Aku percaya kalau semesta yang kita diami sedari dulu ini punya pencipta.
Sama halnya dengan aku percaya akan ada sebab sebelum akibat,
alasan sebelum tindakan,
dan
kesedihan sebelum kebahagiaan.
Omong-omong soal pencipta.
Aku percaya kalau setiap manusia memiliki garis takdir atas kehidupan di muka bumi hingga sampai nanti di liang lahat. Selama aku hidup, tak pernah ada satupun manusia yang bisa menerka-nerka takdir apa yang akan diberikan kepadanya. Mulai dari di keluarga mana dia akan dititipkan, lingkungan seperti apa di mana ia akan tumbuh besar, perangai seperti apa yang akan ia miliki, juga orang-orang yang bagaimana yang akan ia temui semasa hidupnya; pasangan hidup, termasuk di dalamnya.
Ah, ya. Terlalu asik menulis membuatku lupa.
Perkenalkan. Tulisan di atas itu diketik olehku, Kala Alfarizi. Kala, tanpa embel-embel '-jengking' di belakangnya. Dapat kupastikan bahwa aku 100% manusia dan tidak punya racun mematikan di bagian ekor. Nama tersebut diberikan oleh Oma Ririn yang beberapa tahun silam sudah tutup usia- Oma, aku rindu. Jadi, aku harap tidak ada yang menyimpan rasa penasaran dan menanyakan apa arti dibalik namaku ya. Karena aku juga tidak tau. Tapi untuk sedikit informasi, aku cari arti namaku di mbah Google. Banyak sekali artikel yang memuat isi tentang artian nama 'Kala' dan 'Alfarizi'. Alhamdulilah, rata-rata artikel menuliskan hal yang sama. Aku jadi tidak perlu melakukan penelitian mendalam soal namaku sendiri. Kala adalah waktu, hitam, matahari, dan berseni. Alfarizi adalah yang menjanjikan, yang tekun, kesatria berkuda. Untuk kesimpulan dari namanya, aku bebaskan kepada tiap orang yang membaca.
Sebelumnya, aku ingin kamu tau kalau tulisan di atas hanya random thoughts yang aku tuangkan dalam kata-kata. Ei, jangan meledek. Aku tau kalau tulisanku levelnya ada di bawah rata-rata. Setidaknya aku berusaha agar perkenalan untuk ceritaku berbeda dari orang lain. Maaf karena sudah merusak ekspetasimu di awal kamu membuka cerita ini.
Anyway, aku numpang lahir di Jogjakarta dan besar di Jakarta. Aku tidak punya kakak ataupun adik alias anak tunggal. Ayahku adalah seorang panglima ABRI dengan pangkat tinggi dan Bunda punya bisnis pastry yang sudah dibangunnya dari lama. Dari situ sudah bisa kamu tebak kalau kedua orangtuaku adalah orang-orang sibuk yang hanya punya sedikit waktu untukku.
Entah sengaja atau tidak, orang tuaku banyak mendaftarkan aku pada banyak kegiatan sehingga aku sibuk seperti mereka. Kalau kamu kira aku tidak pernah mengeluh, kamu salah. Tiada hari tanpa seorang Kala kecil meluapkan segala keluhannya. Apa ayah dan bunda mendengar? Tentu, tidak. Mereka sibuk. Bahkan ketika aku sakit dan harus dilarikan ke rumah sakit, mereka hanya menjenguk sesekali- hanya Oma dan bi Endah yang menemaniku. Inilah yang membuat tidak terbinanya hubungan baik diantara aku dan orang tuaku. Selama di Jakarta, aku lebih banyak menghabiskan waktu luang di rumah dengan kumpulan buku cerita dan serial film pahlawan super ketimbang bermain sepeda atau sepak bola bersama anak laki-laki seusiaku pada umumnya. Saat berada di lingkungan sekolah, aku cenderung diam dan hanya berbicara seperlunya. Karenanya guru SD-ku dulu pernah mengira kalau aku adalah anak berkebutuhan khusus. Bukannya tidak mau, aku hanya enggan kalau harus berbicara dengan orang-orang yang obrolannya tidak sejalan denganku. Buang-buang tenaga. Makanya, saat aku memutuskan untuk ikut Oma Ririn tinggal di Bandung karena tanteku baru melahirkan dan tidak ada yang bisa membantu untuk mengurus, aku tidak harus mengadakan pesta perpisahan besar-besaran dengan teman karena aku sendiri ragu mereka ingat punya kenalan yang bernama 'Kala'.
Bandung adalah kota yang cantik, pikirku saat pertama kali netraku dimanjakan dengan deretan rumah yang sarat akan peninggalan sejarah juga pepohonan lebat yang menjulang di pinggir jalan. Tidak heran ia mendapat julukan 'kota kembang'. Meski tidak secantik apa yang ada di angan-anganku, Bandung tetap saja bisa membuat orang jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku berani bertaruh. Sekali kalian menginjakkan kaki di Bandung, saat pulang kamu akan merasakan rindu yang mendalam dan ingin cepat-cepat kembali ke Paris van Java ini. Rindu yang dirasa bisa kamu tujukan pada dua hal; kotanya atau orang yang ada di dalamnya. Berkenaan dengan itu, izinkan aku untuk bercerita tentang seseorang asli Bandung yang atas segala tingkahnya, selalu bikin aku rindu.
Namanya Raihan. Bukan Ruhan apalagi Rohan. Nggak bakal nyaut dia kalo dipanggil dua nama itu. Untuk lengkapnya, tinggal ditambah Nugraha di belakang. Nama kecilnya Ehan, tapi hanya orang rumah yang memanggilnya begitu. Asal usulnya sih waktu ia kecil, ia belum bisa mengucap huruf 'r' dan terbiasa memanggil dirinya 'Ehan'. Ia adalah jajaka asli Bandung yang selama hidupnya mengabdikan diri sebagai wargi Bandung yang gemah ripah, repeh, rapih. Pengetahuannya soal kota ini cukup mendalam. Mulai dari hal-hal yang bisa dicari di internet sampai ke hal-hal yang tidak banyak orang Bandung sendiri ketahui. Anaknya petakilan, tangan dan kakinya tidak benar-benar bisa dalam posisi diam. Ia juga cerewet dan tidak akan membiarkan lawan bicaranya kehabisan topik untuk dibahas. Berbeda jauh denganku, Raihan mempunyai banyak sekali teman di manapun ia berada. Tanpa memandang fisik dan latar belakang, selama kamu bisa membuat dia nyaman mengobrol maka kamu akan dengan mudah dia anggap sebagai teman.
Raihan mempunyai dua hal yang ia cintai, basket dan gambar. Kesukaannya pada permainan bola oranye bundar itu memang sangat tinggi karena itulah ia memilih basket sebagai ekstrakurikuler pilihannya. Ia bahkan pernah terpilih menjadi kapten basket di SMP kami dulu atas kemampuan bermain dan kepercayaan rekan satu timnya. Impressive, isn't he?
Awal pertemuanku dengan Raihan bisa dikatakan tidak mulus. Cerita akan hal itu akan aku bagi nanti, bila sempat. Aku harap aku tidak membuatmu penasaran.
Seiring berjalannya waktu, hubungan kami terus dan terus membaik hingga aku berani untuk menyebut Raihan sebagai teman pertamaku. Bersama dengan Raihan, aku banyak mendapat pengalaman-pengalaman baru yang sebelumnya tidak pernah kurasakan. Mulai dari membolos kelas dan nongkrong di kantin, memanjat pagar belakang untuk menghindari upacara, disetrap depan kelas akibat menjahili anak perempuan hingga menebeng pada mobil pick-up (Itu namanya mobil kolbak, kata Raihan) untuk pulang ke rumah.
Mungkin aku yang terlalu percaya diri atau aku yang tidak pernah tau rasanya mempunyai teman, aku merasa bahwa Raihan juga senang menganggapku sebagai temannya. Ia mengenalkanku pada semua teman dan juga keluarganya. Keluarga Raihan berisikan ayah, ibu, dan tiga anak dalam sebuah rumah sederhana. Om Radit, ayah Raihan, adalah seorang pegawai negeri sipil dan tante Ratna, istrinya, bekerja sebagai guru TK yang juga membuka toko jahit kecil-kecilan di rumahnya. Mas Gian, kakak Raihan, dulu masih anak SMA yang tak jarang menemani aku dan Raihan bermain. Sekarang dia sudah menikah dan bekerja di luar kota. Erina, adik Raihan, yang dulu masih bayi berumur 6 bulan di awal kami bertemu sekarang sudah tumbuh menjadi gadis cantik yang sangat Raihan lindungi. Hati-hati ya kalo kamu mau dekati Erina. Kakaknya galak kayak anjing herder!
Meski sederhana, aku bisa merasakan kehangatan dan kebahagiaan saat aku ada di dalamnya. Perasaan yang tidak aku dapat di keluargaku sendiri. Akupun merasa bersyukur karena Om Radit dan Tante Ratna sudah menganggapku seperti anaknya sendiri.
Mungkin cukup segini perkenalan dariku. Nggak usah banyak-banyak ya. Takut cerita ini malah berujung jadi biografi. Hehe.
(...)
Hehe, foto yang di media itu Raihan. Cakep ya? Jangan diliatin terus. Naksir entar.
KAMU SEDANG MEMBACA
RaiKala
FanfictionKata Kala: Raihan adalah matahari kedua yang tercipta hanya untuknya.