Sudah lewat satu hari sejak surat tak bernama itu ku kirimkan.
Dan jangan tanya bagaimana keadaanku sejak saat itu, pembaca. Kalian pasti sudah tahu jawabannya.
Ya. Depresi, takut tidak di terima, atau terabaikan. Juga sedikit penyesalan yang langsung ku tepis secepat mungkin. Seharusnya tidak ada penyesalan yang tertinggal sedikit pun atas hal yang aku lakukan dengan kesadaran penuh..... bukan kah begitu?
Aku tidak menyesal, hanya sedikit grogi. Anggaplah begitu.Sebuah buku dalam genggaman menemani hariku di warung kopi kala itu, saat suara serak yang lumayan familiar menyadarkan konsentrasi akan deretan kalimat yang sedang ku resapi bagai menyesap secangkir kopi.
Oh. Ternyata Pak Pos. Apa, ini? Apakah suratku tidak di terima oleh si manis dengan dalih “tidak usah, Pak. Kembalikan saja pada pengirimnya, atau bakar saja. Saya tidak butuh.”Aku menangis dalam sanubari.
Padahal Pak Pos belum berkata apa-apa selain menyapa namaku. Tidak, aku tidak selebay itu. Hanya saja kalau menyangkut perasaan, aku yakin semua orang pun akan seperti aku. Hoi kau, jangan sebut aku tukang ngeles.Aku mencoba tenang, bergeser sedikit untuk memberikan ruang pada Pak Pos. Setelah Pak Pos duduk, aku berdeham singkat dan menggosok ujung hidung dengan jari telunjuk, bertanyalah aku dengan kalem, “Ada apa, Pak?”
Aslinya: Tolong jangan bilang kalau surat saya di kembalikan, Pak. Belum siap lahir dan batin kalau harus kalah sebelum berperang.
Pria paruh baya itu menyodorkan sebuah amplop putih yang ku yakini berisi sebuah surat. Hampir saja aku kaku di tempat kalau tidak segera menangkap alamat yang tertera di bagian depan. Persis seperti suratku, tapi berbeda juga. Kali ini, yang tertulis adalah alamat dan nama lengkap pengirim. Sementara untuk penerimanya, hanya kosong. Aku menatap Pak Pos dengan pandangan ingin tahu, semoga dia mengerti.
“Pas saya berikan kiriman surat lain padanya, dia bilang tolong sampaikan ini pada seseorang yang mengiriminya surat tanpa nama. Untung sekali sih, yang menggunakan jasa surat lewat pos sekarang sudah semakin menipis hampir hanya tiga kali dalam sehari, malah, di kota kecil ini. Saya juga penasaran, Lup, kenapa kamu masih pakai jasa pos yang tidak terkenal untuk mengirim surat? Sekarang kan, sudah canggih. Sudah jaman henpon talenan tempe. Hoi, Lup, krungu ora saya ngomong iki lho..”
Aku tidak mempedulikan Pak Pos sesaat setelah beliau menjelaskan pasal asal-usul surat ini. Sebaliknya, aku langsung membayar untuk kopi yang tadi ku minum, tak lupa mengucap terima kasih dan bungkukan sopan pada Pak Pos sebelum aku melangkah pergi dengan tergesa. Betul, aku mau pulang. Aku mau membaca isi surat darinya. Aku penasaran.
Terima kasih. Mau kirim apa, memangnya?
Ya. Begitu. Hanya begitu. Aku terdiam memandangi kertas.
Jarum detik jam bergulir. Sampai pada hitungan ke sepuluh aku menghempaskan diri dengan kasar di atas kasur sambil meredam teriakan kesenanganku dengan bantal. Dia membalas―hei! Dia membalas suratku, lho! Dia balas! Nona Fleur itu! Meski sedikit, aku yakin dia tidak ada pilihan lain. Apa balasan yang aku harapkan? Ini saja lebih dari cukup. Jika aku berada di posisinya, mungkin malah tidak akan ku balas surat anonim aneh macam itu.
Tapi sekali lagi aku bersyukur. Dia mau menanggapi suratku secepat ini. Aku bangkit, ku tarik kursi dan ku pungut buku serta pulpen yang berserakan di bawah meja. Setelah satu sapuan tangan untuk menjatuhkan berbagai macam buku yang tertumpuk, terbuka, dan terlipat di atas meja, yang tadinya menjadikan ruang untuk menulis sangat sempit, fokusku hanya terarah pada kertas kosong kini. Saatnya membalas lagi.
Hanya untaian kalimat yang tak menghasilkan uang, pastinya, nona. Saya harap kamu tidak kecewa.
Selamat tanggal merah. Selamat beraktivitas.
Aktivitas milik individu, memikirkan kamu.Dari, Yang tadi.
Tanpa menunggu waktu atau sekadar untuk menghela nafas, aku berdiri dan berjalan kearah kantor pos. Kurir surat di kota kecil ini hanya ada satu, dan itu adalah pria paruh baya yang kusebut Pak Pos tadi. Aku yakin, kalau dia membalas lagi, pasti akan menggunakan jasa Pak Pos.
Kalau kalian berpikir, kenapa tidak pakai ponsel? Atau, tidak ada cara lain, ya? Isi suratnya kan, sedikit-sedikit. Sudahlah, simpan argumenmu. Kalian tidak tau bagaimana rasanya jadi aku. Dan pula, selama kantor pos dan tukang jual perangko masih buka, aku akan terus mengiriminya surat (kalau di balas)! Bila perlu, kubeli semua itu pabrik perangko!
Sejauh ini, aku masih belum bisa menilai apa pun yang bersangkutan dengan dirinya, dengan Fleur. Aku kagum, aku tertarik dan berprasangka baik padanya. Tapi mulutku terkunci rapat. Aku hanya ingin berprasangka baik, dan yakin pada apa yang ku lakukan.
Seperti senja yang tak pernah berprasangka buruk pada hujan di sore hari.
Seperti daun yang tak pernah menyalahkan musim gugur.
Seperti aku yang selalu melengoskan wajah kala pandang dan senyum semanis gulanya menyapa, aku harap dia pun tak pernah berikan hal buruk soal aku dalam berprasangka.
Aku sudah menyayanginya. Sayang sekali.
