Anak laki-laki itu memeluk lengannya sendiri, mencoba mencari kehangatan di tengah salju yang tak henti-hentinya berjatuhan. Asap mengepul dari mulutnya setiap ia mengeluarkan napas, setiap ia bersuara. Langit terlihat begitu gelap, walaupun matahari seharusnya memberikan kehangatan dan penerangan, tetapi seakan matahari sudah mati, menghilang dari poros rotasi bumi. Ia kembali menepuk lengannya sendiri, lalu memejamkan mata perlahan, tubuhnya sedikit menggigil. Jaket tebalnya tidak pernah bisa bertahan di situasi seperti ini.
Kakinya terasa membeku, berdiri di atas trotoar di pinggir jalan raya yang begitu kosong, tanpa satu pun kehidupan yang terlihat. Ia mendongak, menatap salju di atasnya yang jatuh perlahan mengenai kepalanya. Sarung tangan yang ia pakai, memiliki lubang kecil layaknya sudah tergigit tikus berkali-kali. Dan anak laki-laki itu menggelengkan kepalanya, menyingkirkan tumpukan salju dari atas rambutnya. Kepalanya menoleh ke belakang, mata coklatnya yang terlihat terang menangkap dua sosok anak kecil. Tertidur di atas tanah saling menindih satu sama lain. Umur mereka masih sekitar sepuluh tahun, dan mereka terlihat begitu mirip, kompak satu sama lain. Mereka berdua, kedua adik kembarnya itu terlihat begitu tenang, dan damai. Si adik perempuan bernama Sharon, dan adik laki-lakinya bernama Mark. Anak laki-laki itu tersenyum kecil, lalu kembali menghadap jalanan, seakan menunggu taksi untuk lewat dan memberinya tumpangan. Ia lalu memejamkan kedua matanya, berkata pada dirinya sendiri, kau bisa melewati ini, Samuel.
Samuel, nama yang sudah melekat padanya selama hampir dua puluh tahun. Diberikan oleh kedua orang tuanya, yang sekarang mungkin sedang mengawasinya dari atas sana. Kehidupannya tidak berjalan begitu baik, semenjak insiden itu terjadi. Satu tahun yang lalu—mungkin lebih—dunia begitu mengalami kehancuran. Samuel bahkan merasa bahwa ia tidak seharusnya terus mengingat betapa buruknya insiden tersebut. Tetapi seakan otaknya adalah sebuah kaset, ingatan itu terus terulang, terulang, dan terulang. Hampir setiap hari ia bisa mengingat setiap detail kejadian itu, kejadian yang merenggut banyak korban, kejadian yang membuat kota menjadi hancur seperti sekarang.
Samuel menoleh ke kanan, lalu ke kiri, ia dapat mengingat tempat ini. Sebuah jalan raya yang dipenuhi banyak gedung tinggi. Gedung tinggi dengan banyak huruf raksasa yang tertempel di bagian depan gedung, dan setiap malam, huruf-huruf itu akan menyala. Memberi warna di tengah kegelapan, memberi kesan bahwa London adalah kota yang begitu hidup, begitu cemerlang, begitu indah. Samuel tertawa kecil, terkekeh, mengingat bahwa itu hanyalah kenangan yang sudah lalu. Ia mendongak kembali, ke arah kanan. Melihat sebuah gedung yang agak membengkok ke depan, dan beberapa hurufnya sudah terjatuh, menyisakan sebuah huruf T yang masih tertempel dengan sempurna. Kacanya sudah sebagian rusak—sebagian besar rusak—memberi kesan seakan gedung itu hanyalah sebuah gedung tua, dan berhantu. Tetapi Samuel mengingatnya, itu adalah sebuah hotel. Hotel yang tidak pernah sepi pengunjungnya, dan sudah banyak orang terkenal yang pernah tertidur di atas sprai-sprai hotel itu.
Lalu Samuel menoleh ke kiri, ia dapat mengingat sebuah restoran kecil, yang dulu begitu sering ia kunjungi, kini tidak berwarna. Hanya debu yang menyelimutinya, dan salju menumpuk di atapnya yang memiliki banyak lubang kecil. Samuel menghela napas kembali, melepaskan sebuah lenguhan kecil, yang seketika mengejutkannya, bagaimana lenguhan itu tiba-tiba keluar begitu saja. Satu tahun yang lalu, entah bagaimana alasannya, seluruh energi listrik, menghilang. Menyisakan seluruh orang berada dalam kegelapan, berselimut dingin, dan mengandalkan api sebagai penerangan. Tak satupun alat yang memiliki energi, bahkan generator sekalipun kehilangan energinya secara tidak wajar. Samuel bisa mengingatnya, betapa takutnya ia di satu minggu pertama, saat ia tertidur dalam kegelapan yang begitu pekat. Kembali membuat bayangan bahwa monster di bawah kasur itu memang benar adanya.
Tetapi semua itu hanyalah permulaan bagi hancurnya umat manusia, hancurnya bumi. Selama sebulan, para pekerja mengupayakan seluruh hal untuk kembali membangkitkan listrik. Sungai, angin, panas, tetapi tak satupun yang berhasil, seakan listrik memang tidak pernah ada di dunia ini. Dan koran-koran bermunculan, mengatakan bahwa kejadian mengerikan itu tidak hanya terjadi di London, tidak hanya terjadi di Britania, tidak hanya terjadi di Eropa. Tetapi seluruh belahan dunia, seluruh benua. Dan akibat dari kehilangan tenaga itu?
Kapal laut kehilangan arah, tak sedikit pesawat yang saling menabrak, banyak orang terjebak di dalam lift yang membutuhkan waktu hampir dua hari untuk menyelamatkan mereka, dan yang lebih parahnya, adalah pangan tak bisa diproduksi secara maksimal. Pasalnya, ketika jaman sudah begitu maju, hampir semua benda menggunakan listrik untuk bisa bekerja. Kompor sudah tidak menggunakan gas lagi, tetapi listrik, lalu saluran air menggunakan listrik agar bisa menghantarkan air, dan pabrik tak lagi bisa bekerja. Banyak yang kehilangan kewarasannya karena itu. Tetapi semua hal itu hanyalah permulaan.
Satu setengah bulan setelah listrik menghilang, bencana kembali datang. Kali itu lebih besar. Guncangan. Gempa menghantam, secara bergilir, dari satu benua ke benua lainnya. Dan skala yang terjadi, tidaklah kecil, melebihi angka sepuluh. Berpotensi tsunami, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, air laut begitu tenang, ombak tetap menarik pantai, dan tsunami tidak terjadi. Tetapi kelegaan karena tidak terjadi tsunami bukanlah hal yang patut disyukuri. Seluruh gedung tinggi hampir jatuh, roboh. Beberapa rumah terbakar, karena api tidak bisa terkontrol, jalanan retak, hancur.
"Kak,"
Samuel menoleh, melihat Mark yang mengucek matanya, wajahnya terlihat begitu putih, agak pucat, tetapi Samuel tidak begitu terkejut. Wajah adiknya memang selalu seperti itu.
"Ya, Mark? Kau membutuhkan sesuatu?" tanya Samuel, ia selalu mengupayakan yang terbaik untuk kedua adiknya. Semenjak kedua orang tua mereka meninggal, dalam kecelakaan pesawat, ia selalu menjaga adiknya, menjaga mereka dengan baik. Dan selama setahun belakangan, ia telah melakukannya.
"Hari mulai gelap, dan Sharon mengeluh kelaparan," Mark menoleh pada saudara kembarnya yang berada dalam pangkuannya, dengan mata yang sudah terbuka tetapi terlihat malas, "tentunya aku juga. Kurasa sudah saatnya kita makan lagi. Bolehkah?"
Samuel menoleh pada tas punggung hitam yang berada di dekat kedua adiknya, ia melangkah mendekati tas itu, celana panjangnya yang berwarna abu-abu terasa lembap, dan ia menarik tangan jaketnya hingga menutupi telapak tangannya. Samuel lalu membuka tas itu, mengambil dua apel dan satu pir yang terlihat tidak lagi segar. Ia melempar ketiga makanan itu pada Mark, yang langsung ia tangkap dengan sigap. "Ingatlah bahwa musim dingin, pohon tidak akan begitu berbuah, jadi berhematlah, oke?"
Mark mengangguk, tidak menampilkan sedikitpun senyum, ia memberikan satu apelnya pada Sharon yang langsung duduk tegak, dan melahap buah merah itu. Samuel menutup tasnya kembali, menarik resletingnya dari ujung kanan ke ujung kiri. Ia kembali berdiri, melangkah menuju kedua adiknya, dan duduk menyilangkan kaki di dekat mereka. Ia mengusap kepala kedua adiknya, membersihkan rambut mereka dari salju, lalu mendekap keduanya di dalam pelukannya.
"Tetap bersamaku, oke? Kita pasti bisa melewati ini."
Mark menggenggam erat jaket kakaknya, dan Sharon menjatuhkan kepalanya ke dada Samuel. Mereka bertiga terdiam dalam waktu yang lama, dan salju tetap berjatuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
End of The Code
Science FictionSamuel adalah anak laki-laki yang hidup di tengah kota yang terbengkalai. Hidup bersama kedua adiknya sudah menjadi keadaan setiap harinya. Hingga suatu hari, puluhan orang asing datang dan mulai menangkap warga yang masih menetap di kota tersebut...