SANG KYAI [1 - 25]

9K 39 4
                                    

Pagi belumlah terang, lereng gunung putri masih diselimuti kabut tebal, dingin masih menusuk tulang. Di lereng gunung sebelah selatan, nampak berjejer kobong pondokan santri tak teratur. Sayup terdengar suara wirid para santri di bagian tengah pondokan, rumah bambu yang tak sederhana, dinding yang dianyam dari bambu dengan rapi. Juga alas hamparan dari bambu yang dipukul hingga pecah, kemudian dihamparkan dengan rapi, sehingga kalau diinjak kaki akan terdengar bunyi derit bambu yang khas. Nampak para santri yang jumlahnya 15 orang duduk melingkar khusuk dalam wiridnya.

Sang Kyai yang juga ada dalam lingkaran juga duduk bersila, orang tak akan menyangka mana Kyai mana murid. Sebab semua sama, hanya ketika Sang Kyai mengangkat tangannya dan wirid semuanya berhenti. Kemudian Sang Kyai menyuruh wirid yang lain, santri pun melanjutkan. Orang tak akan menyangka yang disebut Kyai ini seorang remaja, kira-kira umurnya 12 tahun, kulitnya putih bersih, dengan wajah biasa, namun memancarkan wibawa yang tiada taranya. Presiden sekalipun akan dibuat tunduk bila berdiri di hadapannya.

Di sebelah rumah Sang Kyai ada rumah bambu lagi yang lumayan besar, dindingnya dari kerai, yaitu bambu yang disisik halus kecil-kecil kemudian disusun rapi dengan tambang, sehingga bisa dibuka tutup dengan digulung, dalamnya juga beralaskan bambu seperti di rumah Kyai, nampak banyak orang lelaki tiduran dengan nyenyak. Mereka ada sekitar 20 orang, kesemuanya lelaki. Karena tempat para tamu perempuan ada tempatnya sendiri.

Para tamu ini bukanlah orang yang biasa-biasa. Seperti pak Udin, yang seorang tentara yang punya kedudukan di angkatan udara. Pak Yusup yang seorang jaksa dari Jakarta, juga ada para pemilik perusahaan raksasa di Indonesia. Ada lagi yang aku tidak tahu, kata temanku dua orang menteri, seorang duta besar, juga ada artis, tukang cukur rambut, tukang es keliling dan lain-lain, semua tidur sama kedudukannya.

Siapakah sebenarnya Sang Kyai, akupun tak tau pasti. Yang ku tau lelaki muda usia itu, sering dipanggil Kyai Lentik, dari ayahnya nasabnya sampai Sunan Gunung Jati, dari ibunya sampai ke Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi.

Kyai yang tuturnya lembut berkasih sayang kepada siapa saja. Pagi itu seperti biasa, mbok Titing, janda tua penjual sarapan pagi nasi uduk lewat di depan rumah Kyai. Umur tua dan tubuh yang mulai bongkok ditambah rinjing di punggungnya yang penuh dengan nasi uduk bungkus diikat dengan selendang, tangan kanannya menjinjing tas krawangan berisi lauk pauk.

Seperti biasa pula, nenek tua itu berhenti di depan pintu Kyai sambil menawarkan dagangannya, sekalipun dia tau bahwa Kyai Lentik tiap hari puasa, nenek itu hanya menunggu Kyai menjawab teriakannya menawarkan dagangannya, meser Kyai? ndak bogah duwit mbok. Dan cuma itu jawaban Kyai, sudah membuat girang bukan main, dan segera berlalu, tersenyum bahagia dan tak sampai setengah jam dagangannya sudah habis ludes dibeli orang. Nenek itu sangat murung, apabila dia menawarkan dagangannya di depan pintu Kyai, tapi Kyai ternyata pergi, itu baginya berarti perjuangan seharian menawarkan dagangan, dan itupun belum tentu habis, itulah tiap pagi yang terjadi di pondok Pacung, lereng gunung putri.

Masih banyak kejadian yang kadang tak masuk di akal di balik kesederhanaan Sang Kyai. Waktu maghrib itu, santri yang menjalankan puasa, telah selesai berbuka dengan singkong rebus dan air putih, seperti biasa juga Kyai ikut berbuka dengan kami dengan beralaskan daun pisang singkong yang sudah masak dituang di atas daun pisang dan dinikmati bersama-sama sambil jongkok, tak ada yang istimewa, tak ada pecel lele Lamongan, rendang Padang, soto Madura, soto babat bahkan nasi pun tak ada.

Tapi tak pernah kami perduli, itu hanya makan, lebih baik makan apa adanya tapi untuk beribadah, daripada makan yang enak-enak ujung-ujungnya untuk berbuat maksiat. Setelah makan kami mengelilingi toples yang berisi tembakau, itu barang berharga kami, tembakau oleh-oleh dari Lukman yang pulang dari ngejalani ngedan, kami semua mengalami, yaitu pergi tanpa bekal, menyerahkan diri di kehendak Allah, pakaian compang-camping, sambil terus di hati mengingat Allah, berjalan kemanapun kaki melangkah, tanpa tujuan kecuali Allah, kalau lapar tak boleh meminta pada siapapun kecuali Allah, kadang mencari makan dari mengorek sampah, tidur kadang di hutan, sawah juga kuburan.

SANG KYAIWhere stories live. Discover now