Chapter 4

405 44 7
                                    

Louis' POV

"Apa kau bilang?!"

"Louis, ini tidak seburuk yang--"

"Tidak seburuk yang kubayangkan?! Oh ayolah Ed, bagaimana mungkin aku melakukan ini?!" Kau--"

"Louis, dengarkan aku dulu! Kau tahu, kan popularitas kalian sedang menurun? Kau mau lambat laun band kalian tidak terkenal lagi, dan akhirnya bubar? Menghapus mimpimu dan tidak bisa membanggakan orangtuamu lagi? Kau mau, hm?"

Brengsek. Aku terdiam. Dia benar. Aku melakukan ini semua semata-mata hanya karena ingin mewujudkan mimpiku untuk menjadi penyanyi terkenal dan membanggakan orangtuaku.

Berbicara tentang orangtuaku, mereka sangat giat memberiku les atau latihan menyanyi sewaktu aku kecil. Oleh sebab itu aku tidak mau mengecewakan mereka.

Dua tahun yang lalu aku mengikuti ajang pencarian bakat The X-Factor dan dinyatakan lolos. Dibawah pengarahan Uncle Simon, aku bersama keempat temanku --atau aku menyebutnya keempat saudaraku berusaha untuk menjadi penyanyi terkenal, dan perjuangan itu tidak sia-sia. (Mungkin sebagian besar dari kalian sudah tahu sejarah lengkapnya, jadi aku tidak akan menjabarkannya disini)

"Kau hanya perlu berpura-pura, Louis. Hanya berpura-pura."

"Ya, dan menjalankan itu tidak semudah yang kau bayangkan. Kau tahu kelainan yang aku miliki dan kau menyuruhku berpura-pura berhubungan dengan perempuan? What the hell!"

"Sekarang begini, kau mau band ini bubar atau kau harus berpura-pura pacaran dengannya."

"Persetan denganmu, kenapa harus aku? Kenapa tidak yang lain saja, hah?!"

"Karena fans-mu tahu kalau kau dan Harry seorang gay. Dengan begini kita bisa mengguncang dunia kalau tiba-tiba saja kau mengencani seorang gadis."

Persetan semuanya! Kalau aku tidak menerima permintaan Ed, otomatis pasti Harry yang kena imbasnya. Aku tidak mau. Aku tidak mau cemburu melihat Harry mengencani seorang gadis --walaupun hanya berpura-pura.

Jangan salahkan aku gara-gara aku ini seorang gay. Salahkan takdir. Intinya aku tidak bersalah karena ini.

"Bagaimana?"

"Fine!" Aku menggebrak meja.

Ed tersenyum puas mendengar keputusanku. Tentu saja dia senang, kalau kami kembali popular, otomatis dia akan medapatkan uang berlimpah juga.

Brengsek, mata duitan sekali dia.

"Nanti kita bicarakan dengan Harry. Sekarang cepat kau bersiap-siap. Kita akan pergi menemuinya. Oh iya, namanya Eleanor."

Aku memutar kedua bola mata. Memangnya aku peduli siapa namanya?

***

Eleanor's POV

Aku berjalan menuju kafetaria rumah sakit. Baru saja aku menghubungi Ed, katanya Ia akan tiba disini dalam 10 menit bersama uhm siapa namanya? Louis.

Terus terang saja, aku tidak siap kalau harus menjalani ini semua. Bisa saja tiba-tiba aku disuruh acting di pagi hari. Siapa yang akan menjaga Ibu?

Ditambah lagi, tengah malam kemarin pihak rumah sakit menghubungiku bahwa Ibu kejang-kejang dan keadaannya semakin memburuk. Pihak rumah sakit berkata bahwa akan dilakukan kemo secepatnya.

Kepalaku pusing.

Aku mendudukkan diriku di atas kursi kafetaria dan memesan secangkir kopi susu hangat. Kebetulan udara di London saat ini begitu dingin. Mungkin cepat atau lambat salju akan turun.

Beberapa menit kemudian seorang pelayan datang ke meja sambil membawa pesananku. "Ini pesananmu, nona."

"Terima kasih."

Jelas saja pesananku cepat diantar. Pengunjung kafetaria saat ini begitu sepi.

Aku menyesap kopi susu hangat ini dan sesekali mengusap-usap kedua telapak tanganku.

"Hai, Eleanor! Sudah lama menunggu?"

Aku menoleh kebelakang dan mendapati Ed sedang berjalan kearahku bersama seorang lelaki di belakangnya. Itu pasti Louis.

Aku menyunggingkan senyum kepadanya, "Tidak terlalu."

Ed dan Louis mendudukkan dirinya di kursi di hadapanku. Ed membalas senyumanku sementara Louis membuang mukanya kearah lain. Ed memesan secangkir kopi panas dan Louis tetap diam.

"Jadi bagaimana keputusanmu, Eleanor?"

"Aku menerimanya."

Baik Ed maupun Louis tersentak kaget dengan kalimat yang barusan kulontarkan dengan mantap. Bahkan Louis sampai melihat kearahku, padahal daritadi Ia enggan menoleh kearahku.

Ed menyesap kopi hangatnya yang baru saja diantar lalu berkata, "Aku tidak menyangka semantap itu kau memutuskannya. Tapi tak apa, itu bagus."

"Ada banyak sebab yang memaksaku mengambil keputusan ini."

"Baiklah, keputusan kalian berdua sudah bulat. Sekarang kau boleh menandatangani ini." Ed mengeluarkan selembar kertas dan pena lalu menyerahkannya kepadaku.

Aku terkejut, Louis menerimanya? Ah, walaupun Ia menerima ini aku yakin itu Ia lakukan dengan berat hati. Kelihatan dari wajahnya yang daritadi merenggut kesal.

"Terimakasih, Eleanor. Mungkin nanti malam kalian bisa memulai 'acting' pertama kalian." Tutur Ed setelah aku menandatangani kertas ini.

"Baiklah, aku pergi dulu. Masih banyak hal yang harus aku urus. Sampai jumpa, Eleanor!" Ucap Ed sambik menjabat tanganku.

"Oh iya dan Louis, aku tinggal sebentar. Manfaatkan waktu yang singkat ini untuk mengenal dirinya lebih jauh." Ed berbisik kepada Louis. Walaupun hanya bisikan, aku masih bisa mendengarnya dengan jelas.

"Ed! Kau--"

"Sshh, Louis pikirkan baik-baik apa yang akan terjadi dengan karirmu jika kau terus-terusan begini."

"Arghh!"

Ed berjalan menjauh keluar dari kafetaria ini meninggalkan kami berdua, Louis dan aku. Selama kurang lebih 7 menit keadaan sangat hening. Louis maupun aku tidak ada yang mau memulai percakapan. Sebenarnya aku tidak tahan berada dalam suasana seperti ini. Tapi mau memulai percakapan saja aku malu dan canggung. Aku tidak tahu seberapa lama lagi suasananya akan terus seperti ini. Setidaknya--

"Louis. Namaku Louis." Ia menghembuskan nafas pelan.

Aku mendongakkan kepalaku yang daritadi menunduk lalu menatapnya. "A-aku Eleanor." Ucapku ragu-ragu.

Aku yakin dia sudah tahu kalau aku tahu namanya begitu juga denganku. Suasana semakin canggung ketika dia hanya diam menanggapi perkataanku barusan.

"Ada beberapa hal yang harus kubicarakan denganmu, Eleanor."

The Calder TripletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang