De ja vu

5 2 0
                                    

"Woy, jalan dong! Panas nih, woy! "
"Kagak punye mata apa lu? Liat nih, buset dah, macet kagak ade ujungnye!"
"Bujubuneng dah, lu pada! Ude tau, ni Jakarta. Ye gini macet! "
"Woy, bocah! Kagak tau aturan ape lu! Macet ni woy! Maen serabat–serobot aje lu pada! Aje gile dahhh! "

Huft. Pagi kesekian yang ku lewati di tempat ini. Obrolan "seru" tadi adalah pelengkap kisahku disini. Siapa yang tahu, bahwa esok lusa, hal ini akan menjadi awal baru bagi kehidupanku.
Tapi, tak akan ku ceritakan sekarang. Saat ini, aku tengah "berjuang" untuk keluar dari kemacetan terkutuk ini agar dapat sampai di kantorku tepat waktu.

07.30

Aku sampai. Tersengal. Baju rapi nan wangi yang sudah ku persiapkan sedari malam. Rambut yang tersisir rapi. Entah bagaimana, setibanya aku di kantor, hilang tak berbekas.
Tapi aku tak perduli.
Aku lebih memikirkan bos galak itu. Bagaimana aku akan menghadapinya sekarang?
Hari ini aku membawa berkas penting yang akan menjadi bahan rapat beliau pagi ini. Beliau memintaku untuk datang pagi - pagi sekali. Pukul 7. Tapi sekarang sudah terlambat. Terlewat setengah jam.
Entah beliau sudah tiba disini atau tidak.

Deg.
Jantung ini terasa terhenti ketika aku sampai di meja kerjaku.
Hah, kosong? Astaghfirullahal'adzim.
Aku baru menyadari bahwa kantor sengaja diliburkan hari ini.
Karena hari ini adalah hari jadi kantor. Dan aku juga baru ingat bahwa rapat itu diundur hingga minggu depan.

Apalah arti "perjuangan"ku melewati kemacetan tadi?
"Aaahh, bego!! Kok bisa sih, aku lupa hari ini kantor libur? " Aku menjambak rambutku sendiri. Menyadari kebodohanku. Akhirnya, aku memutuskan untuk kembali ke kamar kos pengap-ku itu.

Kembali bertemu dengan kemacetan. Panas. Obrolan "seru" sepanjang perjalanan. De ja vu.

Hidup memang begitu membosankan bagiku. Entah hingga kapan aku akan memandang hidup ini lebih bermakna. Apakah setelah aku mempunyai harta banyak? Kekuasaan? Atau pendamping hidup?
Entahlah. Hanya Allah yang tahu.

08.15

Aku akhirnya tiba di kosan-ku. Perutku lapar. Memang, sejak tadi aku tak sempat mengisinya.
Merebus mie adalah pilihan terbaik bagiku. Bukan karena apa-apa, aku memang menyukainya. Mie goreng.

Aku menyantap dengan penuh semangat. Kini, aku telah mendapatkan jawaban atas satu pertanyaanku. Apa aku bahagia? Saat ini, iya. Dengan definisi yang—ku karang sendiri—sesuai dengan keadaanku dan cukup untuk membuatku puas. Bahagia itu terbebas dari kelaparan.
Apakah definisi ini sudah benar? Tak akan berubah? Entahlah. Aku pun tak tahu. Biar Allah membiarkan waktu yang menjawabnya.

Apakah bahagia juga dapat diartikan sebagai keadaan saat kita dipertemukan dengan seseorang yang akan mendampingi hidup kita? Aku tak tahu. Mungkin iya. Mungkin juga tidak.
Yang jelas, saat ini aku tak berani memberikan definisi bahagia yang seperti itu pada diriku. Mengurus diri pun aku tak becus, lantas bagaimana pula aku akan mengurus anak orang dan anakku nanti?

Sampai sini saja dulu. Aku kekenyangan. Mau langsung tidur. Aku tak tahu lagi mau bercerita apa. Kantorku libur. Selamat tidur diriku. Dan selamat tidur juga calon pendamping hidupku. Tulang rusukku yang belum kutemukan.
Sampai jumpa. Semoga kita cepat bertemu. Wahai tulang rusukku, beserta impian - impianku.

DARE TO DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang