02 | Wih, udah SMA

113 12 1
                                    


Bandung masih gelap, warganya masih terlelap. Ogah-ogahan, aku memaksa diri untuk bangun dari kenyamanan kasur di pagi hari. Alarm yang sudah aku setting dari semalam sudah aku matikan beberapa menit yang lalu. Nyawaku belum seluruhnya terkumpul walau aku telah berada di posisi duduk dengan selimut masih menutupi bagian pinggang ke bawah.

Dengan langkah gontai, aku berjalan menuju kamar mandi setelah mengambil handuk yang tersimpan sembarangan di kursi dekat tempat tidur. Dinginnya udara kamar mandi sedikit membuat aku bergidik terlebih saat seluruh pakaian tidur yang aku pakai tadi malam ditanggalkan.

Derasnya air hangat yang keluar dari shower menerpa tubuh dan menciptakan perasaan rileks sekaligus bisa membuat mata melek. Sambil menggumamkan nada lagu Autopilotnya Kodaline, aku menggosok-gosok seluruh tubuh dengan sabun mandi beraroma mint. Sekalian juga rambut dicuci dengan shampoo yang beraroma serupa. Sayang sekali apartemen yang aku tempati tidak mempunyai bathtub. Pasti enak menghabiskan waktu menjelang pagi ini dengan berendam dalam air hangat.

"Argh! Kenapa sekolah harus mulai pagi-pagi banget sih?" Aku menggerutu dalam hati sambil menggosok gigi dan menatap pantulanku di cermin setelah selesai membersihkan badan. Handuk yang melingkar di pinggang sudah terlihat agak lusuh. Pertanda aku harus segera menyetor handuk ini juga setumpuk pakaian kotor dari beberapa hari yang lalu ke tempat laundry.

Seragam putih dengan lambang logo OSIS coklat tersemat di bagian dada kiri sudah terpasang dengan apik di badan. Hari ini, Raihan berjanji untuk berangkat bersama dengan motor barunya, hasil jerih payah merengek-rengek ke Om Radit selama beberapa bulan. Aku senang-senang saja sih ditawari bareng. Hemat ongkos, hehe.

Dua tahun berada di satu SMP yang sama mungkin belum cukup dalam menciptakan ukiran kenangan dalam cerita persahabatan kami, karenanya takdir mungkin sengaja menempatkan aku dan Raihan di SMA yang sama pula, salah satu SMA favorit di Bandung kala itu. Sebenarnya, kami berdua pernah membahas soal menjadikan SMA ini sebagai target utama namun baik aku atau pun Raihan tidak menyangka kalau kami bisa diterima, meski lewat jalur yang berbeda. Aku berhasil masuk karena nilai ujian nasional yang mencukupi sedangkan Raihan lewat jalur prestasi.

Hmm, SMA dan segala problematikanya. Orang bilang sih masa SMA-lah masa-masa yang paling indah. Mungkin ya, mungkin tidak. Bagi orang yang menemukan passion, cerita cinta, sahabat sejati, prestasi dan hal baik lain di SMA mungkin akan beranggapan demikian. Tapi tidak untuk orang yang menjalani masa SMA-nya dengan tekanan orang tua, pembullyan, tidak adanya niatan untuk mencari ilmu, dan banyak hal buruk lainnya yang membuat bersekolah di SMA adalah beban. Beban yang harus dirasakan selama tiga tahun penuh.

Aku berada di pihak netral. Masa-masa SMA tidak sepenuhnya memberi kesan yang bagus, pun juga kesan yang buruk.

Ketimbang indah, aku lebih senang beranggapan bahwa masa SMA punya kesan dan pesan tersendiri yang membekas dan akan sulit dilupakan. Bagiku, SMA adalah tahap awal untuk mengenal dunia yang lebih luas. Masa transisi menuju kedewasaan. Masa di mana seorang anak mulai senang memilih jalannya sendiri dan rasa patuh pada orang tua akan berkurang karena alasan "aku sudah besar, aku tau mana yang benar dan mana yang salah".

Sebulan sebelum kehidupan SMA-ku dimulai, aku meminta agar dibiarkan mandiri dengan tidak tinggal seatap lagi dengan keluarga tanteku. Tentu saja Oma-ku sempat tidak menyetujuinya dan ingin aku untuk terus tinggal di rumah Tante bersamanya. Setelah melalui diskusi panjang antara aku, Ayah, Bunda dan Oma, akhirnya mereka bertiga setuju untuk mengizinkan aku tinggal seorang diri dengan syarat mereka yang memilihkan tempat tinggal untukku.

Pilihan pun jatuh kepada salah satu apartemen yang ada di kawasan pusat kota yang letaknya tidak terlalu jauh dari kawasan komplek tempat tinggalku sebelumnya.

Aku hanya mengiyakan saja. Toh, yang aku butuhkan adalah ketenangan dari tinggal sendiri tanpa adanya aturan-aturan tersirat yang biasa diberlakukan oleh orang tua. Namun ketenangan itu belum benar-benar aku dapatkan selama dua bulan pertama karena dalam seminggu, selalu ada dua sampai tiga hari di mana Oma menginap di apartemen.

Untungnya tidak dengan hari ini, karena Oma harus menemani Latisha, sepupuku yang masih kecil, selama orang tuanya pergi ke luar kota untuk urusan bisnis.

Sebuah pop-up dari aplikasi chat line muncul di layar bersamaan dengan ponsel yang bergetar.

Raihan Nugraha: bos urang dah depan gerbang gancang sebelum urang tinggal

Kala Alfarizi: ya

Segera aku menuntaskan sepotong roti panggang dan susu coklat yang sudah agak dingin sebelum meninggalkan kamar apartemen setelah beberapa kali memastikan bahwa pintunya sudah benar-benar terkunci. Dalam lift, aku kembali mengecek buku-buku yang ada di tas, takut ada yang tertinggal. Pintu lift terbuka dan dengan sedikit berlari aku menghampiri Raihan yang duduk di atas motornya dengan helm yang tidak dilepas, sibuk mengetik sesuatu di ponselnya. Wajahnya berseri-seri. Senyum sumringah terpampang jelas di wajahnya. Ah, jelas.. pasti dia sudah mendapatkan cewek inceran di sekolah. Matanya masih terfokus ke layar meski ia sudah melihatku yang sekarang berdiri di sebelahnya untuk mengambil helm yang ia taruh di atas spion motor. Sesudah aku duduk di jok belakang dengan helm yang terpasang, Raihan baru menyelipkan ponselnya ke dalam saku celana dan mulai mengendarai motornya. Jalanan cukup sepi sehingga kami tidak perlu bersusah payah menerobos kemacetan kota Bandung yang mulai padat dengan kendaraan, baik yang beroda dua maupun beroda empat.

"Shasa, anak IPS dua. Cantik gak kata maneh?" Raihan membuka pembicaraan setelah cukup lama kami asik dalam keheningan. Persis seperti apa yang aku pikirkan; Raihan memang sedang pedekate dengan anak sekolah. Otakku seakan berputar untuk mencari informasi dari nama yang baru saja disebutkan oleh Raihan. Nihil, tidak ada ingatan apapun tentang cewek bernama Shasa ini. "Anak kelas aja gak ada yang gue hafal mukanya."

"Tipikal anda sekali ya, Bapak Kala. Baru dapet ID line­ dia kemarin. Cantik dia, Ka. Tapi ya nggak pinter-pinter amat. Malah agak lemot. Hahaha gak pa-pa sih, ketutup sama gemesnya dia."

Di sepanjang perjalanan, Raihan terus bercerita tentang cewek yang lagi dia ajak pdkt ini sampai kami tiba di sekolah. Ia memang selalu begini tiap kali punya seseorang yang ia taksir. Agak bikin ngeri karena dalam seminggu aja, informasi yang dia punya tentang Shasa ini banyak banget. Aku hanya menanggapi seadanya karena benar-benar clueless dengan apa yang ia ceritakan. Kami memang biasa begini kok. Raihan berbicara, aku mendengarkan. Kadang juga aku yang bercerita meski tidak sesering Raihan.

Keluar dari area parkiran, kami berjalan beriringan masuk ke dalam pelataran sekolah yang masih kosong. Obrolan terpaksa selesai saat aku dan Raihan harus berjalan menuju kelas melewati lorong yang berbeda.

"Tungguan hareupeun kelas nya. Istirahat urang ke kelas maneh," kata Raihan sebelum ia berjalan menuju lorong yang ada di seberang, lorong di mana kelas IPS berjajar. Tak sadar, aku terpaku pada punggung Raihan yang terus menjauh. Sampai..

"Kala? Sepuluh IPA satu?" Sontak kepalaku menoleh ketika terasa satu kali tepukan di bahu yang berhasil membuatku sadar dari lamunan. Cewek berperawakan mungil, dengan rambut yang diikat kuncir kuda, kini sedang mendongakkan kepalanya sedikit agar tatapan mata kami bisa bertemu. Mukanya terlihat familiar, namun aku tidak bisa ingat siapa dia.

"Iya. Kenapa ya?"

Ia tersenyum kecil, menciptakan lesung pipi di sudut bibir, lalu menyodorkan tangan kanannya ke arahku, "Nggak pa-apa. Cuma mau ajak kenalan aja. Kita sekelas loh!"

Sopan, aku mengamit tangan yang terulur untuk beberapa detik, "Gue Tari. Lo bukan asli sini juga kan ya? Jakarta, bukan?"

Aku mengangguk. "Sama dong! Seneng deh ketemu temen dari satu kota. Gue baru pindah beberapa minggu ke Bandung jadi belum kebiasa sama lingkungan dan anak-anaknya."

"Entar juga lo bakal betah kok ada di sini," ucapku sambil tersenyum ke arah Tari yang langsung dibalas olehnya. "Iya. Hehe, langsung ke kelas yuk, Ka."

RaiKalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang