(Tak) Indah dan Abadi

124 2 11
                                    

Tatapan itu. Tatapan yang belum pernah berubah selama beberapa waktu belakangan. Tatapan yang menyiratkan kebencian. Kebencian yang teramat dalam seperti sudah tidak ada lagi kata maaf untukku.

Aku tahu aku salah dan aku pun sudah meminta maaf dan menjelaskan semuanya padamu. Kamu juga tahu bahwa ini bukan sepenuhnya salahku. Jika aku boleh memilih, aku tidak pernah menginginkan hal ini terjadi. Karena aku tahu tidak sepantasnya ia menjadi milikku. Aku ingin kembali bersamamu, menghabiskan waktu berdua denganmu, membagi tangis dan tawaku bersamamu.

***

"Boleh duduk sini? Meja di dalam penuh semua," tanyamu tiba-tiba. Mengusikku dari buku yang sedang aku baca.

"Ah, ya. Silakan. Lagipula di luar hujan, kan?"

"Iya," jawabmu sembari tersenyum samar.

"Aku sering melihatmu duduk di sini dan membaca buku. Aku selalu penasaran buku apa yang kamu baca? Sepertinya tidak pernah habis."

"Ah. Aku memang suka membaca dan tanpa kusadari meja ini selalu menjadi tempat favoritku untuk membaca buku. Kamu mau membaca buku juga? Aku membawa beberapa buku di tasku." Tanpa menunggu jawabanmu aku langsung mengeluarkan buku-buku yang memenuhi tasku. Entah mengapa aku langsung merasa akrab denganmu, walaupun aku tahu kita baru pertama kali bertemu.

"Wow. Ternyata kamu juga suka baca buku romance, ya? Aku punya banyak buku romance di rumah."

"Benarkah? Boleh aku lihat ke rumahmu? Koleksiku tidak terlalu banyak. Aku biasa  meminjamnya di perpustakaan kecil dekat rumahku."

"It's my pleasure. Bertemu orang yang suka membaca buku saja sudah membuatku senang, apalagi sesama penikmat romance." Tak perlu waktu lama aku sudah bisa merasakan kedekatan di antara kita, seperti teman yang lama tak bertemu, padahal sekali lagi kukatakan bahwa kita memang belum pernah bertemu.

Di kafe itu, kamu mengajakku mengobrol tentang buku-buku romance yang pernah kamu baca. Bagaimana buku-buku itu bisa menghanyutkan para pembacanya. Bagaimana buku-buku itu mengandung makna yang sangat dalam tanpa mengurangi ketertarikan pada ceritanya. Kita berdiskusi panjang sore itu. Aku benar-benar tertarik untuk mengunjungi ruangan yang kau katakan sebagai perpustakaan kecilmu itu.

"Wow, rupanya sudah malam. Di luar juga sudah tidak hujan. Sudah berapa lama kita di sini? Lihat semua pengunjung di kafe ini sudah berganti dan kita tidak ada yang menyadarinya. Hahaha."

"Ah, iya. Aku sudah seharian di sini. Sebaiknya aku pulang sekarang. Aku duluan, ya," pamitku.

"Silakan. Aku masih ingin duduk di sini menikmati malam dan kota yang indah."

Benar sekali dugaanku, sesampainya di rumah Mama sudah siap dengan segala ceramahnya karena anak gadis satu-satunya belum  pulang. Kau berkata sudah menghubungiku beberapa kali dan aku bilang bahwa HP-ku mati. Sebenarnya bukan karena kehabisan daya, tetapi karena aku tidak ingin Mama menerorku setiap detik dengan SMS atau teleponnya. Yang menanyakan aku sedang di mana, bersama siapa, melakukan apa. Ah, Mama, kau begitu cerewet. Aku bukan anak umur 10 tahun lagi yang perlu dipantau terus-menerus selama 24 jam. Biarkan aku bebas berkelana kemana pun aku ingin pergi, Ma.

"Ma, Yasmin mau mandi dulu, ya. Sudah seharian Yasmin di luar, bukan?" pamitku. Jengah.

"Ya. Jangan pakai air dingin, ya, Sayang, nanti kamu sakit. Mama ngga mau kamu kenapa-kenapa. Mama ngga mau ..." Terserah Mama ingin mengingatkanku seperti apa. Aku sudah hapal dengan apa yang dikatakan Mama jika aku ingin mandi. Kulangkahkan kakiku menapaki anak tangga menuju kamarku. Kubiarkan Mama menyelesaikan kalimatnya sendiri di bawah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 14, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

(Tak) Indah dan AbadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang