Ayah sayang, apa kabar? Semoga ayah di negeri abadi senantiasa tersenyum seperti senyum ayah di masa-masa sulit dulu. Senyuman yang merangkum ikhlas, sabar, dan optimisme yang selalu mampu membuatku terpesona. Semoga Allah senantiasa melimpahkan cintaNya melebihi limpahan cinta ayah yang mengisi setiap lembar-lembar hidupku. Amiin.
Atas nama cinta kutuliskan catatan ini, satu dari sekian banyak catatan tentang ayah yang selalu ingin kukirim ke negeri abadi, tempat ayah kini berada. Setiap catatan adalah lukisan peristiwa dan luapan rasa yang berbukit-bukit tentang rindu yang luar biasa dari seorang anak kepada ayahnya.
Ayah, menyebut namamu, mengalunkan vibrasi dalam denyut nadiku, memenuhi rongga tubuhku dengan getaran. Jutaan getaran yang ditimbulkan oleh perasaan-perasaan yang berbeda, menyatu, membuatku terpekur dalam kerinduan. Rindu pada segala hal tentang ayah.
Ayah, aku ingin ayah tahu bahwa aku disini baik-baik saja. Ayah tidak perlu khawatir ya. Aku kangen ayah, kangen sekali. Rasa itu membuncah dalam dada. Setiap hari kucoba menitipkan rasa itu lewat doa-doa panjangku. Kuharap ayah bisa merasakannya. Banyak yang hilang dari hidupku sejak ayah pergi.
Ketika pucuk-pucuk pohon telah menjadi pangkal bagi tunasnya,
Ketika sayap-sayap telah lelah untuk menjelajah,
Dan ketika aroma tanah basah telah hilang, menjadi untaian jelaga dan kepanasan,
Barulah aku sadar….
Sudah tiga tahun, tiga tahun aku jauh dari ayah, tiga tahun aku tidak mendengar nasihat dari ayah, tiga tahun aku lepas seperti kapas, tiga tahun aku tidak terbakar oleh kobaran semangat ayah, dan tiga tahun aku mencoba tetap tegar menghadapi segala persoalan hidup, mencari setiap solusi yang aku butuhkan. Sendiri.
Bukan waktu yang singkat untuk sebuah perasaan kehilangan, dan bukan waktu yang terlalu lama untuk sebuah tahapan pendewasaan. Entahlah,, baru sekarang aku sadar batapa diri ini sangat rindu. Rindu pada setiap canda dan tawa yang kau tawarkan, cerita-cerita konyol, nasihat klasik dan bara semangat yang senantiasa mendidihkan keberanianku di waktu yang lalu. Dan ketika itu, semua hanya biasa. Tak pernah ada kesan istimewa. Tapi sekarang, yang biasa itulah justru yang sangat aku rindukan.
Ayah, kau tak pernah berhenti mengungkap segala harapan dan impian. Harapan yang kau berikan pada anakmu, keinginan tuk jadikan aku yang luar biasa. Harapan agar aku menjadi yang paling indah dan berarti. Hanya untuk sebuah alasan, “karena aku adalah anakmu”.
Kau tak pernah rela aku berada pada satu titik kesalahan, yang mungkin akan membawaku pada sedikit kemunduran. Dan kaupun selalu bangga dengan prestasi yang coba ku ukir, meski itu hanya untuk sedikit langkah yang lebih maju.
Dan sekarang aku disini, berada di puncak ambisiku, mencoba berdiri untuk menyusun pembuktian bahwa aku memang layak menjadi anakmu, dengan sebuah keyakinan bahwa doa dan semangatmu masih melekat erat di urat dan syarafku. Nasihatmu adalah solusi bagiku.
Ayah, banyak cerita yang ingin aku sampaikan padamu. Cerita-cerita tentang kemajuan yang aku dapatkan dalam tiga tahun ini, pengalaman-pengalaman hidup yang dulu senantiasa kau ceritakan padaku. Aku telah mencoba untuk menjadi seseorang yang bukan anak-anak lagi, berusaha untuk mewarnai setiap lembaran kehidupanku dengan goresan-goresan warna yang indah. Mencoba untuk mencari arti sebuah hidup dan kebahagiaan. Tidak mudah memang, tapi kesulitan itulah yang menjadi warna bagi hidupku.dan apa yang telah dan kini aku hadapi barulah sedikit dari sekian banyak pelajaran hidup yang telah kau rasakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Rindu Ayahku"
Non-FictionSeorang anak yang merindukan sosok lelaki yang sangat berarti dikehidupannya yang disebut "AYAH".