Alzheimer

18 0 0
                                    

"Bar! Bar!" Suara ketukan pintu begitu berisik di pagi hari membangunkan Bara yang kemudian bertingkah seperti orang linglung. Rasanya baru saja ia mengalami malam-malam penuh ketakutan akan roh kakek Patti Mena yang sewaktu-waktu kembali, rasanya baru saja ia memejamkan mata di rumah adat dari kayu yang berbentuk panggung, dan rasanya baru saja ia mengalami masa kecilnya lagi.

Mimpi-mimpi itu begitu nyata bagi Bara. Seakan benar-benar terjadi dan terasa begitu canggung saat terbangun kembali sudah berada di sofa. Telapak kaki Bara merasakan sensasi dingin lantai keramik dengan aneh, seolah ia sudah terbiasa menapak tanah dan rumah papan kayu.

"Bar! Bara!" Ketukan di pintu semakin keras dengan suara seorang wanita yang memanggil membuat Bara beranjak dengan enggan. Sesaat Bara tidak mengenali sosok yang berdiri di balik pintu itu.

"Gimana keadaan Bapak sama Ibu? Sudah kamu hubungi?" tanya wanita itu sambil nyelonong masuk langsung menghidupkan televisi. Bara masih bertanya-tanya apa yang terjadi dan mencoba mengingat siapa wanita itu.

"Hei, kok bengong? Sudah lihat berita belum?" tanyanya lagi sambil mencari channel tv yang menayangkan program berita pagi. Sesaat kemudian Bara telah mengingat wanita yang berdiri di depannya, Rina, bulek-nya sendiri.

"Eh, anu, berita apa ya, Bulek?" tanyanya berusaha menyembunyikan kecanggungannya karena ingatannya yang baru saja kembali.

"Ada crane jatuh di Mekkah, tepat di Ka'bah-nya. Bapak sama Ibu sudah menghubungimu belum?"

Crane? Mekkah? Bara tidak mengerti maksud pertanyaan Rina.

"Maksudnya?"

"Coba telepon! Tanya keadaan bapak dan ibu."

"Emang mereka lagi di Mekkah? Ngapain?" Bara semakin bingung.

"Kan haji, kamu gimana sih? Masak lupa?" Nada suara Rina meninggi tak percaya keponakannya melupakan ayah dan ibunya. Sedetik kemudian Bara teringat bahwa orang tuanya sedang haji.

Kejadian lupa ingatan tadi pagi nampaknya berdampak cukup signifikan selama sisa hari ini. Saat Bara menghubungi ayahnya via video-call Line, layar hape-nya menampilkan sosok lelaki berkumis dan jenggot tipis. Bara merasa asing melihatnya, namun hatinya mengatakan bahwa itu adalah ayahnya, Wira. Ayah? Seingat Bara, ayahnya adalah Akiwen, lelaki bertubuh tinggi tegap dengan rambut keriting.

"Benarkah? Bapak malah tidak tahu. Di sini tak ada akses informasi, malah berita-berita tentang seputar haji tahunya dari Indonesia." Bara lega mengetahui mereka tidak apa-apa, meskipun ingatannya masih belum pulih benar. Kemudian obrolan bergulir ke arah bisnis. Bara benar-benar kelabakan karena tidak bisa mengingat sebagian besar hitungan yang telah dibuatnya pada hari sebelumnya, besaran hutang yang harus dibayar, dan dana taktis yang masih tersisa.

Hari-hari selanjutnya, keadaan Bara tidak membaik. Setiap kali mimpi-mimpi tersebut muncul di malam hari, Bara tidak bisa mengingat banyak hal tentang kehidupannya setelah bangun. Dia bisa mengingat jelas detail mimpi-mimpi tersebut, namun tidak kehidupan nyatanya. Bahkan Bara tidak bisa mengingat sebagian besar saudara-saudaranya yang menelpon untuk menanyakan keadaan orang tuanya.

Setiap Rina mengajaknya bicara di pagi hari, Bara seperti orang linglung. Perlahan ingatannya akan kembali, hingga di malam hari Bara sudah hampir bisa mengingat kehidupannya.

Semakin lama, keadaan Bara semakin memprihatinkan. Suatu pagi Bara butuh waktu hampir setengah jam untuk mengingat bagaimana cara menghidupkan kompor gas. Dia memutar-mutar knot tuas tanpa ditekan sehingga pemantik tidak menyala. Kali lain, Bara pergi ke warung untuk membeli gula tanpa memakai baju dan alas kaki.

Rina yang khawatir dengan keponakannya itu menelpon Aji, kakak Bara, dan memintanya untuk pulang. Aji yang pulang menengok Bara mendapati bahwa adiknya memang sudah menderita "kelinglungan" akut. Bahkan saat berjumpa dengannya, Bara tak mengenali kakaknya sendiri.

"Aku Aji, Bar, kakakmu!" Seingat Bara, Akiwen hanya punya anak satu, dirinya. Tunggu, ayahnya bernama Wira, ah, iya. Aji adalah kakak Bara.

Aji yang sedang menyelesaikan studi S2 terpaksa memboyong semua file dan tumpukan buku-bukunya untuk menyelesaikan tesisnya. Dia merombak ruang keluarga menjadi perpustakaan pribadinya khas dengan meja berantakan dan tumpukan buku-buku tebal tentang filosofi dan politik.

Memang belakangan semenjak mengurus perusahaan ayahnya, Bara sering kali mengeluh terserang migrain mendadak. Hutang, pendapatan yang di bawah target, gaji pegawai membengkak, dan perusahaan di ambang kebangkrutan disinyalir menjadi penyebab utama Bara menjadi stress.

Dokter bilang Bara terserang Alzheimer dan psikiater bilang itu adalah gangguan mental SchizophRinaa di mana penderita sering mengalami halusinasi dan mulai kesulitan untuk bersosial. Tetangga bilang Bara mulai gila karena depresi. Aji menduga Bara terkena semacam guna-guna.

Pernah Aji mengundang temannya yang memang pernah belajar ilmu ruqiyah. Lima orang akhwat berdahi hitam, celana congklang, jaket bergambar bendera Palestina, dan janggut yang cuma sekelumit menggantung di dagu.

"Ini adik, Antum?" tanya salah satu dari mereka. Aji mengangguk.

Setelah melakukan interogasi ringan mereka duduk melingkar. Bara sebenarnya risih diruqiyah seperti ini, namun dia tak enak hati karena teman-teman Aji sudah datang jauh-jauh dari luar kota. Awalnya Bara disuruh meminum air putih yang sudah dibacakan doa oleh salah satu dari mereka.

Setiap dari mereka telah dibagi jatah membaca surat dari Al-Quran. Bara hanya duduk diam bersila di tengah serba salah. Lima menit berselang, sepuluh, dua puluh, empat puluh, satu jam sudah Bara hanya duduk diam sampai beberapa kali sempat tertidur.

"Aji, biasanya adik antum kumatnya kapan?"

"Pagi hari, setelah bangun tidur kelakuannya aneh-aneh, seringkali dia tidak ingat apa-apa." Temannya manggut-manggut.

"Ana bentengi dulu saja ya rumah antum, Inshaallah bisa jadi tolak bala. Besok pagi kita coba lagi ruqiyahnya." Bara memasang muka masam mendengarnya.

Secara bergantian mereka menyemprot rumah Bara dengan air yang sudah dirapal doa. Dari halaman depan sampai kamar mandi semua disemprot merata bergantian.

Esok pagi Bara terbangun dengan kebingungan melihat orang-orang yang berpakaian gamis dan bercelana congklang. Mereka mencoba meniru para pedagang dari Arab dan Gujarat, namun warna kulitnya jelas berbeda. Bara didudukkan secara paksa oleh Aji, sementara teman-temannya memulai ruqiyah.

Bara berusaha berontak, namun berangsur-angsur ingatannya kembali. Bara kembali duduk serba salah. Kakinya terus bergerak-gerak, sementara tangannya mengetuk-ngetuk lantai. Punggungnya terasa pegal karena duduk terus. Satu setengah jam berselang dengan Bara yang tertidur.

"Coba nanti ana tanyakan guru ana apa yang salah," kata teman Aji saat berpamitan pulang.

Bara sendiri tak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Setiap kali mimpi itu muncul di pagi hari, Bara hanya mengingat dirinya sebagai Kalai. Semakin matahari tergelincir ke barat, berangsur-angsur ingatannya akan pulih perlahan. Mendekati senja biasanya kesadaran dan semua ingatan Bara sudah pulih seperti sedia kala.

Kalau begitu, jangan tidur! Kesimpulan Bara setelah bermeditasi lama mencoba mencari jawaban. Bara mengisi termos besar penuh dengan kopi jahe sebagai amunisi melawan kantuk. Puluhan giga film sudah mengisi hard disk-nya bersiap untuk diputar sebagai pengalih perhatian malam ini. Tak ketinggalan kudapan pembunuh waktu kesukaan Bara, biji kuaci.

Sehebat apa pun rencana manusia, rencana Tuhanlah yang selalu menang. Semua persediaan dan perlengkapan Bara untuk mengusir kantuk akan sia-sia karena rasa ngantuk itu sudah sunnatullah. Dini hari, tubuh Bara sudah kelelahan akut sehingga sebanyak apa pun kafein yang masuk, pada akhirnya tetap tumbang juga terbuai alam mimpi.

***

NeiraWhere stories live. Discover now