12. Twelve

54.4K 8.8K 1.7K
                                    

4 jam sebelumnya

08.30 a.m.

Setelah selesai mengantar Jaemin, Mark kembali kerumah sakit untuk menjenguk Tante Na, sebab tadi Mark belum menyempatkan diri masuk ke dalam bilik Mamanya Jaemin. Saat pemuda bersurai coklat itu hampir sampai pada ruangan Tante Na, ia mendapati Bi Ina terduduk lemas di depan pintu dengan tatapan kosong, sesekali menggigit jarinya. Mark mengernyitkan dahinya bingung.

"Bi, ada apa?" Tanya Mark panik.

"Nyonya kambuh lagi, kali ini lebih parah." ucap Bi Ina parau.

Mata Mark membola, segera ia mengintip keadaan dalam ruang pasien lewat kaca kecil pada pintu. Begitu terkejutnya ia saat melihat sekitar 5 petugas medis mengerubungi mamanya Jaemin.

Mark berjongkok, menyamakan posisinya dengan Bi Ina.

"Bibi udah coba ngehubungin Om Bambang belum buat ngasih tau keadaan Tante Na?"

Bi Ina mengangguk. "Udah bibi coba, tapi sama sekali nggak diangkat."

"Apa aku telpon Jaemin ya bi?"

Bi Ina menggeleng. "Jangan den, nanti malah den Nana nggak konsen sama lombanya." larangnya.

"Yaudah deh bi." Mark menghembuskan nafasnya kasar, lalu ikut menyenderkan dirinya di samping Bi Ina. Pikirannya kalut, wajahnya kini sudah ditelungkupkan di sela-sela lipatan tangannya yang terlipat di atas lutut. Lelaki berdarah Canada itu hanya hanya bisa memohon kebaikan pada tuhan untuk kesembuhan mamanya Jaemin.

🐁🐁🐁

11.49 a.m.

Mark menoleh kala mendengar suara decitan karena pintu ruangan terbuka dan didapati seorang dokter yang sudah berdiri di ambang pintu. Langsung saja Mark berdiri dari duduknya, menyejajarkan dirinya supaya berhadapan langsung dengan sang Dokter.

"Dok, bagaimana keadaan pasien?"

Yang ditanya malah menghela nafas pasrah, membuat Mark sedikit was-was. "Saya selaku perwakilan dari pihak medis mohon maaf yang sebesar-besarnya, meskipun sudah berusaha sebaik mungkin, namun kami semua tak bisa merubah takdir. Dan barusan ini"

Mark tak bergeming, ia cukup tahu apa yang selanjutnya akan dikatakan oleh Dokter.

"Nyonya Na menghembuskan nafas terakhirnya."

Mark membatu. Tante Na yang selama ini sudah menganggapnya dan Haechan sebagai anaknya telah tiada. Ia rasa dirinya harus memberitahu Jaemin. Mungkin saja Jaemin sudah selesai dengan lombanya.

Sudah berkali-kali Mark menelpon Jaemin, namun sampai saat ini panggilan itu tak kunjung terhubung, padahal nomor Jaemin sedang aktif. Ya, Mark tidak tahu kalau sebenarnya saat ini ponsel Jaemin ada di tangan panitia dalam keadaan silent. Jadi ia pikir mungkin Jaemin tak mendengar panggilan masuk darinya.

Mark semakin kalut, apalagi baru saja dokter meminta supaya salah satu anggota keluarga Tante Na untuk segera menandatangani surat pengurusan jenazah supaya jenazah Tante Na bisa langsung diurus. Namun sialnya sampai saat ini ayahnya Jaemin maupun Jaemin sendiri belum membalas panggilan darinya.

"Apa aku telpon Haechan dulu ya?" batin Mark, lalu mendial kontak dengan nama 'Si Embul' pada ponselnya.

Tanpa menunggu lama, panggilan yang ditujukan pada Haechan tersambung.

[✔️] Fanboy | NominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang