First Take!

346 24 4
                                    

"Okay, done!"

Seusai sang fotografer mengambil jepretan terakhir hari ini dengan kameranya, beberapa staf berlari kecil menghampiri model ternama yang kini hendak mengelap keringat akibat menolak untuk minum di waktu istirahatnya tadi. Salah seorang staf sudah siap siaga menyuguhkan lemonade yang segar di hadapannya. Staf di sampingnya mengayunkan kipas pada model tersebut di bawah teriknya matahari. Tidak tertinggal juga, staf terakhir menyerahkan handuk kecil.

Wanita yang masih muda-sekitar 23 tahun-tersenyum tipis seraya menerima handuk dari staf itu. "Terima kasih," ucapnya kemudian mengurungkan niat untuk mengelap keringat dengan tangannya, melainkan menggunakan handuk tersebut.

"Ah, kau bisa berhenti. Angin terkadang kurang bersahabat denganku. Terima kasih," katanya halus seiring staf itu mengangguk lalu menyusul staf yang sudah kembali dahulu. Wanita itu pun meraih gelas berisi lemonade dari atas nampan dan mengatakan terima kasih untuk ketiga kalinya. Staf yang datang pertama pun menjadi staf yang terakhir kembali ke posnya.

Disaat yang bersamaan, seorang wanita lainnya yang tak jauh beda umurnya, berjalan menuju sang model dengan muka datar yang sudah menjadi khasnya. "(Full name), aku sudah lelah mendengarmu mengatakan 'terima kasih' yang entah sudah keberapa kalinya hari ini. Saking banyaknya sampai aku sudah lupa," omelnya sambil melipat kedua tangan.

Model bernama (full name) itu menoleh. "Kyoka! Kau datang! Tapi bukannya kau tadi menelepon dan bilang kalau kamu nggak bisa datang?" tanyanya disertai wajah gembira.

Terdengar helaan napas keluar dari mulut Jiro. "Aku berubah pikiran. Aku tidak pantas menjadi menajermu kalau nggak datang hanya karena acara televisi siang ini," jawabnya jujur dan merebut gelas dari tangan (name) untuk menyicipinya.

"Huh, tidak buruk," gumam Jiro.

"Kyoka!" (Name) menggembungkan kedua pipinya sembari menerima kembali gelas minumannya. "Maksudmu, kau lebih memilih mendengar idolamu itu bernyanyi daripada menemuiku?" Sebagai balasan, Jiro menguap lebar walaupun ia berusaha menutupinya agar terlihat sopan.

"Ya, ya. Kesampingkan hal itu, kau masih punya jadwal interview nanti sore. Lebih baik kau segera selesaikan urusan pemotretan ini sebelum fotografer mesum itu kembali." Jiro memicingkan matanya ke arah kamera yang berdiri tegak tidak jauh dari tempatnya berdiri.

(Name) mengerjapkan mata beberapa kali. "Oh!" ia mengangguk mengerti, "Kau tidak boleh menghindari Denki-kun selamanya, Kyoka." Jiro mendelik, memberikan ekspresi terkejut.

"Menghindari? Aku hanya tidak ingin berurusan dengannya. Ia mengesalkan," balasnya kembali tenang.

"Masa? Aku dengar ada rumor bahwa Denki-kun menyatakan perasaannya padamu tiga hari yang lalu, tapi ia belum mendapat jawabannya."

"Kau salah dengar, (name)."

"Kemudian aku bertanya langsung pada Denki-kun, lalu ia menceritakan secara detail padaku sambil meminta saran."

"Tch. Mulut ember," gumam Jiro mengerutkan dahinya. Ia lalu menatap (name) dan berkata, "Lupakan hal itu, sekarang kau harus segera berganti baju. Wawancaramu dimulai tiga jam dari sekarang. Perjalanan menuju tempatnya cukup jauh. Kita akan berangkat--"

"Jiro, kau datang!" Sebuah teriakan familiar menggelegar seiring pemilik suara berlari dengan muka cerah menuju (name) dan Jiro.

"Dan datanglah sang pembuat onar," ucap Jiro seraya memegang kepalanya yang digeleng-gelengkan. "(Name), cepatlah lari, ganti baju, dan kita akan segera pergi dari sini. Kaminari tidak akan membiarkanmu pergi dua jam lagi jika kita memutuskan untuk berbincang dengannya," bisik Jiro dalam suara yang dapat didengar (name).

Moments ▪ t.s.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang