2.

20 1 3
                                    

Ada begitu banyak rahasia dalam hidup ini. Kita hanya perlu menikmati setiap detiknya tanpa harus mendesak waktu untuk memberi tahu. Biarkan saja semua mengalir seperti air. Hingga akhirnya perlahan tapi pasti Semesta akan memberitahu.--

Aku mempercepat langkah kakiku. Gara-gara lamunan ku sendiri sekarang aku harus terlambat memasuki jam pelajaran pertama hari ini. Dan sekarang sudah tidak ada lagi waktu untuk menyesali, karena tadi Gina memberi tahu bahwa kelas kami di hari ini, di jam pertama ini akan di isi oleh pelajaran matematikanya Pak Nardi. Salah satu guru killer di SMA ini.

Dan aku akhirnya bisa bernafas lega. Ternyata Pak Nardi belum datang. Pikirku.

“Mana Pak Nardi? Katanya udah masuk?”

Tanyaku pada Gina sambil mengatur sejenak nafas ku yang putus-putus karena terlalu buru-buru.

“Ada tadi. Tapi katanya beliau dapat telpon dari kepsek di suruh ke ruangannya.”

Jawab Gina tanpa mengalihkan pandangannya dari komik yang sedang ia baca. Aku lupa bilang, kalau aku dan Gina ini memang sudah sekelas sejak kelas 10 dan pastinya juga sudah tiga tahun kami menjadi teman sebangku. Aku yakin, meskipun Gina terbilang cukup cuek dan pemarah, dia tetap akan selalu menyayangi ku sebagai sahabat dan sepupunya. Lihat saja, sekarang dia sudah memeluk ku dari samping sembari mengusap air matanya.
Selalu seperti ini. Pura-pura untuk mengabaikan ku, tapi tahu-tahunya dia sendiri yang memelukku sambil menangis. Dan karena aku sudah terbiasa dengan sikapnya, maka yang aku lakukan hanyalah membalas pelukkannya.

“Udah Na, jangan nangis.”

Ucapku mencoba menenangkannya.

“Gimana gue gak nangis liat lo terus-terusan begini.”

Balasnya dengan suara sedikit serak. Sedangkan air matanya masih terus membasahi seragamku.

Akupun tertawa kecil. Gina ini meskipun terkenal cuek dan pemarah, tapi dia juga tergolong gadis cengeng. Pernah saat kami kecil, saat itu kami sedang bermain sepeda. Tiba-tiba saja saat di jalan penurunan, aku terlalu shock sampai lupa untuk mengerem. Alhasil, aku menabrak dinding pagar rumah orang. Gina yang melihat ku terluka, justru ia yang menangis paling keras. Bahkan seingatku, aku saja tidak menangis waktu itu. Begitupun sebaliknya. Mungkin aku termasuk anak yang cukup kuat untuk tidak menangis dari kecil jika aku terluka. Tapi malah sebaliknya, ketika aku melihat orang yang kusayangi terluka, maka aku yang akan menangis untuk mereka. Ya, seperti itulah cara aku dan Gina dalam menyayangi.

Suara krasak-krusuk dari anak-anak sekelas membuat kami melepaskan pelukkan. Gina juga sudah mengusap air matanya dengan sapu tangannya. Aku yakin, pasti salah satu temanku melihat Pak Nardi sedang menuju kelas ini. Makanya mereka yang sedari tadi asik dengan kegiatan mereka secepat mungkin untuk kembali ke tempat duduk masing-masing sambil mulai mengeluarkan alat tulis. Begitu juga dengan aku dan Gina.

“Ayo..ayo. Masuk! Masuk!”

Suara Pak Nardi yang memerintahkan seseorang untuk masuk itu menarik semua perhatian anak-anak sekelas tak terkecuali aku dan Gina.

Tapi, tiba-tiba saja dering ponsel ku berbunyi. Kini, malah seluruh perhatian terpusat padaku. Aku merutuki sifat pelupaku ini. Aku  benar-benar lupa untuk memberi mode silent pada ponselku.

Aduuuh! Gimana nih.

“Hey! Hp siapa itu yang bunyi?”

Aku tak punya pilihan lain untuk mengelak. Aku pun berdiri dari dudukku.

“I-itu bunyi h-hp saya pak.”

Pak Nardi terdiam sebentar dan menatap ku ini lekat-lekat. Aku yang ditatap seperti itu semakin menundukkan kepalaku.

“Loh! Sejak kapan kamu masuk? Mata saya ini tidak buta untuk melihat seluruh siswa-siswi sebelum saya pergi sebentar tadi. Dan pastinya saya ini belum pikun untuk mengingat kalau kursi di samping Gina itu tadi masih kosong!”

Ucapnya sedikit membentak.

“Maaf Pak. Tadi saya terlambat karena saya habis dari UKS. Dan saya juga lupa buat titip ijin telat masuk kelas sama Gina.”

“Huuufft.. yasudah! Lain kali jangan terlambat pelajaran saya—
Aduh! Lupa kan saya. Eh! Kamu mau masuk apa tidak? Dari tadi saya kan suruh masuk tapi kamu malah bengong di sana. Ayo cepat cepat kesini!”

Seperti sebuah adegan  slow motion, kedua kaki yang lapisi sepatu sport berwarna hitam bertali putih itu masuk secara perlahan. Entah apa yang terjadi, tubuh ku tiba-tiba saja hanya bisa diam mematung dengan keadaan masih seperti tadi. Aku seperti merasa pasokan oksigen ku tiba-tiba saja menipis. Dia, sosok itu  seperti magnet yang seakan membuat ku merasa ditarik olehnya.

Dia juga sama seperti ku. Sejak langkah awalnya masuk ke kelas ini, matanya sudah mengunci mataku. Bahkan sampai ia berdiri di samping Pak Nardi, ia tetap menatap ke arahku. Aku serius! Aku tidak mengada-ada.

Sedangkan aku yang ditatap justru benar-benar tidak bisa mencoba untuk mengalihkan pandanganku. Apa-apaan ini? Apa yang terjadi pada ku? Mengapa mata yang meneduhkan itu membuat ku tak berdaya seperti ini. Aku bisa menjamin aku tidak pernah bertemu pemilik mata ini sebelumnya. Namun.. mengapa rasanya berbeda? Ada apa ini sebenarnya?

Yeaay! Happy reading guys❤

Bijaklah menjadi seorang readers dengan menghargai hasil karya penulis nya.

Jgn lupa Vote dan Comment ya! Suara dan saran kalian sangat mendukung  dan diperlukan dalam cerita ini.

Sankyuuu 👌💛
(Penulis baru yg lagi dalam mood baik😊😊)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 20, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Le DestinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang