Dulu saya pernah menulis cerita ini, tapi pada akhirnya cerita ini di hapus lagi dan tidak mempublikasikannya. Ceritanya sedikit dirubah, berharap akan ada banyak orang yang membacanya.
***
Siang ini, matahari begitu terik memancarkan sinarnya. Dan aku rasa juga tidak ada satu orang pun yang cukup bodoh yang bersedia untuk menantangnya. Aku mendengus kesal, ketika mendapati swift hitam milik Nathan terparkir didepan rumah, itu artinya ia ada didalam dan aku benar-benar malas jika harus melihat wajahnya, yang entah mengapa, menurut orang lain sangat cute, ganteng atau apalah itu, pujian-pujian kosong tak beralasan menurutku.
Jangan tanya mengapa, aku begitu kesal kepada tunanganku itu. Ya, tentu saja aku memiliki alasan atas segala sikapku padanya. Begiku ia sama sekali tidak menampilkan figur lelaki impian seperti yang sering aku lihat difilm ataupun cerita-cerita dinovel. Orang tuaku memaksaku untuk bertunangan dengannya dengan orang yang tidak ku sukai.
"wetsah....tunangan gue udah balik, nyelonong aja lo..."
Aku sama sekali tidak bergeming mendengar sapaannya. Benar apa yang ia bilang, aku memang langsung masuk begitu aja, tanpa sekalipun menggubrisnya.
"siang Salsa..." suara lain, yang lebih lembut yang terdengar lebih merdu, ikut juga menyapaku.
"siang juga Ali..." sahutku, tersenyum manis, berusaha menampilkan yang termanis yang aku punya.
Kalian boleh menganggapku jahat, tapi siapa perduli, jika boleh memilih, terang-terangan tentu saja aku akan memilih Ali, yang notabene adalah sahabat karib Nathan, sebagai tunanganku ketimbang Nathan. Ali membalas senyumku dengan senyumnya yang tidak kalah manis. Dan aku langsung bergegas naik kelantai dua menuju kamarku, masih tanpa sekalipun memerdulikan kehadirannya. Mencoba tidak menganggap dirinya. Berlalu dan menghilang begitu saja.
***
Alunan lagu dari Justin Bieber penyanyi kesukaanku, memenuhi sudut-sudut kamarku, menemaniku yang sedang larut dalam setumpuk tigas kampus yang harus ku selesaikan. Sambil ikut berdendang, seolah aku sedang berduet dengannya, aku terus asyik mengerjakan tugas-tugas yang ada didepanku.
Klik. Lagu berhenti tiba-tiba. Serta merta aku langsung menoleh kearah rak dimana disc playerku berada. Dan betul saja, ia sedang berdiri disana, sambil memamerkan deretan gigi putihnya kearahku.
"ngapain sih lo matiin, ganggu aja!" ujarku ketus, menatapnya tajam.
"lagian elo dipanggil dari tadi, disuruh makan, tapi lo enggak nyahut-nyahut.."
"ya tapi enggak usah pakai asal matiin gini donk, udah mana masuk enggak ketuk pintu dulu lagi, enggak sopan banget sih" aku masih saja menggerutu sambil menatapnya kesal.
"haha...iya-iya..udah ah, ayo mau makan enggak lo?"
Dan dari segala rasa kesalku terhadapnya inilah yang paling membuatku kesal. Ketika aku masih dalam rasa kesalku terhadapnya dan dia malah tertawa. Bisa tidak sih dia lebih serius daripada ini? Bisa tidak sih sekali saja dia mengerti bahwa aku ini sedang marah terhadapnya?!
"duluan aja sana, entar gue nyusul"
"ya udah...cepetan yaa sayang..."
Aku hanya mengangguk tipis. Sekilas aku jadi memandangi foto kami berdua yang sengaja mama letakkan diatas meja belajarku. Saat itu, aku masih terlihat cupu dan tidak mengerti apa-apa. Lebih tepatnya, mungkin aku belum antipasi seperti ini padanya. Didalam foto itu, Nathan merangkul sambil mengecup ubun-ubunku. Aku dan dia tampak begitu manis disana, khas anak remaja baru pertama kali mengenal cinta. Tapi semua berubah semenjak aku tau kalau Nathan seorang playboy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selepas Kau Pergi
Short StoryAku menggigit bagian bawah bibirku kuat-kuat, berharap tidak ada air mata yang menetes turun dan akan membasahi pipiku. Aku benci menangis. Menangis hanya akan membuat dadaku sesak. Aku tidak suka menjadi lemah. Aku bukan perempuan seperti itu. Tapi...