“Siomaynya sepuluh ribu, Bang. Pare banyakin.”
Aku mendaratkan bokongku ke sebuah bangku plastik. Cuaca sangat panas, kubuka jaket dan menaruhnya
di bahu.“Minumnya apa, Mas?” susul penjual minuman.
“Teh botol boleh dah. Dingin tapi ya.”
Maksud hati ingin membuat video baru, siang ini sangat panas maka kumpulan beberapa pedagang gerobakan malah jadi tujuanku. Kalau dipikir-pikir, mungkin lebih enak kalau bikin video sambil ngisi perut. Santai sekalian bisa cerita-cerita tentang kesibukan 2 minggu lalu.
Aku mengambil tripod mini dari tas dan menaruh HP-ku di atasnya.
“Lagi ngapain toh, Mas?” Tukang Siomay mengalihkan fokusku. Ditaruhnya pesanan siomay tadi di meja,
“Nge-vlog, tah?”Aku menahan senyum. “Biasalah. Mahasiswa akhir bulan juga butuh uang jajan kan, Bang.”
Si Tukang Siomay itu manggut-manggut setelah mendudukkan dirinya di sebelahku. “Makin edan aja emang jaman sekarang, ya. Ngomong sama hape aja bisa ngantongin duit. Gak kayak jaman saya yang mesti angkut-angkut barang dulu demi sesuap nasi.”
“Yah, kan jaman mah udah beda, Bang.”
“Nah makanya itu, Mas. Jaman yang udah beda gini nih, malah bikin saya sedih!” balasnya yang membuat dahiku mengerut. Belum sempat aku bertanya kenapa, dia sudah lebih dulu menyambung, “kemarin aja di Jalan Sutomo V itu, temen ojek saya liat ada anak SMP mau nyebrang malah keserempet motor.
“Saya pikir kenapa, kan. Tau-taunya? Itu anak pas nyebrang malah main hape sambil joget-joget. Gak liat kiri-kanan. Edan, kan? Mana nyebrangnya gak di zebra cross.”
Keringat jatuh di pelipisnya, si Tukang Siomay mengelap dengan handuk kecil di leher. Aku sendiri tidak tahu mau jawab apa selain kata iya atau sekadar mengangguk. Tapi hal ini tidak bertahan lama. Agaknya, si Tukang Siomay ini pintar cari topik baru. “Ini hape mas udah on, masnya gak mau mulai?”
“Iya, Bang.”
“Masnya emang mau bahas apa?” tanyanya sambil sekilas mengangkat alis.
“Ya … gini-gini aja sih. Share kesibukan saya kemarin-kemarin.”
“Weeeladhalah.” Wajahnya terlihat terkejut. Matanya pun membulat, seolah-olah yang kukatakan barusan sangat aneh di matanya, “jadi Youtuber tuh harus bisa bikin konten bermanfaat dong. Yang bisa mengubah presepsi buruk orang-orang. Lagian kan di tivi-tivi atau koran tuh lagi banyak yang bisa diangkat. Kayak lemahnya rupiah terhadap dollar, teror di Surabaya, guru-guru honor di pelosok yang bergaji rendah. Heee, gimana sih mahasiswa.”
Aku meringis. Sepertinya ... satu kosong.
“Jangan cuma pamer somay sama es teh botol doang.”
Aku menggaruk tengkuk seraya memandang makanan siangku. Kata ‘pamer’ yang digunakan rasanya terdengar berlebihan. “Ya gimana ya, Bang.”
“Kok ‘gimana’, jawabannya?” Tukang Siomay itu lalu menegakkan punggung, “sini-sini, biar saya ajarin.
Yang kayak gini mah cuma upil, kalo buat saya.”Dia menekan bulatan merah di layar HP-ku. Tanpa disangka-sangka, dia pun berbicara—
“Siang, Guys. Selamat datang kembali di channel youtube … Eh, tunggu. Nama masnya siapa?”
—layaknya ahli.
Aku berkedip. “Brama Tirto.”
“Nah!” Tukang Siomay itu bertepuk tangan sekali dengan nyaring, hal itu cukup membuatku terkesiap, “Channel Youtube Mas Brama Tirto. Ngomong-ngomong, nama saya Supraman, kembarannya Superman. Hehe. Mungkin kalian asing dengan saya. Karena saya memang baru di sini. Yaaah, bisa dibilang teman barunya Mas Brama inilah. Ya gak, Mas?”
Aku meringis. Satu kosong. Tidak menyangka Channel Youtube-ku akan disabotase oleh seorang Tukang Siomay.
“Di kota yang panasnya minta ampun ini, kami akan mengangkat topik tentang pengaruh negatif teknologi dan sosial media dewasa ini. Penasaran, 'kan? Yaudah, gak usah lama-lama. Lets get started!”
Seketika, rahangku jatuh. Ya ampun, mimpi apa aku semalam?
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Siomay dan Perbincangan Sekali Duduk
Short Story[3/3] amati sekitar. barangkali, kamu yang selanjutnya dinanti-nanti oleh seorang Tukang Siomay Edan untuk berbincang-bincang dalam sekali duduk. dia memang orang asing, tapi ... gak ada salahnya kan kalau kamu coba?