PROLOG : Hujan dan Matahari

394 54 8
                                    

〰

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cekrek

Bandung raya, pada sebuah miniatur kecilnya bernama Dwara. Sekolah menengah atas yang mendapatkan cap sebagai sekolah terelit dan peraih prestasi gemilang sempurna.

Ada sepasang tinta hitam milik pemuda tengah membidik kameranya pada sebuah pohon akasia yang tumbuh menjulang tinggi di sebrang sana. Satu potretan berhasil pemuda itu simpan. Kemudian kamera kodak itu diayunkan pada sisi kanan tubuhnya, kembali memotret pohon akasia dari angel yang berbeda.

"Hujan, kayaknya senin ini kita skip upacara lagi deh. Tapi enak bisa ambil kelas tambahan, lo mau kelas apa bro?"

Satu suara mulai memecah keheningan ruangan kelas. Namun pemuda yang sedari tadi menatap keluar jendela dengan satu kamera kesayangannya itu tak berniat membalas.

"Yoo Aksa, lo denger gue ngomong 'kan?"

Lantas Aksa, pemuda yang sedari tadi sibuk dengan kameranya itu kini menoleh, lalu menatap teman sekelasnya itu dengan malas.

"Psikologi." Balasnya dengan singkat. Sepasang tinta hitam legamnya kembali menatap presipitasi air hujan yang turun seraya berduet dengan angin.

"Weh dingin banget anjir! Gue padahal udah pake jaket tebel." Satu pemuda dengan surai coklat tua berujar kedinginan dengan sepasang tangannya yang saling menggosok pelan.

"Ji! Maneh (Kamu) pasti udah tahu ya?" Gadis dengan rambut sebahu yang sedari tadi memaku tatapannya pada ponselnya itu, kini beralih menatap Aji yang tengah merapikan jaket almamaternya.

"Naon? (apa?) Soal murid baru itu?"

"Heem, urang (aku) udah tahu. Katanya pindahan dari Jakarta."

Selepas Aji mengudarakan kalimatnya, semua penghuni kelas yang sedari tadi sibuk dengan kegiatan masing-masing kini mulai merapat pada meja pemuda itu. Membentuk sebuah pormasi lingkaran bersiap mendengarkan.

Dwara, lantas apa yang membuat mereka begitu penasaran dan antusias akan kedatangan murid baru?

"Sekolah kita gak nerima murid baru sembarangan, dia pasti pinter atau dari kalangan orang kaya."

"Dua-duanya. Kita semua pinter dan kaya.." Ujar Aji yang langsung di setujui teman sekelasnya dengan serempak.

Aksa tak peduli, pemuda dengan rahang tegas itu kembali arahkan kameranya pada luar jendela. Potret semua objek yang menurutnya menarik. Dan tanpa sengaja, kamera kodak itu potret sosok gadis asing yang sedang berlari kecil di lantai bawah.

Murid baru itu ya?

"Kira-kira, murid barunya cewek atau cowok ya?"

"Cewek." Lantas satu bait kata yang Aksa udarakan berhasil membuat semua penghuni kelas menatapnya penasaran.

Hukum Gravitasi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang