sebulan.

Mencoba membuang semua pikiran yang bercokol di kepalaku, aku memutuskan untuk membasuh wajahku dengan air dingin. Setidaknya, mampu menyegarkan tampilanku yang jauh dari kata wajar.

"Aeri? Ada yang bertamu," ucap Ibu menyadarkan lamunanku. Dirinya sudah mengetuk pintu kamar mandi sejak beberapa detik yang lalu, sebelum akhirnya Ibu memutuskan untuk berbicara setengah berteriak.

"Iya, Bu. Sebentar lagi aku akan keluar," balasku.

Aku segera mencepol asal rambut sepunggungku dan mengelap wajahku yang basah sebab baru saja kubasuh. Keluar dari kamar mandi pun aku segera merias tipis wajahku agar terlihat lebih normal. Tidak seperti gadis yang penyakitan dan menyedihkan.

"Kak?"

Panggilan tersebut mengalihkan atensiku yang baru saja selesai merias diri. Rupanya tamu yang berkunjung tak lain ialah Jungkook. Adik kecil yang sudah menjadi tetanggaku sejak masih ingusan. Duh, lucunya. Tetapi, lihatlah, seorang adik manis bernama Jeon Jungkook kini sudah tumbuh menjadi pria tulen.

"Hm?" balasku bergumam. Aku melangkahkan tungkaiku menuju pintu kamar yang dihalangi tubuh kekar Jungkook. Pria itu menyenderkan tubuhnya di kusen pintu sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Jangan lupakan juga senyum manisnya yang merambat sampai ke ujung mata.

"Adek sudah menunggu kakak sampai bulukan, tapi kakak tak kunjung kelar juga," protesnya.

Aku tersenyum mendengar Jungkook memanggil dirinya sendiri sebagai adek. Barangkali, pria itu masih terbiasa memanggil dirinya seperti itu sejak mengenalku. Sedikit informasi tambahan, sejak aku mengenalnya, aku mengajarinya agar ia memanggil dirinya sebagai adek dan memanggilku sebagai kakak, biar lucu.

Bibirku membentuk sebuah lengkungan tipis. Aku menjawab sembari tanganku ku arahkan menuju rambutnya, "Maaf, ya? Aku harus merias diri dulu."

Jungkook menahan tanganku yang tengah mengusap rambutnya. Itu kebiasaanku saat bersamanya, rasanya ingin melimpahkan banyak afeksi kepada pemuda Jeon ini.

"Kak, jangan," ucapnya dengan pandangan mata yang berubah menjadi tajam.

Aku mengangguk mengerti lalu meraih kembali tanganku. Suasana yang senyap pun dikatakan canggung. Sejujurnya, kami tak pernah secanggung ini. Namun, sejak Jeon Jungkook menyatakan perasaannya kepadaku beberapa hari lalu dan aku yang masih belum memberikan jawabanku, semuanya jadi berjalan seperti sekarang. Beberapa kali ia menagih jawabanku yang hanya kutanggapi dengan 'aku masih butuh waktu, kook'. Namun, hal tersebut tak mengubah perilaku diriku yang tetap menganggap Jungkook sebagai adik kecil, seperti yang kulakukan sebelumnya, mengelus rambutnya seakan-akan ia memanglah manusia satu-satunya yang kusayangi. Tak menampik, Jungkook memang menyukainya. Aku tahu itu. Sangat tahu. Aku tahu semua tentang Jeon Jungkook. Adik kecil manis ku yang akan selalu begitu.

"Maaf, kebiasaan, kook," ucapku sembari tersenyum kikuk.

Jungkook mengangguk lalu segera berbalik ingin meninggalkanku. Barangkali, ia kecewa? Ya, jelas. Memangnya siapa yang tidak kecewa ketika perasaan cinta terhadap wanita dibalas dengan perasaan cinta terhadap adik?

Aku menghelakan napasku dan memutuskan untuk meminta maaf lagi kepadanya. Namun, belum juga aku menyelesaikan kata-kataku, Jungkook berbalik dan segera memelukku erat. Ia menaruh kepalanya di ceruk leherku dan mengecupnya beberapa kali. Sempat aku memberontak, menyalahkan kondisi ini. Namun, Jungkook yang dahulu kukenal bukanlah Jungkook yang sekarang. Tenaganya jauh lebih besar dari aku dan sudah jelas sekali pemberontakan yang aku lakukan bukanlah apa-apa baginya.

Jungkook semakin mengeratkan rengkuhannya. Sembari masih mengecup kecil leherku, ia berucap, "Kak, terima adek, ya?"

kakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang