Terik matahari mencapai titik terpanasnya saat ini. Aku melangkahkan kakiku keluar dari pesawat yang membawaku dari Negeri Jiran dalam beberapa jam lalu. Udara kota ini memang berbeda dengan udara kota ini enam belas tahun yang lalu. Asap-asap kendaraan mengepul bebas dari bus-bus kota di Jalan Jogja-Solo. Suasana luar ruang tunggu yang terlihat kurang nyaman itu terlihat dengan jelas dari ruang tunggu berdinding kaca Bandara Adisucipto. Peluhku berkerling dipantulkan sinar matahari, memancarkan beban-beban berat hidupku puluhan tahun ini. Ruang tunggu ramai dipenuhi teman seperjuanganku, sesama tenaga kerja wanita. Kami sama, menunggu kedatangan orang-orang yang menjemput kami. Beberapa dari temanku saling bercakap, tapi aku tidak. Sinar mentari memantulkan cahaya kearah sebuah mobil putih, seorang supir membawa papan nama bertuliskan namaku keluar dengan menengok kesana-kemari mencari keberadaanku. Aku datang menuju mobil itu, beberapa temanku juga ikut dengan rombonganku.
Mobil bergerak menuju timur, perbatasan timur Provinsi DIY, Klaten. Kota kelahiranku, dimana aku dibersarkan bapak dan ibu, penuh kenangan indah yang selalu tersimpan didalam kalbu. Aku melewati sebuah sekolah dimana aku bersekolah dahulu, sekolah dasar swasta dengan lingkungan elite pada jaman kedua orang tuaku masih mampu. Di depannya terdapat sebuah kantor pos yang selalu menjadi tujuanku saat berkirim surat kabar dengan kawan jauhku, di samping kantor pos terdapat sebuah warung makan ternama. Sering kali ibu mengajakku untuk sekedar makan siang di sana. Sekarang, kantor pos telah berubah menjadi pos ojek dan warung makan itu sudah jauh lebih mewah daripada puluhan tahun yang lalu, mungkin ibu tidak akan mampu mengajakku makan siang di tempat itu, jangankan untuk makan di sana, untuk makan sehari-hari kami lebih memilih makan ubi dibandingkan nasi. Harga beras sangatlah tinggi, tidak sebanding dengan penghasilan kami.
Aku tiba di sebuah lampu merah dengan lima persimpangan, kami menyebutnya proliman. Dahulu di tempat ini banyak sekali peminta-minta yang berada di lampu merah ini. Syukurlah, sekarang jumlah mereka berkurang dan lebih cerdik dalam menyikapi peraturan. Pria-pria berpakaian wanita dengan bedak tebal di seluruh muka berjalan melenggak-lenggok sambil memaikan alat musik kecilnya. Bapak dulu juga pernah membawa mangkuk sedekah, duduk dan meminta, seolah kami keluarga paling rendah. Aku sedih mengingat saat-saat itu, saat orang-orang kota serakah merubah desaku menjadi lahan industri. Tembakau sebagai penyambung hidup keluargaku saat itu juga ikut menurun. Rokok tradisional yang dibuat dengan kertas sigaret kemudian diberi tembakau dan cengkih sekarang sudah tidak diminati. Rokok-rokok instan saat itu lebih banyak diminati, padahal tentang rasa rokok tradisional dijamin lebih nikmat. Apalagi pabrik-pabrik besar tidak mau membeli daun tembakau dari daerahku dan memilih daun tembakau dari daerah pegunungan seperti Temanggung karena dinilai memiliki nikotin lebih tinggi dan lebih nikmat. Bapakku bangkrut, modal puluhan juta tidak kembali dalam sekejap mata, padahal kami harus membayar pegawai-pegawai yang telah banyak bekerja. Saat itu ibu langsung menjual perhiasanku juga perhiasan ibu untuk membayar Mbah Lasiem, Budhe Darsi, Pak Topo dan beberapa pegawai lainnya.
Roda masih bergerak lurus, melewati kawasan Pasar Prambanan yang telah benar-benar berubah total. Sudah tidak terlihat sama sekali pedagang-pedagang membuka lapak, duduk berdagang, tawar menawar, semua sudah benar-benar hilang dari pandangan. Aku teringat tentang berita yang ku baca dari media online tentang pembangunan pasar tradisional pengganti Pasar Prambanan sehingga membuat aktifitas jual beli dipindahkan ke daerah Pelemsari, Prambanan. Aku jadi teringat, saat kecil Mamak mengajakku membeli anting di toko emas ternama di pasar itu. Aku sangat bahagia saat Mamak memberiku anting panjang bergantungkan bintang-bintang kecil. Kata Mamak kalau besar nanti aku harus bisa menjadi bintang yang menerangi ibu dan bapakku. Sayangnya anting pemberian Mamak di jual untuk membayar Mbah Lasiem, Budhe Darsi, Pak Topo dan beberapa pegawai lainnya. Akupun gagal menjadi bintang itu.
Melewati Pasar Prambanan, perhatianku saat ini terpusat pada taman wisata Candi Prambanan. Melihat beberapa muda-mudi saling bergandengan bak dunia milik berdua. Mereka tak tahu saja masa depan, memang siapa bilang yang bergandeng akan bersanding? Itu belum pasti. Buktinya aku dan Dobos. Dahulu, aku dan Dobos pernah saling berjanji sekitar 3 tahun lagi aku akan kembali dan mengikat janji suci dengan Dobos. Tapi apa yang terjadi? Sudah kawin tak jadi, aku ditinggal lari, uang-uang yang kuberi ia pakai untuk memperisteri si Rebuti. Malang sekali nasibku, hidupku kurang beruntung, hutang-hutang makin menggunung, untung saja akal ibu tak buntung. Ibu menjual sego gudhang dan juga bubur di depan rumah Budhe Sutinah setiap pagi. Keuntungan 100 ribu perhari beberapa kali menyambangi kami, namun itu tidak berlangsung lama. Penjual sego gudhang saat ini bukan hanya ibuku. Ada Yu Bandi, Yu Dasimah, Yu Asih, dan beberapa pedagang lain yang menyaingi ibu. Tapi ibu tidak marah kepada beberapa tetangga, karena tetap saja sego gudhang milik ibu paling laris di desaku. Nasi yang hangat dan pulen, dicampur dengan sayuran yang direbus empuk ditaburi dengan bumbu parutan kelapa gurih serta dilengkapi siraman lethok tahu yang sangat nikmat dan mengenyangkan untuk sarapan. Syukurlah, ibuku cukup membantu bapak melunasi hutang-hutang. Begitulah, kata Pakdhe melalui surat yang ia kirimkan kepadaku setelah aku kembali lagi ke Malaysia.
Bapak, Ibu! Ini aku, anakmu! Aku pulang! Meskipun ibu bapak dililit hutang, meskipun aku belum punya cukup uang, aku harus pulang! Bapak, Ibu! Ini aku, anakmu! Aku telah pulang!
Aku tiba di gang depan rumahku, gang sempit dengan hiasan bendera putih di depannya. Orang-orang riuh ramai berdatangan dengan pakaian hitam. Tangisan dan teriakan berkumandang.
"Mulutnya menganga! Bawa saja ke dokter untuk otopsi..."
"Di pipinya terdapat bekas luka seperti sudutan rokok!"
"Lihat saja bahunya membiru seperti bekas pukulan benda keras!"
Orang-orang berteriak tidak terima dengan apa yang terlihat.
"Tidak-tidak, kata juragannya ia jatuh dari lantai dua!"
"Jika ke meja hijau, aku tak mau masalahnya semakin rumit!"
"Kami takut nanti kami malah di tuntut balik bilamana bukti tidak pasti"
Aku membalik badan, tersenyum kecut menatap semua orang. Pemilik uang adalah pemenang. Jika tak punya uang, pastilah kalah dalam medan perang. Inilah ironi kehidupan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kere
Short StorySekumpulan cerita pendek tentang ironi kehidupan orang-orang yang tersisihkan karena kekurangan.