Samuel tertegun sejenak, pikirannya berkecamuk, seluruh ingatan nostalgia seakan berlari marathon di dalam otaknya. Suara yang sudah sangat lama, suara yang sangat membawa banyak kenangan. Ia sedikitnya bahagia, bisa mendengar sebuah suara yang membangkitkan kenangan masa-masa indahnya. Tetapi ia kembali mencoba berpikir rasional, sudah satu tahun semenjak terakhir ia mendengar suara Clove itu. Dan sekarang benda itu tiba-tiba saja mendengungkan mesinnya, listriknya. Samuel mengernyitkan alisnya, mencoba bertanya pada dirinya sendiri, bagaimana hal itu bisa tiba-tiba muncul begitu saja. Ia menoleh ke arah ambang pintu, mencoba memprediksi darimana dengungan itu berasal, dan dengan sebuah batukan kecil mendesak keluar dari tenggorokannya, Samuel melangkah menuju jalanan kembali.
Langkahnya terasa begitu cepat, seakan sebuah harapan muncul dalam dirinya. Mungkinkah Clove itu akan menyelamatkan mereka semua dari tempat ini? Dari kedinginan ini? Samuel tidak memungkiri bahwa kedua sudut bibirnya terangkat ke atas secara otomatis, ia tak dapat mengendalikannya. Dengan sebuah langkah terakhir, Samuel menginjak tumpukan salju, memberi sebuah jejak sol sepatunya di atas salju itu. Ia menoleh ke kiri, lalu ke kanan, mencoba mencari darimana dengungan itu berasal, di mana Clove itu berada.
Tetapi seketika, suaranya semakin mengecil, bukan menjauh, tapi mengecil. Telinganya bisa mendengarkan perbedaan dari sebuah suara yang menjauh, dan sebuah suara yang mengecil, dan ia dapat meyakinkan dirinya sendiri bahwa benda itu kehilangan suaranya. Samuel mencoba berlari pelan, merasakan dingin telah membuat celananya menjadi lembap, dan lututnya terasa kaku. Ia harus mengetahui dimana Clove itu berada. Api harapan telah benar-benar membara di dalam dirinya. Apakah ini saatnya para penegak hukum itu akhirnya berhasil menyelesaikan tugasnya, dan mulai menyelamatkan orang-orang? Jika memang benar adanya, maka ia akan begitu senang. Mungkin ia akan menangis.
Kakinya masih berlari, melangkah dengan cepat, lututnya mulai melemas, seakan tubuhnya yang sudah berminggu-minggu tidak berolahraga, mulai dipompa kembali. Gedung-gedung hancur ia lewati, dan tiba-tiba saja sebuah kaca yang seukuran dengan tinggi tubuhnya, jatuh ke tanah tepat beberapa meter di depannya, hancur menjadi banyak serpihan, membuat sebuah suara nyaring yang nyaris tak bisa telinganya tahan. Samuel seketika berhenti, berhenti dengan mendadak, terkejut dengan sangat keras. Seluruh kerangka tubuhnya seakan bisa melompat keluar dari tubuhnya. Lalu ia menoleh ke atas, melihat sebuah gedung yang sedikit membengkok ke depan, tidak terlalu tinggi, tapi juga tidak pendek. Sebuah kantor kecil kemungkinan, Samuel tidak bisa mengingat dengan jelas. Dan dari penglihatannya, ia dapat melihat sebuah kaca lainnya sedang tergantung di atas sana, masih menempel pada satu sisi, Samuel menelan ludahnya sendiri. Lalu ia melangkah mundur, dan tepat pada langkahnya yang kedua, kaca itu terlepas, melesat jatuh dengan kecepatan tinggi, dan menghantam tanah, menghancurkan dirinya sendiri. Tepat beberapa saat sebelum kaca itu mendarat, Samuel menutup kedua telinga, dan kedua matanya. Walaupun ia masih bisa mendengar dengan jelas suara nyaring itu, tetapi telinganya tidak begitu terasa sakit seperti tadi.
Setelah beberapa saat ia terdiam di sana, Samuel kembali mencoba berlari, mencoba mencari asal Clove itu, suaranya kini tidak terdengar lagi, hanyalah suara angin yang begitu keras. Samuel sampai di pertigaan, dan ia dengan tanpa berpikir, berbelok ke kanan, menggunakan insting pribadinya. Tetapi seketika ia terkesiap, seperti sebuah pemukul besi di hantam ke dadanya.
Ia melihat banyak sekali manusia. Manusia yang sama seperti dirinya. Terlihat kotor, mengerikan, bau, baju compang-camping, dan banyak hal buruk lainnya. Mereka semua seakan muncul dari dalam gedung-gedung, terlihat kebingungan. Kemungkinan besar mereka juga bertanya-tanya tentang Clove itu. Samuel merasakan sedikit kehangatan dalam dirinya, mengetahui bahwa banyak orang selama ini berada di dekatnya. Ia bisa melihat hampir semua orang sedang memgedarkan pandangannya, menatap orang lainnya, atau menatap langit, atau hanya sekedar menengok ke kanan dan kiri. Samuel baru saja hendak memanggil salah satu dari mereka, ketika sebuah teriakan terdengar dari belakangnya.
Samuel seketika menoleh, menoleh dengan tajam, teriakan tadi terdengar begitu nyaring, di tengah keheningan yang terjadi. Begitu nyaring dan... menakutkan. Ia melangkah mundur, lalu kembali terdengar teriakan, tapi kali ini jenis suaranya berbeda. Ini adalah teriakan dari orang yang lain. Samuel mengedarkan pandangan, lalu seketika ia mendengar teriakan ketiga, kali ini datang dari ujung yang ada di depannya, dari ujung di mana orang-orang membentuk sebuah barisan. Dan Samuel dapat melihat semua orang sama-sama melihat ke arah sumber teriakan.
Samuel menelan ludahnya, lalu tiba-tiba sebuah jarum melesat dari belakangnya. Menembus udara, melesat di samping telinganya, dan jarum itu seketika tertancap di leher seseorang yang berada tak jauh di depannya. Samuel bisa meraskaan napasnya terhenti, jantungnya berhenti bekerja untuk beberapa detik. Orang itu berteriak, berteriak dengan keras, seakan jarum itu tidak hanya menancap di sana, tetapi juga merobek kulit dan dagingnya. Samuel terpaku, tubuhnya seketika berkeringat, ia menoleh ke belakang, begitu perlahan, dan tergagap. Lalu ia dapat melihat seseorang dengan sebuah seragam berwarna putih, dengan kacamata hitam, dan topi yang juga menutupi kepalanya, berdiri di belakangnya dengan sebuah senapan panjang yang ia acungkan.
Ia lalu bisa merasakan sebuah jarum lainnya melesat melewatinya, kali ini tidak hanya melewati, tetapi juga merobek sedikit jaketnya, lalu tertancap di orang yang berada tak jauh darinya, dan kejadian yang sama terjadi, orang itu berteriak untuk sesaat, sebelum ia terjatuh dan tertidur—atau mati. Dalam hitungan detik berikutnya, hampir seluruh orang terlihat begitu panik, mereka semua berhamburan, memudahkan si penembak untuk melaksanakan tugasnya. Ia menembak dengan cepat, tetapi tak satupun yang terlihat diarahkan pada Samuel.
Dan instingnya, menyuruhnya untuk berlari. Berlari, menghindari kegilaan ini. Berlari untuk mencari kedua adiknya yang kemungkinan juga sedang terancam. Tetapi ketakutan masih menyelimutinya, kakinya masih tidak bisa ia gerakkan. Tangannya meremas pahanya sendiri, pikirannya memerintahkan kedua kaki itu untuk bergerak, tetapi seakan sebuah paku telah terpasang di kedua kakinya, mereka berdua tidak bisa bergerak sama sekali. Lalu dengan semakin kerasnya Samuel meremas pahanya, menancapkan kukunya di pahanya sendiri, kedua kakinya telah kembali padanya. Dan hal yang langsung ia lakukan adalah berlari, memikirkan kedua adiknya yang sedang tidak berada dalam pengawasannya. Langkahnya begitu panjang, dan cepat, ia mencoba mengerahkan tenaganya semaksimal mungkin. Ia berbelok ke kiri, lalu ke kanan, menyeberangi perempatan, lalu berbelok ke kiri.
Ia mempercepat larinya, dan dalam belokan terakhirnya, belokan ke kiri, ia dapat melihatnya. Kedua adiknya sedang berada di tangan salah satu seseorang yang berseragam putih. Rambut Sharon ditarik, diseret, dan Mark telah tidak sadarkan diri. Samuel mengertakkan giginya, ia mulai merasakan air mata menggenang di kelopak matanya. Samuel kembali berlari, ia meneriakkan nama Sharon dan Mark berulang-ulang, membuat Sharon dan laki-laki berseragam itu menoleh padanya. Samuel bisa melihat senyuman kecil merekah di wajah kecil Sharon, dan Samuel terus berlari tanpa henti.
Tetapi, ia merasa seakan dirinya tergigit. Samuel menoleh pada kakinya, sebuah jarum tertancap di sana, dan seketika, yang terjadi selanjutnya, adalah tubuhnya terasa begitu panas, sangat panas. Rasa dingin yang ia biasa lalui seakan menghilang, tergantikan oleh rasa api yang membakar tubuhnya. Ia merasa seakan seluruh sendinya berputar, seakan lehernya dipatahkan, sikunya dibengkokkan kedepan, dan jari-jarinya melilit satu sama lain, tetapi ia dapat melihat semuanya masih begitu normal. Tetapi rasa sakit tetap menjalar di tubuhnya, ia berteriak, berteriak sekeras yang ia bisa. Dan hal selanjutnya yang ia bisa pastikan, adalah kegelapan menyelimuti dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
End of The Code
Science FictionSamuel adalah anak laki-laki yang hidup di tengah kota yang terbengkalai. Hidup bersama kedua adiknya sudah menjadi keadaan setiap harinya. Hingga suatu hari, puluhan orang asing datang dan mulai menangkap warga yang masih menetap di kota tersebut...