***

31 4 0
                                    

   Angin merayap di sela-sela rerumputan yang basah akibat gerimis yang jatuh dari langit. Bau pedesaan yang khas di sertai warna senja ikut menambahkan keindahan dari ciptaan Tuhan yang luar biasa. Aliran sungai yang lambat juga ikut andil melengkapi suasana yang damai dan tenang.

   Sungguh moment yang tepat untuk duduk dan menikmati kreasi-Nya yang maha sempurna.

   Namun, Hal itu tidak berlaku bagi seorang bocah yang sedang duduk meratapi tiga ekor kambing yang sibuk mengunyah rerumputan. Dengan tongkat yang digenggam di tangan kanan, sarung yang dikalungkan menyamping di bahu, dia hanya terdiam.

   Rambutnya mungkin diterpa angin, hidungnya mungkin menangkap bau, matanya mungkin dihadapkan oleh indahnya senja, kulitnya pun merasakan rintihan gerimis dari langit. Namun, pikirannya tidak sejalan dengan keadaannya.

   Yang sedari tadi berlarian dibenaknya adalah bagaimana dia menghadapi hari esok yang entah akan datang atau tidak. Beranikah dia melangkah ketika dia bahkan sudah tidak sanggup untuk berdiri. Apa yang bisa dibanggakan ketika yang dimiliki saja tidak ada.

   Kembali dia menatap tiga ekor kambing yang sedari tadi membabat ratusan helai rumput. Dan berpikir mungkin lebih baik jika menjadi seekor kambing saja, kerjanya hanya makan dan buang kotoran tanpa perlu memikirkan hari esok.

Brukkk..

   Lamunannya terhenti ketika mendengar suara ambruk dari sisi belakang. Dilihatnya seorang lelaki tua yang sedang tersungkur di atas tanah tertindih oleh sepeda yang di kendarainya. Lekas dia berlari menghampiri lelaki tua yang sekarang sudah kesusahan mengangkat sepeda dengan muatan yang berat.

"Wa' Amang! Wa' nggak apa-apa? "

   Dia berpikir pertanyaan apa yang sedang dia lontarkan pada orang yang jelas-jelas sedang terkena musibah.

"Sini wa' saya bantu."

"Heheh nggak apa-apa nak, cuma lecet dikit ini"

   Lelaki tua itu hanya tertawa-tawa kecil sambil merapikan muatan di atas sepedanya yang tentu saja membuat bocah itu bingung.

"Lecek kok ketawa wa'?"

   Orang tua itu menatap sang bocah dengan tatapan tajam.

" Memangnya saya harus mengeluh?"

Bocah itupun semakin bingung dibuatnya.

" Yah Wajar kan kalo ngeluh, kan sakit wa'"

   Orang tua itu semakin tertawa keras membuat bocah itu menatapnya semakin bingung. Ingin rasanya dia pergi dan meninggalkan orang tua yang terkenal memang sedikit gila di desa itu.

" Hahah....kamu ini jangan berpikir seperti orang"

   Bocah itu pun hanya diam...sebenarnya dia tidak mengerti apa yang di katakan Wa' Amang. Bagaimana bisa kita tidak boleh berpikir seperti orang, sedangkan kita kan orang.

"Saya nggak ngerti Wa'"

"Lengan kamu berapa?"

" 2 Wa'"

"Masih utuh?"

"Masih"

" Kaki kamu berapa?"

" 2 Wa'"

"Masih utuh?"

"Masih Wa'"

"Mata kamu bisa melihat?"

   Bocah itu terdiam beberapa saat, dia berpikir kenapa dia diberi pertanyaan macam begini. Dia sudah bukan lagi siswa taman kanak-kanak yang diajar dengan cara yang ke kanak- kanakan.

"Bisa wa'"

"Telinga, hidung, semua berfungsi?"

"Berfungsi Wa'"

"Hahahah...nah itu kamu tau"

   Bocah itu benar-benar tidak mengerti. Semua hal yang disebutkan Wa' Amang ada pada diri seseorang. Lalu bagaimana bisa jangan berpikir seperti orang.

"Hahahah....sebaiknya kamu pulang nak, memangnnya kamu tidak dicari bapakmu? sudah mau magrib. Pamali bocah keluyuran kalo magrib."

   Bocah itu berbalik memperhatikan langit yang semula berwarna jingga sekarang sudah menghitam.

"Lah sudah mau malam ternyata ya. Kalo gitu saya duluan Wa'. Wa' hati-hati jangan jatuh lagi."

   Bocah itupun berlari menjemput kambing-kambingnya yang diikat di padang rumput.

"Hei, Nak!"

   Bocah itu berbalik ketika Orang tua itu memanggil namanya.

"Kenapa Wa'?"

"Kamu jangan suka ngeluh! Ngga' baik, nanti rejekimu mampet lagi."

   Wa' Amang kemudian berbalik sambil mengunggangi sepedanya menjauh dari bocah yang kini hanya diam mematung.


"DERANA!"

   Seorang lelaki paruh baya meneriaki namanya dari dasar bukit sambil malambaikan kedua tangan. Pakaian rapi, sarung dan peci yang dikenakan sudah jelas bahwa dia akan menuju ke suatu tempat.

"Bapak!"

   Lekas dia berlari sambil menggiring tiga ekor kambing menuruni bukit yang sedari tadi menjadi tempatnya berkeluh kesah. Kemudian menghampiri lelaki paruh baya itu disertai dengan wajah yang berseri-seri.

   Sungguh berbeda dengan tampilan wajahnya beberapa saat lalu yang seakan hanya seonggok jasad tanpa nyawa.

" Ayo, kita ke masjid nak, sebentar lagi magrib"

   Derana terdiam sejenak tanpa sepatah kata. Bapaknya dipandangi dari ujung kepala hingga ujiung kaki.

"Loh ..kenapa? Kok diam?"

" Bapak setiap hari bajunya itu-itu terus. Nggak bosan,pak?"

   Bapaknya tersenyum sambil mengacak-acak rambut bocah lelakinya itu.

" Memangnya kenapa? Yang penting kan bersih. Ini juga masih layak pakai kok"

   Derana hanya bisa menunduk. Ingin rasanya dia menangis melihat pakaian bapaknya, satu-satunya baju yang layak dikenakan saat menunaikan kewajibannya yang kini sudah lusuh dan kusam. Namun tangisnya ditahan sebab yang dia hadapi adalah bapaknya.

   Bapaknya adalah sosok yang tegas namun juga lembut. Beliau selalu mengajarkan kepada Derana bahwa lelaki itu harus tangguh, tidak boleh menangis ataupun memperlihatkan kesedihan dalam keadaan apapun.

   Kata bapaknya, laki-laki itu adalah pemimpin. Dan bagi seorang pemimpin, sudah selayaknya memiliki jiwa kepemimpinan yang tahan banting.

" Sudah...ayo sebentar lagi magrib, kita shalat bareng di masjid ya. Lekas pulang dan ganti bajumu. Kamu tidak mau ke masjid bau kambing kan?"

   Derana hanya bisa mengangguk pelan. Dengan langkah pelan dia berjalan pulang sambil menggiring kambing-kambingnya. Setiap langkah yang dia tapaki terbesit pula di pikirannya kapan hari-harinya akan terasa lebih ringan.

  Akankah hari itu datang atau cuma angan belaka.

***

DERANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang