1.Asrama kematian

18 0 0
                                    

Aku, Citra, dan Tiara duduk melingkar di kamar kami saat malam menjelang. Lampu redup menerpa wajah kami, hanya hening dari tadi. Bibir kami kelu sedari tadi, entah bagaimana akan memulai pembicaraan ini. Angin dingin berhembus masuk melalui jendela kamar yang dibiarkan terbuka lebar.
“Aku takut.” Akhirnya kata itu terucap dari bibir Citra, matanya mulai berkaca-kaca. Tiara semakin mempererat pelukannya pada boneka cokelat kesayangannya, menangis tanpa suara.
“Aku juga.” Ku coba menenangkan.

Kembali hening, hanya isak tangis Citra yang terdengar. Aku hanya bisa menatap wajah pucat masainya.
“Gadis itu kembali memakan korban, kali ini Karina.” ucapan Tiara membuat kami teringat kejadian itu. Angin yang masuk semakin kencang. Awal bulan November benar-benar tak main-main soal cuaca. Aku berdiri, lantas menutup jendela kayu dengan ukiran sulur-sulur itu.

“Aku akan pergi dari sini.” Ucap Citra tiba-tiba di sela tangisannya. Tiara tercekat, aku mematung di depan jendela.
“Apa kau gila? Ke luar dari asrama ini sama saja dengan mati!” bentak Tiara.
“Tapi jika kita tetap di sini, kita akan tetap mati!” tangis Citra meledak. Aku menghela napas panjang, entah apa yang harus ku katakan.
“Sudahlah, kita hadapi ini bersama. Kita bisa melewatinya.” Aku mencoba menenangkan suasana. Tiara memalingkan muka, mungkin ia sudah muak pada ucapan penuh harapan palsu yang selalu ku lontarkan.

“Lidya, jika hantu itu membunuh kita, apa yang kan kita lakukan?” Citra menatapku kesal.
“Tak ada apa-apa yang akan terjadi pada kita,” ucapku pura-pura tenang, padahal aku takut sekali. Tiara mencecak sebal.
“Kau selalu bilang begitu, lihat teman-teman kita, Fitria, Penny, Arin dan kemarin, Karina. Mereka sudah jadi korban, tinggal kita bertiga.” ucap Tiara.
“Lebih baik kalian pergi tidur.” aku naik ke ranjang, lantas menutup badan menggunakan selimut. Keringat mengucur deras dari pelipis. Bagaimana seandainya ucapan mereka benar?

“Lidya! Lidya! Bangun!” ku rasakan Tiara mengguncang-guncangakan tubuhku. Aku membuka mata, terliahat Tiara sedang menangis.
“Apa yang terjadi?” tanyaku panik.
“Kemarin malam saat kita tertidur, Citra meninggalkan asrama ini. Dan, d-dan…”
“Dan apa?” tanyaku tak sabar.
“D-dan jasadnya ditemukan di taman belakang dengan luka di sekujur tubuhnya.” jawab Tiara sambil menangis.
“Tidak mungkin!” ucapku tak percaya. Iblis itu benar-benar akan membunuh kami.

“Kau mau ke mana?” tanya Tiara saat aku membuka pintu kamar.
“Toilet.” ucapku singkat. “Jangan pergi, ku mohon” ucapnya dengan wajah memelas. Aku menghela napas panjang.
“Kau ini kenapa?” tanyaku jengkel.
“Aku merasa, malam ini aku yang kan menjadi korban.” ucapnya pelan.
“Omong kosong. Jangan bicara begitu! Lagipula aku tak akan lama.” ucapku sambil berlalu meninggalkannya.

Baru menuruni tangga ku dengar suara jeritan, aku lekas berlari kembali ke kamar. “Tiara!” Ku cari Tiara di seluruh kamar, tapi tak kunjung ku temukan. Mataku melihat handphone Tiara tergeletak begitu saja di lantai. Aku memungutnya, lantas ku buka. Ada sebuah rekaman suara, ku menekan tombol play dan mendengarkannya.

“Lidya, a-ada sesuatu yang k-keluar d-dari ba-bawah ranjang, t-tunggu i-itu terlihat seperti orang! Ia merangkak mendekatiku!” ini benar-benar suara Tiara!
“Lidya! Sepertinya aku akan mati sekarang! Orang itu semakin mendekat! TIDAAAK!!” Aku melemparkan handphone itu. Keringat dingin mengucur deras. Ku rasakan sudut mataku mulai menghangat. Sosok gadis ceria itu terus ada di kepala. Segigih apapun aku berusaha melaporkannya pada guru dan penjaga, aku tak pernah mendapatkan kepercayaan dari mereka.

“Mungkin malam ini aku yang akan mati. Tidak! Aku tak boleh berpikir seperti itu.” Aku memeluk lutut, malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang. Terdengar suara ketukan pintu. napasku mulai tak teratur, pikiranku mulai berkhayal yang tidak-tidak tentang hantu asrama ini.
“Hai,” seorang gadis seumuranku masuk ke kamarku, menghadirkan napas lega.
“Hallo, kau murid baru?” Tanyaku dengan senang karena ada yang akan menemani. Setidaknya aku tak akan sendiri.
“Ya.” ucapnya diiringi senyum.

“Kenapa kau pindah ke sini?” tanyaku lagi.
“Hanya untuk satu tujuan, bolehkah aku memiliki ragamu?” Gadis itu mulai mendekatiku. Aku melompat dari ranjang, ku rasakan bulu kudukku berdiri.
“Tidak mungkin!” Ku lihat gadis itu semakin mendekat, senyumnya semakin lama semakin melebar yang tak masuk di akal sehat, mengerikan.
“Aku ingin ragamu, Lidya!!” ucap gadis itu sambil masuk ke seluruh pori-poriku

Cerita hororTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang