(2)

50 7 2
                                    

Dari sekian banyak orang yang punya kesempatan memiliki kehidupan yang bersinggungan satu sama lainnya, Tuhan membawa hidup Juliana sekali lagi untuk bersentuhan dengan hidup Gavin.

Kala itu di pertemuan pertama mereka di Rumah Sakit, Juliana hanya ingin memastikan Gavin bukanlah orang yang dia ingin temui, bukanlah orang yang ia cari, bukanlah orang yang seharusnya udah pergi jauh sebelum Juliana sempat merindukan orang itu—si pembawa hati yang enggan untuk mencoba kembali, di saat Juliana masih setia menanti.

Ada helaan napas lega, suara yang hanya bisa didengar oleh Juliana karena pikirannya lah yang berkata "oh bukan dia" tapi hatinya sedikit kecewa karena dia yang sangat diinginkan untuk hadir mengisi hari, ternyata masih hanya dibatasi angan memintanya untuk datang lagi.

"Lo gak apa-apa?" pertanyaan yang akhirnya keluar karena sedaritadi Rafardhan sibuk sendiri menimbang untuk bertanya atau tidak, mengingat bisa saja memperkeruh suasana hati sahabatnya.

Juliana bergeming.

Dia masih memalingkan wajahnya ke luar kaca mobil, memberikan tatapan kosong pada setiap pohon yang melambai meminta perhatian.

Kedua kakinya sengaja ia dekap erat ke arah dada, mengurangi beratnya beban pada perasaannya sekarang.

Itu metode payah yang selalu ia lakukan padahal dia tahu itu tidak bisa merubah apapun

Juliana hanya bisa mengangkat bahunya sebagai jawaban atas pertanyaan Rafardhan barusan.

Dia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa jika nyatanya perasaan yang ada sekarang mengatakan bahwa dia jauh dari kata tidak apa-apa.

Tapi logikanya berkata tidak ada gunanya untuk menjadikan ini sebagai suatu masalah baru.

Rafardhan meraih puncak kepala Juliana yang bersandar di pinggir pintu mobil, mengusapnya lembut untuk menenangkan sahabatnya itu.

Mata Juliana terasa panas, air mata yang begitu lancang keluar akhirnya mulai membasahi pipi.

Suara tangisannya mengisi setiap ruang kosong di dalam mobil, Rafardhan masih mengusap kepalanya kali ini sesekali mengusap air mata milik Juliana.

"You've suffered enough, Na."

"Jabar jahat sama gue, Raf. Jahat banget."

"You both were bad for each other. Jadi, lo bisa berhenti buat nangisin dia sekarang. Kalo lo emang yakin bahagia lo itu sama dia, gak mungkin dia ninggalin lo gitu aja."

"Kalo si Jabar di bandung sekalipun, dia gak akan bisa denger lo nangis apalagi sekarang dia di Jepang? Lo berharap apa setelah nangis? Dia balik tiba-tiba terus ngebahagiain lo?"

"We dont make the world, Na. So, stop wasting what you have for a man that would definitely never be yours."

Rafardhan menghentikan mobilnya di sebuah parkiran restoran fast food yang hampir ia lewati.

"Lo masih mau nangis? Puasin aja nangisnya sekarang. Gue mau beli makan, laper gue dengerin lo nangis terus"

Rafardhan sengaja meninggalkan Juliana sendiri di dalam mobilnya

Sebenarnya perutnya tidak terlalu berisik meminta untuk diberi asupan, tapi mengingat situasi sedang berkelabu hal terbaik yang bisa dia lakukan adalah memberi Juliana waktu sendiri.

Tubuh Rafardhan perlahan menghilang masuk membaur dengan antrian di depan kasir

Sedangkan, Juliana masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia sangat ingin menyalahkan Tuhan karena bisa seenaknya mempermainkan perasaannya, ketika dia pikir dirinya sudah sembuh ternyata perkiraannya salah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 24, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Metanoia (Home Spin Off)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang