Satu : Maya Adora Rawnie

108K 8K 155
                                    

Makan dan warna merah muda merupakan kesukaanku. Ada banyak ragam keceriaan saat aku mencicipi makanan dari penjuru Nusantara. Satu keinginanku, berkeliling dunia dengan menyicip semua cita rasa yang ada. Sayangnya di umur 27 tahun, aku hanya baru bisa ke 12 negara. Aku suka semua makanan tanpa ada pengecualian, ini serius loh.

Cita rasa manis, pedas, asam, dan pahit begitu memikatku. Untuk itu aku memilih menjadi seorang Food Reviewer . Aku sudah melalangbuana ke banyak daerah. Baik di Nusantara maupun beberapa negara tetangga. Kerap kali diundang untuk menghadiri lomba memasak atau soft opening restoran besar.

Mulai dari hotel bintang tiga, empat dan lima, hingga restoran kelas satu. Semua mengenalku, chef di nusantara semua mengenalku sebagai perempuan langsing menakutkan pemakan segala. Semua review makanan yang aku coba aku tuangkan dalam vidio vlog, blog dan buku yang selalu rutin aku terbitkan.

Bagi kalian makan mungkin mengeluarkan uang, tapi bagiku, makan itu mendapatkan uang. Hobi yang dari aku kecil selalu aku sukai dan aku pelajari terus. Aku mungkin bisa menyecap banyak rasa, tapi kemampuan masakku tidak bagus dan tidak buruk juga. Artinya, kemampuan memasakku standar.

Tiada hari tanpa makan, prinsip yang luar biasa untukku. Cukup punya satu orang asisten yang tiap hari kerjaannya diet saja. Padahal aku sudah sering menasihatinya bahwa selagi bisa makan, kenapa harus diet?

"Lo malam nanti ada undangan ke restoran barunya Varol." Suaranya merdu dan penampilan modis, suka parno kalau timbangan naik segaris. Perkenalkan dia Wika Kharisma, asisten setiaku sekaligus sahabat karibku sejak masih memakai popok.

"Gak jera juga si Varol ini?"

Wika menoyor kepalaku yang membuatku mendelik kepadanya. Hanya Wika yang dengan kurang ajarnya bisa menoyor kepalaku. Dia memang selalu begitu jika aku sudah menyinggung Varol.

"Varol itu chef berbakat May. Kayaknya cuma lo yang gak suka sama masakan dia. Hati-hati lo jadi karma, lo gak suka masakan dia malah nanti tiap hari makan masakan dia," kelakar Wika yang kini sibuk mondar-mandir di hadapanku.

Saat ini aku dan Wika sedang berada di perpustakaan rumahku yang semuanya serba berwarna merah muda. Wika sedang menyusun buku baruku yang akan segera terbit minggu depan, buku itu ditatanya bersama buku-buku milikku yang lain. Sebenarnya aku tidak begitu bisa mengekspresikan masakan melalui tulisa, itu akan menjadi pekerjaan Wika yang merupakan seorang penulis karbitan.

Aku membaringkan tubuhku di sofa yang lagi-lagi berwarna merah muda. Aku mengangkat tanganku yang dihiasi gelang yang mungkin terlihat kuno namun begitu berarti bagiku. "Gue gak suka sama sikapnya yang sengak. Lagian emang masakannya gak begitu memanjakan lidah gue," kataku membalas perkataan Wika sebelumnya.

"Tapi wajahnya memanjakan mata lo kan?" Wika duduk di kursi kerja milikku. Dia mengangkat kakinya ke atas meja, bergaya seperti dia boss-nya. "Kapan sih lo mau ganti warna kesukaan? Lama-lama gue enek sama warna merah muda!" sambung Wika dengan protesannya.

Aku mendengus pelan dan berucap, "Dari zaman lo bisa bedain warna juga lo udah protes soal ini Wik."

"Dan dari zaman lo gak tau ini warna apa selalu merah muda. Sampai gue histeris ngamuk kalau Mami beliin gue barang warna merah muda." Mengenang masa anak-anak tidak akan ada habisnya untuk aku dan Wika. "Gue kalau ngeliat merah muda selalu terbayang wajah lo yang sekarang udah kayak warna merah muda itu," Wika mengakhiri protesannya dengan melempar sebuah pulpen berbulu, silahkan kalian tebak warna pulpen itu.

"Wik. Lo minggu depan beneran ada urusan keluarga?" tanyaku setelah aku berhasil menangkap pulpen kesayanganku.

"Yoi. Lo jangan buat ulah ya selama gue gak ada," peringat Wika.

Aku menghela napas pelan, kalau Wika lagi ada urusan begini biasanya aku bakalan ketimpal sial. Dulu Wika pernah pergi liburan dan  aku harus mengurus semuanya sendiri, berapa banyak vlog yang gagal aku buat. Ujung-ujungnya aku menyewa jasa edit vidio yang cukup mengorek dompet. Kalau ada Wika aku gak perlu melakukan itu semua, karena Wika itu serba bisa. Dia mah cuma gak bisa makan banyak aja.

"Gue seminggu off deh gak terima job. Gak kebayang berapa banyak duit yang harus gue keluarin," keluhku.

"Lo fokus sama peluncuran buku minggu depan aja. Gue udah atur jadwal lo, cuma ada dua kali acara mukbang yang harus lo ikutin," Wika melempar buku catatannya dan untunglah aku berhasil menangkapnya.

Aku membaca tulisan tangan Wika yang rapi, terkadang aku heran dengan manusia satu ini. Dia punya banyak kemampuan tetapi lebih memilih buat mengikutiku yang setengah pengangguran begini. Wika bilang dia cuma punya satu cita-cita, punya suami penulis dan gak suka makan. Jadi dia gak perlu masak mulu buat suaminya.

Berbanding terbalik denganku yang ingin punya suami chef, lumayan tiap hari makan enak. Bisa dimasakin dan aku gak repot buat belajar masak. Ada suami ini yang bisa masak, suami mandiri sih aku menyebutnya.

"Wik ini lo serius gue mukbang sushi?" tanyaku pada Wika setelah sekilas membaca.

Wika mengangguk santai, aku menyipitkan mataku memandang Wika curiga. "Masih rangkaian acara pembukaan restoran baru Varol," ujarnya yang diakhiri cengiran tak bersalah.

Rasanya wajahku sekarang sudah memerah dan keluar asap dari kedua lobang hidungku. "Dia buka restoran jepang? Asal jangan Varol deh Wik. Gue ngeliat muka dia aja udah enek pengen muntah," kataku dengan wajah memelas setengah memohon.

Harapanku jelas Wika membatalkan janji itu. Sayangnya Wika tidak akan melakukan hal itu, terkadang aku merasa di sini bossnya si Wika. "Gak ada batal-batal ya May. Kita udah setuju buat ikut acara itu, lagian yang parno cuma lo doang, si Varol biasa aja tuh. Padahal lo selalu kasih dia review yang pedas sepedas jalapeno," omel Wika yang kini bangun dari posisi duduk tidak sopannya.

Aku mengikuti pergerakan Wika yang membuka sebuah kulkas mini di sudut ruangan. "Yang setuju cuma lo doang Wik," kuambil ponselku yang sejak tadi bergetar di atas meja.

"Gue ini asisten berasa bos. Jadi lo terima aja job yang gue kasih, harusnya lo naikin gaji gue May."

Aku membuat gerakan bibir mencibir dan tidak lagi membahas masalah itu dengan Wika. Aku tahu Wika sudah melakukan yang terbaik dan memang aku tidak akan pernah menang berdebat dengan Wika.

"Dari pada lo cemas sama mukbang minggu depan, mending lo cemasin buat nanti malam."

"Kenapa mesti cemas buat nanti malam?"

"Nanti malam ada Adimas yang ikut jadi reviewer."

Bola mataku seketika langsung bergerak ke arah Wika. Aku sudah tidak perduli lagi dengan deretan kalimat resep makanan di grup yang dibagikan teman-teman kuliahku dulu. Nama Adimas memang merupakan mantra tersendiri untukku.

Adimas sebenarnya masuk ke dalam kategori pria yang wajib buat aku kecengin dan masuk dalam daftar teratas calon suami idamanku. Adimas chef yang lumayan terkenal, wajah manis nan maskulin dan punya banyak sejuta pesona manis. Sayangnya aku dan Adimas tidak terlalu banyak terlibat dalam pekerjaan yang sama. Secara Adimas lebih sering wara-wiri di televisi dibandingkan mengepakkan sayap di bisnis kuliner.

"Gue mau mandi kembang tujuh rupa dulu Wik!" seruku semangat dan langsung berdiri dari posisiku.

"Sekalian dari tujuh mata air di tujuh sumur ya May," saran Wika yang membuatku terkikik sambil mengangkat jempolku.

Bersambung

Coba kira-kira karakter Maya sama Wika ini gimana? Suka gak sama awal ceritanya? Lanjut atau distop aja?

Aku tunggu vote dan komentarnya :)

Dunia Maya (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang