Sudah memasuki minggu ketiga semenjak Ucha menandatangani kontrak untuk bekerja sama dengan Aidanovic, murid laki-laki yang mulai menjadi buah bibir seantero SMA Garuda Bimasakti. Memang bukan sebuah kebetulan jika Aidan tiba-tiba memberikannya sebuah penawaran menarik; pengadaan jasa di bidang teknologi dan komunikasi yang terbuka untuk seluruh murid. Jika ada murid yang mempunyai masalah berupa panggilan palsu, pesan dari nomor tidak terdaftar, akun yang dibajak, data yang terhapus secara tidak sengaja, dan masalah lain yang berhubungan dengan IT maka mereka dapat meminta bantuan Ucha ataupun Aidan. Beruntung keduanya duduk pada kelas yang sama, 11 IPA-U.
"Bakat itu nggak boleh disia-siain," ujarnya setiap Ucha bertanya pertanyaan yang sama tentang tawaran Aidan.
Sebagai anak yang baru masuk di tengah semester, Ucha memang tergolong cerdas. Yah, itu jika ketiga sifat jeleknya sedang tidak kambuh—lemot, labil, dan malas. Berbeda dengan rekannya, Aidan adalah seorang murid yang jenius. Bila hari ini ia bermain komputer seharian dan besok ada ujian, tanpa belajar pun Aidan bisa mengerjakannya dengan santai. Hasilnya? Jangan ditanya.
"Gue heran sama lo, Dan," ucap Ucha suatu hari. Ubun-ubunnya tengah panas betul saat itu. "gue yang tiap hari belajar mati-matian, kok bisa kalah sama lo yang bahkan nyentuh buku pelajaran aja jarang?"
Seperti biasa, Aidan akan menjawabnya dengan angkuh.
"Ya, kalo udah pinter dari sononya emang susah, sih, mau diapain juga."
Sumpah.
Hari itu rasanya Ucha ingin melempar Aidan dari atap sekolah, lalu membiarkannya tenggelam dalam cairan hidrogen peroksida. Setelah tubuh Aidan memutih karena pengaruh cairan berbahaya tersebut, ia akan membakar Aidan hidup-hidup sampai menjadi abu.
Sadis.
Kesombongan Aidan memang tak dapat disangkal, namun bukan berarti Aidan tak pernah bermurah hati. Minggu lalu, Aidan meghadiahkan Ucha sebuah jam tangan canggih tak bermerk sebagai kado anniversary rekan kerja.
"Apaan, nih? Anniv? Sejak kapan kita pacaran?" Ucha terlihat ragu menerima pemberian Aidan.
"Lo kata anniv cuma buat pacaran? Partner kerja juga bisa anniv kali," ujar cowok itu kalem, lalu menarik lagi uluran tangannya. "lo nolak juga nggak ngaruh, sih. Cuma ya, sayang aja gitu lo nolak jam tangan yang udah gue rakit dua hari sendirian, mana bahan-bahannya mahal, kan. Walaupun nggak bermerk, ini jam canggih abis. Bisa buat komunikasi jarak jauh, dilengkapin GPS, alarm, timer, dual clock, udah gitu..."
"Iya, iya, yaudah sini," Akhirnya walau sedikit terpaksa, Ucha menerima juga kotak jam tangan itu. "makasih."
Sedangkan Ucha, ia tak pernah mau repot-repot memberi hadiah apapun pada Aidan. Buat apa? Toh yang untung nanti hanya Aidan, dirinya tidak.
"Cha," Panggil Aidan, ketika pagi hari ia bertemu partnernya di kelas.
"Hah?"
"Hari ini gue ulang tahun, loh,"
"Oh, iya gue baru inget." ujar Ucha tanpa sedikitpun menoleh ke Aidan. Saat itu ia tengah mengerjakan tugas biologi yang tak sempat ia buat di rumah.
"Ini lo nggak ada niat ngasi gue apa... gitu?" Aidan menatap lekat-lekat cewek yang sama sekali tidak peduli dengan dirinya itu.
"Nggak ada."
Padat, singkat, jelas; Ucha tidak pernah suka bertele-tele, apalagi dengan Aidan. Bagi Ucha, Aidan itu rival, bukan partner kerja. Mau dia ulang tahun, ulang bulan, ulang hari, tidak perlu dirayakan, apalagi diberi hadiah. Diberi selamat juga tidak usah.
Hanya ada satu hal yang nyambung apabila mereka berdua mengobrol bersama; teknologi, tentu saja.
"Lo udah nyoba aplikasi Shark For Root?" Siang itu terik, Aidanmenghampiri Ucha di perpustakaan. "Semacem aplikasi untuk nge-prank passwordbuat lebih dari satu perangkat."
"Smartphone atau Komputer?"
"Smartphone," Aidan mulai mengutak-atik hp-nya—menekan tombol angka dan huruf secara bergantian dengan cekatan—sebelum sebuah layar hitam penuh barisan kode tanggal satu persatu muncul. Dengan sumringah, Aidan langsung menunjukkan hasilnya pada Ucha.
"Dih, cepet banget," Ucha langsung merebut hp Aidan. "download dimana?"
"Di internet banyak link-nya, lagi viral juga," balas Aidan mantap, lalu mengulurkan tangannya. "mana sini hp lo? Gue download – in."
"Bisa buat buka private chat atau history orang lain nggak?" Ucha mulai mengeluarkan hp-nya dari tas, membuka layarnya dengan password, lalu menyerahkannya ke Aidan.
"Hm, bisa jadi."
"Keren," Ucha menatap hp Aidan dengan mata berbinar. "Kok gue baru tau, sih?"
"Ah, lo-nya aja kudet."
Aidan dan Ucha bagaikan air dan minyak, sedangkan pekerjaan mereka bagaikan sabun. Tak selamanya mereka akur dan bisa diajak diskusi serta kerjasama. Banyak hal sepele yang memicu pertengkaran, apalagi pada dasarnya Ucha memang tidak berkeinginan menjalin pertemanan dengan Aidan; kalau bukan karena pekerjaan.
"Harry Potter?" Aidan mengangkat alis heran, saat dirinya tahu bahwa ternyata Ucha merupakan fans berat serial fantasi tersebut. "Lo suka sama orang-orang abnormal yang suka terbang itu? Yang suka komat-kamit bahasa aneh itu?"
"Kalo nggak ngerti lo diem aja deh." omel Ucha sewot.
"Gue nggak suka film nggak logis—apa, sih, sihir-sihir—macem begituan."
"Ah, lo aja nggak pernah nonton dari awal sampe akhir. Kalo nggak suka, jangan menghujat!"
Lalu selama satu jam, Ucha berceramah panjang lebar soal Harry Potter dan seluk beluknya. Dan selama satu jam itu juga, Aidan selalu berkomentar di tiap kalimat yang Ucha sebutkan. Jadilah perdebatan seru yang menyebabkan pertengkaran mereka berlangsung selama dua hari.
Bukan Nanda Azusa namanya, kalo nggak setengah mati membenci Aidan.
Bukan Aidanovic namanya, kalo nggak suka ngajak ribut Ucha.
Makasi uda bacaa vote smkomen jan lupaaa :):)
KAMU SEDANG MEMBACA
Partner
Teen Fiction"Gimana?" Dengan menghela napas, Ucha menandatangani lembaran surat pernyataan itu dan menyerahkannya kembali pada Aidan. "Selesai, kan?" Ucha kembali menggendong tasnya. Tanpa basa-basi lagi, ia segera beranjak keluar dari kantin. Ucha ta...