Awal

59 0 0
                                    

Ada lelah dalam tawa.
Ada resah dalam gelisah.
Ada bahaya di balik rasa penasaran.

Itu hanya sebuah perkataan yang menjadi alasan bagiku untuk tidak terlalu ikut campur pada apa yang sedang ramai di bicarakan kawan-kawan.

"Begitulah, dia cantik. Dan manis. Juga lembut."

"Oh," kataku, menjawab sekenanya. Pada titik ini, tak berarti aku adalah orang yang sombong. Ku pastikan bahwa kau akan menyesal jika mengiraku begitu. Aku hanya orang yang membosankan. Itu saja.

Semakin hari, obrolan tentang dia semakin sering terdengar. Aku tidak merasa senang, pula tidak merasa risih. Ini murni benar-benar karena aku tidak peduli. Tidak memusingkan apa dan siapa yang di bicarakan oleh mereka. Tidak ada untung dan rugi dari kasus ini, jadi aku hanya menganggapnya angin lalu.

Tapi benar kata Chairil Anwar, bukan maksudku berbagi nasib, nasib adalah kesendirian masing-masing. Di samping tidak bisa di bagi, nasib juga tidak bisa di tebak dan di ubah. Sudah pasti begitu, kalau bisa di ubah, aku mungkin akan mengubah nasibku menjadi saingan terberat Tom Holland di dunia Hollywood.
Atau tidak. Sebab itu tidak mungkin, kan? Di samping banyaknya ketidakmungkinan dan kemustahilan, aku lebih bersyukur pada nasib yang di gariskan Tuhan untukku, terlepas dari Dia yang sengaja menggariskannya atau tidak.

Ku teguk kopi yang tinggal separuh gelas, dengan satu kaki yang naik di atas kursi, dan cengiran tak serius yang―katanya―sering mampir di atas wajahku. Di saat ku pukul kepala salah satu kawan dengan gulungan buku bersampul AKU, karena guyonannya yang tidak lagi lucu, seorang gadis berjalan melewati warung kopi langgananku―betul. Warung Kopi Bi Ijah―dengan aku yang kembali duduk setelah melihat perubahan pada tingkah dan polah kawan-kawanku, ku sempatkan melirik pada sosok yang beberapa detik lalu melintas, sambil mengedik bahu dan bertanya, "Siapa?"
Seolah aku ini maling sandal di masjid, kawanku menatapku dengan pandangan lelah dan merendah, "Itu gadis yang sering kami ceritakan. Gadis manis yang lembut. Yang kabarnya, banyak yang suka."

Inginku biasa saja, tapi apa daya kondisi wajah tak bisa ku kontrol. Aku malah mengerut kening dengan alis yang menukik. Bukan, bukan aku berpikir bahwa apa yang di bicarakan olehnya itu berlebihan, lebih karena aku baru kali pertama melihat gadis tersebut, tadi. "Oh. Namanya?"
Kawanku meminum kopi miliknya, lalu menjawab, "Mick."

Nama yang unik, sih. Lebih unik dari namaku. Oh iya, namaku Kagendra Lanarya. Bisa panggil aku Kage, Kala, terserah saja asal tidak menyinggung perasaan.

Kembali pada yang tadi. Sesungguhnya pada titik ini aku merasa tak puas pada diriku. Ya, tidak puas karena pada akhirnya aku merasa harus mencari tau sesuatu. Entah apa. Yang pasti, aku tidak ingin mengakui. Aku tidak mau mengakui bahwa sejak hari itu, aku jadi sering memperhatikan gadis yang katanya manis dan baik itu. Aku sih, tidak ingin dulu membuat kesimpulan bahwa dia memang orang yang seperti itu. Nanti jatuhnya menghakimi, baik indah atau pun tidak suatu pendapat itu.

Banyak yang terjadi setelah itu, tapi tidak banyak yang berubah. Dia yang masih tidak mengetahui eksistensi seorang pria kurus yang sering terlihat mengenakan kaos oblong hitam dan celana bahan berwarna hitam pula, yang setiap hari nongkrong di warung kopi sambil membaca berbagai buku dengan judul yang berbeda, sambil berharap-harap cemas kiranya dia melewati jalan setapak depan warung atau tidak. Satu bulan yang berat, kurang lebih, dia semakin memukau dan aku semakin kacau. Pernah kucoba untuk melupakan perasaan aneh yang kerap muncul, lebih lekat kala malam mulai pekat, tapi nyatanya frustasi datang memaksaku untuk menggores pena di atas kertas dengan sesekali tangan meremas rambut dan suara tawa miris yang keluar dari belah bibirku. Merasa lucu bahwa sesuatu yang tidak ku pedulikan sebelumnya, kini bagaikan hantu yang menjadi malam hiasan seolah tak mengenal kata bosan.

Sejenak ku pikirkan, untuk ku benci saja dirimu?

Sebait lirik terus terulang dalam otak. Melukis resah, mengukir gelisah. Menjilat bibir yang terasa kering, aku memandangi amplop baru yang sudah ku tulisi alamat di bagian depannya. Lalu ekor mata melirik kearah lembar kertas yang sudah memiliki coretan di atasnya,

Untuk, Nona Fleur.

Mulai hari ini dinyatakan:
Saya akan menyampaikan pesan setiap hari padamu, melewati tukang pos.

Dari, Sabang sampai Merauke.

Pesan yang ku tulis setelah memikirkan segala kemungkinan yang ada, yang ku tulis pada tanggal 17 maret pukul 02:00 dini hari, akhirnya ku masukan kedalam amplop tadi. Ku kirimkan keesokan harinya lewat jasa Pos.

Kira-kira, bagaimana reaksinya? Aku beberapa kali mengusak rambut, merasa bahwa apa yang kulakukan mungkin sia-sia dan tak menuai hasil. Aku paling tidak suka melakukan hal yang sia-sia. Tapi harus bagaimana lagi aku mengatasi semua ini? Mau mendekat langsung, malu. Tak mendekat pun, aku bagai orang yang terserang demam rindu. Reaksi dan tanggapan itu belakangan, sekarang, lakukan saja apa yang ingin ku lakukan. Sedikit monolog setidaknya bisa meredam berbagai pemikiran terburuk yang dapat terjadi.

Fleur.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang