BAB II: Kegilaan

25.3K 406 22
                                    

BAB II: Kegilaan

Baron tetap terdiam di tempatnya, menelan ludah. Dia tidak mungkin salah. Dia tadi jelas-jelas mendengar bunyi langkah, bukan mengiranya. Siapa yang bersembunyi? Kenapa dia bersembunyi?

Lalu mendadak, kilat terang menyilaukan menerangi area di sekitar Baron.

Baron hanya melihat sekilas dalam penerangan tak terduga tersebut. Tapi di kejauhan, ia melihat seseorang berlari menaiki tangga. Suara derapnya tersamarkan oleh gemuruh guntur.

"Hei! HEI!"

Detik berikutnya Baron berlari mengejar, menembus alang-alang yang menutupi jalan setapak menuju gedung TK. Cahaya senter di tangan Baron mengayun-ayun liar sementara ia berlari, jubah jas hujannya mengepak dan beradu gesek dengan semak-semak.

Dia baru berhenti berlari di depan pagar TK. Di hadapannya berdiri menjulang pintu gerbang kawat raksasa yang dililit tanaman liar setinggi tiga meter. Dulu Baron tidak pernah memahami kegunaan pagar ini, namun setelah melihatnya sekali lagi saat ini dia paham kalau gerbang ini merupakan satu-satunya akses keluar-masuk area TK. Untuk mengurung anak-anak di dalam selama jam sekolah, pikir Baron getir. Sekaligus melindungi mereka dari anak-anak SMP dan SMA yang badung.

Di luar dugaan, pintu tersebut mengayun terbuka begitu saja ketika Baron mendorongnya. Baron mendorongnya lebih keras untuk melawan gesekan dengan lantai keramik, hingga memberikan ruang yang cukup bagi Baron untuk menyelip masuk.  

Pandangan Baron segera tertuju pada taman bermain. Semuanya masih ada, kelihatan seperti waktu itu, kecuali dalam keadaan rusak dan telantar. Beberapa ban karet yang dideretkan seperti terowongan telah sobek atau tercabut dari tanah, papan luncur perosotan patah di bagian tengah, dan beberapa anak tangganya juga sudah hilang; di bagian tengah taman, dari tiga ayunan hanya satu yang masih memiliki dua tali utuh, sisanya teruntai lemah pada satu tali – papan duduknya menyapu tanah dengan menyedihkan.

Baron menggelengkan kepala, berusaha fokus pada tujuan awalnya. Dia sedang mencari laki-laki – atau perempuan – yang berlari menuju lantai dua. Baron mengarahkan senternya kembali ke arah lantai koridor.

Jejak sepatu.

Sebelum berjongkok untuk memeriksanya, Baron memperhatikan keadaan sekitar – sekedar untuk menenangkan dirinya sendiri. Jejak tersebut masih baru, tanahnya lembab dan tebal, membawa sedikit genangan air. Kemudian Baron mengarahkan kembali senternya ke depan, apa yang dia lihat membuat isi perutnya terasa melonjak.

Lebih banyak jejak sepatu. Setidaknya dua, tiga orang – Baron tidak bisa memastikan, ini di luar pengetahuannya. Jejak-jejak itu bertumpuk – tumpang-tindih – hingga sulit dibedakan satu sama lain. Dengan keberadaan jejak ini, dia semakin yakin teman-temannya ada di sekitar sini. 

Baron merasa semakin khawatir, sekaligus jengkel.  Apa yang sedang mereka lakukan? Jangan-jangan semua ini hanya rencana iseng untuk mengerjainya. Mungkin mereka bersembunyi di dalam kegelapan, siap menakut-nakutinya begitu dia lengah. Kalau begitu, mereka keliru. Ini tidak lucu, usaha mereka sudah kelewatan. Menerobos gedung yang ditinggalkan, merusak properti, dan menghabiskan waktu istirahatnya yang berharga.

Dia mengeluarkan teleponnya sekali lagi untuk mengecek sinyal. Masih nihil. Baron bangkit, memutuskan untuk mengikuti permainan teman-temannya, ia berjalan mengikuti jejak tersebut.

"Gaby?! Adam?!" panggil Baron, setengah berteriak. Suaranya dengan cepat terkubur oleh hujan dan aliran deras air dari pipa pembuangan. 

Jejak yang diikuti Baron mengarah pada tangga yang dilihat Baron sebelumnya, tempat seseorang berlari dan lenyap sebelumnya. Ia mendaki perlahan, berusaha tidak membuat suara. Di lengkungan tangga, Baron mengintip ke atas, berharap menemukan tanda-tanda kehidupan, tetapi kegelapan pekat menyelimuti lantai dua; sehingga dia terpaksa mendekat. 

Petak Umpet MinakoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang