Jangan tidur! Seketika Bara membuka matanya dan bangkit. Dia bangkit di tempat yang berbeda. Di atas lantai papan kayu yang terasa hangat. Ini rumah adat! Dia menoleh ke Manoe Heha yang masih memasang muka kaget melihatnya tiba-tiba berdiri.
Tunggu! Mimpi ini lagi? Tapi, ada yang berbeda, untuk pertama kalinya dia masuk ke dalam mimpi dengan kesadaran sebagai Bara, bukan Kalai. Apakah ini benar-benar mimpi? Bara mencoba melompat dan mencubit pipinya. Telapak kakinya dapat merasakan sensasi papan kayu saat mendarat. Bara mendekati Manoe Heha lalu menyentuh hidungnya. Tongkat di tangan Manoe Heha meluncur ke kepala Bara.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Manoe Heha. Bara mengelus kepalanya bekas pukulan tongkat sambil keluar rumah adat. Sakit sekali, batin Bara. Ini bukan mimpi, rasa sakit ini sungguh nyata. Bahkan silau sinar matahari saat Bara melangkah keluar benar-benar membuatnya tak bisa melihat sesaat.
Berbeda dengan sebelumnya saat kesadaran Kalai yang menguasai tubuh itu. Bara hanya melihat segala sesuatunya dalam diri Kalai.
"Hei, pemalas!" Bara menoleh. Akiwen berjalan ke arahnya.
"Kabarnya orang-orang di Alam Besar melihat kapal Inggris. Coba kau lihat ke sana. Jika memang benar, Bai San ingin menjual palanya kepada orang-orang Inggris." Bara tidak langsung merespon melainkan memperhatikan wajah Akiwen. Seingat Bara kerut di wajah Akiwen tidak sebanyak itu. Senyumnya masih sama, hanya saja matanya semakin sayu. Wajah Akiwen nampak begitu tua.
"Ah, jangan biarkan adikmu ikut. Pergilah bersama Paman Latuo."
Adik? Bara semakin heran. Tunggu, Bara baru menyadari sesuatu. Ada yang berbeda dengan tubuh Kalai, rasanya semakin tinggi. Bara berlari ke gentong air lalu berkaca di sana. Benar saja. Bara tidak bisa mengenali wajah pemuda yang terpantul di permukaan air. Kalai sudah tumbuh dewasa.
"Kalai!" Seorang bocah laki-laki memanggilnya. Bara melihat bocah kurus dengan rambut bergelombang sebahu, mirip seperti Kalai waktu kecil.
"Kudengar ayah menyuruhmu ke pelabuhan, boleh aku ikut?" tanyanya dengan mata berbinar dan senyum lebar. Bara sejenak ragu apakah dia adiknya? Bara hanya mengamatinya dengan seksama.
"Kenapa? Apa ada sesuatu di wajahku?"
"Ah, tidak. Ayah bilang kau tidak boleh ikut," kata Bara yang masih ragu jika dia benar-benar adiknya.
"Ah, ayolah. Jika kau diam saja ayah tidak akan tahu. Aku ingin sekali melihat kora-kora milik orang Inggris."
"Kalau kau sudah sedikit lebih besar," kata Bara sambil meninggalkan anak itu yang memasang muka sebal. Bara ingin berlama-lama dengannya, namun namanya pun Bara tidak tahu. Bukankah aneh rasanya merasa asing dengan adik sendiri? Bara khawatir kalau-kalau anak itu menyadari bahwa dia bukan Kalai.
Ada banyak hal yang Bara lewatkan tentang Kalai, mimpi-mimpi sebelumnya selalu memunculkan Kalai kecil. Sekarang tiba-tiba dia memiliki kesadaran penuh dalam mimpinya sebagai Kalai yang sudah beranjak dewasa. Bahkan semua ini terasa nyata, bukan mimpi. Apa yang sebenarnya terjadi?
Bara berjalan tak tentu arah mengikuti jalan setapak desa. Pikirannya terus mencoba mengurai misteri kenapa dia bisa berada di sini.
"Kalai, hei!" Seorang lelaki kurus ceking melambaikan tangannya kepada Bara.
"Kamu dipanggil Bai San."
Bai San? Bara lantas mengikuti lelaki itu sampai dia melihat sosok pria bertubuh buncit, memakai topi bundar, dan beralaskan terompah. Dia tampak begitu lembek bahkan jika dibandingkan lelaki ceking di sampingnya. Seorang pria mengekor Bai San sambil memayunginya agar tidak kepanasan. Sungguh berbeda dengan Bai San yang dulu ia kenal. Bai San yang dulu bertubuh tegap.
YOU ARE READING
Neira
General Fiction"Neira akan membawa Anda berpetualang menjelajah perburuan pala di Kepulauan Banda. Sepenggal kisah penuh intrik dari masa lalu yang ikut menentukan masa depan bangsa ini" Rangga Almahendra Penulis buku 99 Cahaya di Langit Eropa dan Bulan terbelah d...