Red Flavor : Orange

438 75 50
                                    



Peringatan untuk kesekian kalinya, tolong tutup saja laman ini bila anda hanya menjadi viewer.

Aku adalah pengagum Yetti AKA. Terima kasih atas karya-karya yang begitu menginspirasi.

warn : Cerita ini domestic au!  Jaemin centric ! Nomin implicite dengan narasi penuh

*

Come over here and sit on my knee and finish your orange juice

Sonny Liston

__________ . _________

Gerimis kesekian kalinya hari itu. Rinai titik titik air seakan tak lelah mendera tanah dan jalanan aspal di komplek perumahan itu. Menciptakan kubangan air bulat-bulat di beberapa tempat yang aspalnya lebih rendah dibandingkan halaman. Terkadang, diselingi dengan bulatan berpendar layaknya pelangi akibat titik air yang menghantam tetes-tetes minyak yang pecah, mungkin bekas oli yang menetes dari mobil dan skuter yang sesekali melintas.

Memang, separuh hari akan dihabiskan dengan hujan, ujar bi Jung. Wanita paruh baya yang sudah lama merawat rumah yang kini ditempatinya itu. Gerutuan itu hanya akan ditanggapinya dengan senyuman. Mungkin suasana hatinya sedang tidak bagus, kesal karena rumput di halaman cepat sekali tumbuh. Membuat bibi Jung harus memanggil tukang potong rumput dua kali seminggu.

Ini sudah dua minggu semenjak dia datang ke kota ini. Jeno, sang suami, sedang dinas keluar kota selama sebulan. Terlalu takut istrinya dibawa lari orang, membuat Jeno memperbolehkan istrinya itu untuk tinggal sementara di rumah sahabat yang kebetulan kosong karena pemiliknya sedang studi doktoral di luar negeri. Setidaknya, ada bi Jung yang menemani istrinya disana.

Dia ingat saat pertama kali kesini, di dalam mobil yang mengantarkannya, dipandanginya jejeran rumah-rumah megah dua lantai yang menghuni perumahan ini. Deretan jendela kaca besar yang gelap dan kosong itu memandang balik netra cokelat madunya. Sepi. Pun sampai beberapa hari dirinya tinggal disini, tak ada yang ditemuinya hanya untuk bertegur sapa sepatah dua patah kata atau sekedar berkenalan.

Dia menjadi paham akan gerutuan yang seringkali dilontarkan bi Jung. Mungkin kedatangannya kesini, menjadi sebuah pelipur untuknya. Layaknya menemukan teman untuk berkeluh kesah setelah agaknya cukup lama ditinggal sang majikan ke luar negeri. Tentu ada pembantu-pembantu dari rumah-rumah sebelah yang sering diceritakan juga oleh bi Jung, sebagai teman bertukar cerita. Memang, dapat dilihatnya sekilas dari dalam rumah, perempuan-perempuan berbaju macam daster berkumpul mengelilingi gerobak tukang sayur. Suaranya riuh rendah memecah sepinya pagi hari.

Tapi memang itu tak cukup. Dan sejak perumahan ini didirikan beberapa tahun silam, lalu dihuni satu persatu, tidak ada tegur sapa yang terbentuk. Mereka pergi di pagi hari dan kembali saat petang malam menjelang. Sibuk dengan dunia kerjanya, bagi orang-orang seperti mereka, tidak ada waktu untuk hal-hal remeh temeh seperti itu. Timpal bi Jung suatu kali.

Dia pun hanya manggut-manggut seraya menyesap cangkir teh melatinya yang tinggal separuh.

...

Sehari-hari hanya dihabiskannya di dalam kamar. Keadaannya yang sedang membawa nyawa lain dalam perutnya lah yang membuatnya malas untuk sekedar turun ke lantai satu. Adanya bi Jung yang menyediakan apa yang dia mau pun semakin membuatnya malas. Saat tak ada panggilan rutin dari sang suami, dia hanya akan duduk menghadap jendela kamarnya yang selalu tertutup itu. Menghalau rinai hujan yang seringkali tak bersahabat.

Red FlavorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang