II

184 65 90
                                    

Standart, setiap hari Senin, bu Dini selalu berkeliling sekolah untuk memeriksa apakah ada siswa yang membolos upacara atau tidak.

"Kan." Panggilku pada Kania, teman dekatku. Kalau kata Via Vallen kita itu konco kentel.

"Oh my my my oh my my my, you got me fly so fast~" Kulihat Kania malah bergumam dan mendengarkan music lewat headset nya.

"KANIA!"

"Love is nothing stronger~"

"NJIR! KANIAAAA!!" Panggilku sambil mencubit kecil lengannya.

"Eh sakit! Apaan si?"

"Temenin ke toilet yuk."

"Hah? Gadenger." Tanya Kania sambil sedikit menari gerakan Boy With Luv tadi.

"Lepas dulu headset lo haduh."

"Iya iya. Kenapa lo?"

"Anterin gw ke toilet kek. Kebelet parah."

•••••

KRIETTT....

"Lega ih ngucurnya."

"Udah? Ke kantin yuk." Tawar Kania.

"Palalo! Lupa apa kalo Bu Dini lagi blusukan?"

"Lo kali yang lupa, gw kan ada jurus invisible ama teleport." Jawab Kania oleng.

"BODO."

"Udah ah ayo!" Kania menarik keras pergelangan tanganku, go to canteen.

"Woi pelan-pelan zheyeng!" Teriakku langsung ke telinga Kania agar tidak menarik ku terlalu cepat.

"Sshttttt... Ada Bu Dini."

"HAH?! MANA?!"

"Dibilang diem!" Protes Kania sambil membungkam mulutku.

Bu Dini berjalan mengelilingi kantin, memeriksa setiap sudutnya. Aku dan Kania mundur sedikit demi sedikit agar Bu Dini tidak menyadari kami disini.

"Keis, mundur dikit trus nunduk yak." bisik Kania mengodeku.

"Oke."

"123!"

BRUKKK....

"EANJINCC!!" Teriak aku dan Kania yang terjungkal dari lantai 3. Eh ya engga. Kami ditabrak lelaki berbadan tinggi, tampan, wangi seperti habis mandi 7 kembang.

"WAH! KALO JALAN PAKE MATA DONG!" Kania memarahi laki-laki tersebut.

"Diem. Ada Bu Dini. Galiat?" Jawabnya.

"BAH! TANGGUNG JAWAB LO! KAKI GW LUKA NIH!" Balas Kania sadis.

"Udah, Kan, udah. Jan keras-keras, ntar ketauan Bu Dini."

"Yew telat, udah ketahuan, nak." Tiba-tiba suara Bu Dini muncul dari belakang kami.

"E...eh... Bu Dini. Lagi ngapain, bu?" Tanyaku kaget sambil mengalihkan pembicaraan.

"Saya laper mau makan."

"Hah??"

"Ya engga lah, saya mau cari anak laknat seperti kalian. Teman-temannya pada panas-panasan di lapangan, kalian malah enak-enakan di kantin. Kalian kira ini sekolah bapak siapa?!"

"Bapak saya." Jawab laki-laki tersebut santai sambil membuka bungkus permen kaki dan membuangnya di sembarang arah.

"B-bapak??"

"Oh iya ya, hm."

"..."

"Eh ya walaupun ini sekolah punya bapak kamu, bukan berarti kamu bisa seenaknya seperti ini."

"Cot."

"Tapi kita ga makan loh, bu. Saya tadi abis dari toilet, sumpa deh." Alasanku.

"Boong tross! Tingkat kebohongan mu belum di level 98 nak, kurang ahli." Elak Bu Dini.

"Kirain game apa." Kata Kania sewot.

"Duh, udah deh kalian. Ini peringatan pertama dari saya, kalau saya lihat kalian kabur lagi, saya tidak segan-segan akan menghukum kalian. BYE!"

Bu Dini meninggalkan kami, dan kembali blusukan memberikan sembako pada yang membutuhkan sebagai tanda kampanye. Disusul lelaki wangi tadi yang asik memakan permen merah berbentuk kaki tersebut.

"EH MAU KEMANA LO?!" Teriak Kania dadakan seperti mau menggoreng tahu bulat.

Lelaki tinggi itu menyikap rambutnya dan menoleh ke arah kami. Tampan. Sekali!

"Manggil?"

"Ya iyalah, ngapain lagi." Jawab Kania ketus.

"Kenapa?"

"Lo galiat kaki gw luka? Tanggung jawab kek apa kek."

Tanpa aba-aba, lelaki itu mengeluarkan dompetnya, mengambil 1 plester dari sana.

"Mana yang luka?"

"Ye, matalo dimana. Itu galiat?"

Ia berjongkok di depan Kania, menyobek pembungkus plester tadi.

"E...Eh... Mau ngapain?"

"Diem." Katanya sambil merekatkan plester bemotif bulan purnama pada lutut Kania.

"..."

"Itu udah. Jangan lupa dikasi obat."

"Ma–"

"Gua Revan, dua belas MIPA 3. Lo bisa ke kelas kalo butuh."

"I...iya."

"Lo luka juga?" Ia menoleh ke arahku, sambil menyikap rambutnya, lagi. Sial, Park Jimin Jakarta Version.

"Ditanya malah diem. Lo luka juga?" Lanjutnya.

"Eh, engga."

•••••

selenophile » jaehyunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang