Samuel terbangun. Anak laki-laki berambut hitam itu terbangun dengan tiba-tiba. Kedua matanya membuka, ia berkeringat, dan napasnya begitu cepat. Ia merasakan sedikit desiran angin di kulitnya, dan punggungnya seperti tertusuk banyak jarum pada saat yang bersamaan. Ia terbaring telentang, dan hal pertama yang ia lihat begitu membuka mata, adalah langit berwarna biru yang sangat cerah. Dengan beberapa awan kecil yang melewati langit itu. Samuel kembali bernapas dengan cepat, hawanya terasa begitu hangat, bahkan agak panas, ia masih bisa mengingat betapa mengerikannya perasaan yang jarum itu berikan padanya, dan Samuel mengernyitkan alisnya.
Langit begitu terasa cerah, dan kehangatan menjalar di dalam tubuhnya. Samuel terbangun, ia menegakkan tubuhnya, merasakan bahwa punggungnya sedikit sakit. Lalu hal selanjutnya yang ia lakukan, adalah sebuah teriakan kecil. Bukan karena sebuah rasa sakit, tetapi karena sebuah keterkejutan.
Ia terbaring di atas rerumputan hijau, yang terhampar luas, sangat luas. Ada beberapa orang lainnya yang juga terbaring tak jauh darinya, lalu beberapa orang lainnya terlihat sudah berdiri dan kebingungan. Samuel dapat melihat seorang laki-laki yang mungkin seumuran dengannya, berambut pirang, dan ia menoleh ke kanan dan kiri dengan cepat, ketakutan jelas terpancar di wajahnya.
Samuel menoleh lagi, menatap orang lainnya, seorang perempuan yang juga seumuran dengannya, berambut panjang dan tengah menggigit kukunya. Samuel lalu mencoba mencubit kakinya sendiri, rasa sakit seketika menjalar menusuknya. Jelaslah bukan sebuah mimpi, pikirnya.
Ia lalu mencoba untuk berdiri, tetapi ia terjatuh, kakinya terasa begitu lemas, dan ia mengerang pelan. Samuel menahan tubuh dengan kedua tangannya, ia lalu kembali mencoba untuk berdiri, dan ia berhasil. Kini ia berdiri tegak di tengah sebuah hamparan rumput, dan beberapa... puluh orang yang berbaring di atasnya. Samuel mengedarkan pandangannya, hamparan rumput ini begitu luas, dan mereka terbaring dengan acak, dengan jarak yang jauh antar individu.
Lalu hal selanjutnya yang Samuel sadari, adalah dinding yang begitu tinggi. Mungkin enam atau tujuh puluh meter tingginya. Begitu tinggi. Ia harus mendongak dan memicingkan mata untuk melihat ujungnya yang terpapar sinar matahari. Samuel melihat dinding itu terukir, membentuk sebuah pola acak yang tidak begitu jelas. Dan yang membuatnya semakin terkejut, adalah dirinya tidak hanya berdiri menghadap satu dinding, tetapi, ia—mereka—tengah dikelilingi empat dinding yang masing-masing dindingnya setinggi tujuh puluh meter.
Seperti sebuah kotak. Dan hamparan rumput luas membentang memenuhi bagian dalam kotak ini.
Lalu, di salah satu sudutnya, ada sebuah hutan kecil, tetapi terlihat kering dan tidak terawat. Samuel meremas bajunya sendiri, menyadari kalau jaketnya sudah ditarik lepas dari tubuhnya. Ia bernapas berat, ketakutan kembali menyelimutinya. Dinding-dinding itu menjulang begitu tinggi, hingga bisa membuatnya merasa mual. Dan sejauh apapun ia memandang, tidak terlihat ada sebuah pintu pada dinding itu, satu-satunya yang terbuka adalah atap kotak itu, yang jelas tidak ada.
Samuel mengelap keringat yang mengalir di pelipisnya dengan lengan bajunya, menyadari panasnya begitu menyengat layaknya sebuah musim panas. Lalu ia kembali mencoba mengingat banyak hal, musim dingin, adalah musim yang seharusnya terjadi saat ini. Musim dingin, salju, angin. Tetapi entah mengapa semua itu bertolak belakang dengan apa yang sedang dialaminya saat ini.
Panas. Berkeringat. Kering.
Samuel menoleh kembali pada orang-orang, sebagian besar dari mereka sudah terbangun, juga terlihat sama bingungnya dengannya. Mereka semua terlihat masih remaja, seumuran dengannya kurang lebih. Ia dapat melihat seorang laki-laki dengan rambut merah, lalu sebuah perempuan yang berketurunan Asia, juga seorang perempuan yang berkulit kecoklatan.
Samuel mengerang pelan, kepalanya terasa begitu mengerikan. Seakan seperti banyak serangga tengah menggerogoti otaknya, ia terjatuh kembali, memegangi kepalanya yang berdenyut dengan keras. Samuel lalu mencoba untuk melangkahkan kakinya, menuju dinding terdekat, yang berjarak sekitar dua puluh meter darinya.
Ia mendekati dinding itu, menyadari warna abu-abu membuatnya tampak lebih seperti batu daripada dinding. Ia bersandar di sana, menempelkan punggungnya pada sisi dinding yang rata, lalu ia kembali terjatuh. Samuel terduduk dengan punggung yang tersandar pada dinding, rasa sakit di kepalanya tidak tertahankan.
Ia mencoba untuk memikirkan Mark dan Sharon, mereka berdua jelas sekali tidak akan mengalami hal yang lebih baik dari keadaannya saat ini. Samuel mencoba memijat keningnya, merasakan sensasi pijatan itu membuat kepalanya sedikit lebih baik. Samuel lalu mencoba untuk menahan rasa mualnya.
Perubahan suhu yang tiba-tiba, lalu ketakutan yang berlebihan, kondisi terkurung di sebuah tempat aneh, lalu banyak orang yang berada bersamanya, seluruh hal aneh ini membuat perutnya bergejolak, meronta membuat Samuel tambah mual.
Ia melihat beberapa orang yang sudah berdiri, kini bergetar. Ketakutan. Bahkan ada perempuan dengan air mata yang mengaliri pipi. Samuel ingin mencoba untuk menenangkan mereka sekua, ingin mencoba untuk menolong mereka semua. Tetapi ia bahkan tidak bisa menolong dirinya sendiri. Ia ketakutan. Membuatnya memikirkan yang mungkin terjadi selanjutnya, setelah semua hal aneh yang telah terjadi, membayanginya. Alhasil, membuat rasa sakitnya bertambah.
Di sudut lainnya, Samuel dapat melihat sebuah pondok kecil, mungkin cukup untuk empat atau lima puluh orang, dan di dua sudut sisanya, tidak ada apapun. Hanyalah rumput yang menghilang di sudutnya. Samuel kembali mencoba memijat keningnya, menahan muntahnya untuk tidak keluar. Ia seakan sedang berada di dalam penjara, menunggu waktu untuk dieksekusi mati.
Lalu sebuah suara berdebum yang nyaring terdengar, begitu keras, seakan pengeras suara mengelilingi dinding. Berdebum itu kembali terulang, dan Samuel tidak dapat menemukan darimana asal suara itu. Beberapa orang berteriak, menutup telinga mereka, lalu menangis.
Samuel menyadari dirinya adalah salah seorang yang cukup terlihat... kuat. Samuel terkekeh, menggelengkan kepala, apa yang ia coba pikirkan untuk saat ini? Suara berdebum itu terulang terus, ada jeda selama lima detik di setiap suaranya terulang, dan Samuel tidak dapat menghitung sudah berapa kali suara berdebum itu terjadi. Samuel kembali mencoba berdiri, rasa sakitnya sudah digantikan dengan rasa penasaran, penasaran apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini, apa yang akan terjadi pada mereka.
Samuel kembali berjalan ke tengah, berkumpul dengan kerumunan orang, dan berusaha sebaik mungkin tidak membuat dirinya mencolok. Lalu suara berdebum itu berhenti, Samuel menunggu hingga sepuluh detik, dan suara itu tidak kembali. Mereka semua seketika terdiam, tak ada suara satupun yang terdengar, dan yang menangis seketika menghentikan tangisannya. Lalu, suara pertama yang terdengar adalah dari atas.
Sebuah burung yang berkeok dengan keras, mengepakkan sayapnya, lalu melesat turun ke bawah. Mereka semua terkejut, seakan tidak mengharapkan burung itu untuk jatuh ke bawah. Lalu, si burung hinggap di salah satu pundak laki-laki yang berambut pendek dan sedikit ikal. Laki-laki itu sedikit terkejut, tetapi ia terlihat kembali tenang tak lama setelah itu.
Lalu, burung berbulu putih itu mengedarkan pandangan, seakan menatap seluruh orang satu-persatu. Samuel dapat melihat mata burung itu yang mengkilap, seperti sebuah berlian hitam, seperti sebuah kaviar. Lalu burung itu seketika membuka mulutnya, dan sebuah suara muncul dari dalam mulut itu, seakan sebuah radio, dan kalimat yang keluar dari mulutnya, mengejutkan Samuel seketika.
"Selamat datang di Cage."
KAMU SEDANG MEMBACA
End of The Code
Science FictionSamuel adalah anak laki-laki yang hidup di tengah kota yang terbengkalai. Hidup bersama kedua adiknya sudah menjadi keadaan setiap harinya. Hingga suatu hari, puluhan orang asing datang dan mulai menangkap warga yang masih menetap di kota tersebut...