Sepiring Siomay dan Obrolan Edan

5.5K 1.6K 321
                                    

“Saya dulu pernah berpikir kalau perkembangan teknologi jaman sekarang nih sebagian besar malah bawa mudarat. Ternyata benar saja kan.”

“Ya gak semuanya sih, Bang.”

“Nah kan makanya saya bilang,” jawabnya, “sebagian besar. Gak semuanya.”

“Tergantung si pemakai.” Aku menambahkan.

Bang Supraman mengangguk setuju. Jarinya menunjuk ke arah wajahku. “Karena mau sebagus apa pun aplikasinya, kalau mereka gak bisa menggunakannya dengan baik dan tepat, apa jatuhnya kalo bukan jadi mudarat?”

"Ya kayak siswa SMP yang Abang bilang itu."

"Betul. Yang saya denger dari temen saya ya, bocah itu mau nyebrang sendirian—ke arah stasiun. Eh tuh bocah kaga liat-liat, asal nyelonong. Udah tau jalanan rame kalo siang. Mana katanya tuh dia joget-joget sambil tangannya gini-gini," ujarnya lalu menggerak-gerakkan dua jarinya.

Aku menahan senyum, lalu ikut menggerak-gerakkan dua jariku. "Oh itu mah pasti a a a a aisya jatuh cinta pa pa pa pada—"

"Edan! Kaga usah dinyanyiin juga. Gelinya ampe ke bulu kaki!"

Aku tergelak bukan main.

Lima menit yang lalu, mungkin aku berniat untuk menghapus video ini jika sudah sampai rumah. Tapi, niat itu segera kuurungkan ketika pikiranku terhanyut oleh semua perkataan yang dilontarkan Bang Supraman—si Tukang Siomay.

Dia benar-benar—edan. Sesuai kata yang sering diucapkannya. Aku tak menyangka saja di tempat yang asing ini, aku menemukan teman ngobrol yang tidak hanya asyik, tapi juga bisa diajak bertukar pendapat.

“Ya, kalau mau disamakan, gadget itu semacam pisau sajalah. Pisau itu kan muka dua. Dia bisa jadi baik, bisa pula jahat. Tergantung di tangan siapa dia digenggam dan untuk apa dia dipakai,” tambahnya, “kalau menurut Mas Brama sendiri gimana?”

Aku mengusap daguku. “Aku sih setuju dengan pendapat Bang Supraman. Apalagi, bagi anak jaman sekarang itu, beberapa dari mereka salah mengartikan kesuksesan. Yang menurut mereka ‘sukses’ itu … ya mereka dapat followers banyak, like-nya banyak, vote-nya banyak.”

“Popularitas,” tambahnya. Aku menjentikkan jari.

“Padahal, jadi terkenal itu gak seenak yang mereka bayangkan. Hampir semua artis papan atas punya haters. Tiap hari mereka diberondong kata-kata kebencian,” Aku menyeruput minumanku, “tapi, lucu aja, mereka malah terobsesi untuk jadi seleb—yang padahal, itu bukan jawaban yang tepat untuk dijawab anak SMP/SMA kalau ditanya tentang cita-cita.”

“Dan yang lebih lucu lagi,” timpal Bang Supraman, aku menoleh padanya—menunggu jawaban, “mereka rela melakukan apa saja demi itu semua. Ya bagus deh kalau mereka mau nyari popularitas dengan cara yang kayak gini—buat konten bermanfaat. Tapi kalau sampe buang-buang duit demi real liker/follower, gimana? Atau, ambil foto yang sampe membahayakan nyawa, contohnya selfie di pinggir rooftop gedung pencakar langit? Seharusnya kan mereka gak kayak gitu. Ada cara lain.”

“Ah aku juga mau nambahin nih. Adekku saja sampai uninstall Instagram. Aku sempet nanya ke dia, karena udah lama banget gak keliatan Instagram Story-nya. Tau gak apa jawabannya?! Dia jawab: hawa-hawa di sana itu panas,” Aku terkekeh, “saat itu aku mikir: Ya Tuhan, macam neraka saja.”

“Adekmu gak tahan dengan baju, tas, sepatu branded selebgram, eh?”

Kekehanku berubah menjadi tawa. “Kayaknya sih, Bang. Lemah iman dia.”

Bang Supraman manggut-manggut. “Itu kalau dilihat dari sisi lucunya. Tapi kalau kita lihat dari sisi sedihnya, gak kalah banyak. Saya, yang sudah belasan tahun jadi Tukang Siomay di sini, sering didatangi sebuah keluarga. Mereka makan di sini—berempat, bertiga, berlima. Tapi? Sepinya bukan main. Mereka sibuk masing-masing. Padahal, mereka bisa bercakap-cakap tentang kerjaan Ayahnya, kesibukan Ibunya, pelajaran anak-anaknya di sekolah. Tapi nyatanya? Mereka lebih milih berinteraksi dengan benda mati daripada makhluk sosial yang ada di depan mereka.”

“Mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat,” gumamku.

“Begitulah, miris memang,” tanggap Bang Supraman pendek, “lalu apalagi?”

“Ah ya beberapa tahun yang lalu, aku dengar di kota ini, ada siswa SMA yang dihamili oleh teman sebayanya. Mereka kenal lewat Facebook. Tapi, entah karena laki-lakinya tidak mau tanggung jawab atau apa, dia memutilasi siswa SMA itu—dalam keadaan mengandung.” Aku bergidik ngeri.

”Dari kasus ini aja, kita bisa paham kalau peran orangtua itu sangat penting dalam mengawasi anak-anaknya di dunia maya. Karena kalau terlalu dilepas, ya … bisa bahaya.”

Bang Supraman tersenyum kecil. Tiba-tiba saja baik aku atau pun dia tidak ada yang bersuara.

Suasana pun berubah. Aku melirik Tukang Siomay di sebelahku itu. “Ada apa, Bang?”

“Saya gak tau mau ngomong apa,” balasnya masih dengan senyum kecil, dia terkekeh. Aku sendiri jadi heran, maka aku memilih diam, “peranan orang tua memang penting. Tapi saya rasa, saya gak pantas memberi pendapat tentang ini.”

“Lho? Kenapa?”

“Saya gak berpengalaman mendidik anak dengan baik. Karena, saya sendiri saja … gagal menjadi Ayah.”

[]

Siomay dan Perbincangan Sekali DudukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang