"Hei, Bu Siska kan uma ingetin lo kalau masuk kelas itu jangan telat. Apalagi telatnya hampir sejam gini," Azka mengomentari perilaku buruk Yogi, teman sekelasnya.
"Gue nggak suka diatur-atur. Lo mending nggak usah sok-sok ngebela guru pelacur ini." Yogi tidak terima dan memaki gurunya dengan perkataan yang tidak pantas.
Azka tidak terima mendengar gurunya diperlakukan kurang ajar seperti itu. Dia mengangkat kerah baju Yogi. "Lo punya mulut dijaga."
Teman-teman sekelas melerai mereka. Termasuk Bu Siska yang tampaknya sangat khawatir dengan kegaduhan itu.
"Udah, Ka. Nggak jangan dilawan," pinta Bu Siska.
"Nggak bisa, Bu. Dia udah kurang ajar ke Ibu. Nggak bisa dibiarin." Tangannya masih mencengkeram kerah Yogi. "Jangan mentang-mentang lo anak ketua yayasan, lo bisa semena-mena."
"Ka, Ibu mohon. Lepasin."
Setelah mendengar permohonan Bu Siska, Azka mengalah dan melepas cengkeramannya.
"Gue nggak terima. Awas aja lo nanti, ya, Ka. Lo juga, pelacur. Lo nggak bakal aman abis ini. Liat aja!" ancam Yogi mengacungkan telunjuknya ke Azka dan Bu Siska. Kemudian dia keluar kelas walaupun jam pelajaran belum usai.
Semua murid di kelas terkejut mendengar penyataan Yogi. Yogi memang dikenal keras kepala. Statusnya sebagai anak ketua yayasan membuat dia kerap bertindak semena-mena. Guru-guru tidak berani menghukumnya. Mentok-mentok hanya berupa teguran saja yang dianggap lalu oleh Yogi.
Bel pulang berbunyi. Bu Siska memanggil Azka.
"Makasih tadi udah ngebelain Ibu. Kamu nggak perlu sampai sejauh itu."
"Sama-sama, Bu. Saya hanya melakukan yang benar."
Sebenarnya, Azka mengagumi Bu Siska diam-diam. Kekagumannya itu bahkan tumbuh menjadi rasa suka. Karena itu, dia tidak terima Bu Siska diperlakukan dengan rendah oleh Yogi.
"Saya pamit dulu, Bu."
Bu Siska mengangguk sembari tersenyum. Seusai Azka pergi dan seisi kelas telah kosong. Wajah Bu Siska mendadak mendung. Kekhawatiran melanda hatinya. Wanita berusia tiga puluh tahun itu ketakutan setengah mati.
Di perjalanan pulang, Yogi mencegat Azka. Anak itu bersama teman-temannya. Totalnya ada empat anak. Mereka berencana mengeroyok Azka.
"Lo belum ingat perlakuan lo ke gue tadi, kan?"
"Masih untung lo nggak gue bonyokin," sahut Azka dengan berani.
Yogi tidak membalas ocehan Azka. Dia memberikan aba-aba kepada temannya. "Sikat aja, Gaes."
Sebenarnya Azka jago bela diri. Namun menghadapi empat orang sekaligus terlalu berat untuknya. Dia kalah dan dihajar habis-habisan.
"Angkat nih anak. Gue mau lihatin ke dia gimana aslinya Ibu guru kesayangannya itu."
Azka berlumuran darah. Wajahnya bonyok. Mereka mengangkat laki-laki itu ke kantor yayasan. Kemudian melemparnya ke dalam ruang ketua yayasan.
Azka terbatuk-batuk. Dia berusaha membuka matanya yang lebam. Begitu mengarahkan pandangannya ke ruang pertemuan, seketika dia terbelalak menyaksikan pemandangan di hadapannya.
Bu Siska kaget mengetahui Azka sedang memandangnya. Tubuh telanjangnya disaksikan murid kesayangannya. Dia malu, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Ada empat laki-laki paruh baya mengelilingi Bu Siska. Mereka adalah ketua yayasan dan para direksi yayasan. Semuanya telanjang. Pak Aryo, salah satu direksi, memencet remot di tangannya. Sesuatu yang menancap di memek Bu Siska tiba-tiba bergetar. "Aaaaaah," desah Bu Siska panjang dan lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dongeng Seribu Satu Lendir
Roman d'amourKumpulan cerita lendir yang siap membuat seluruh bagian tubuhmu tegang. Langsung cekidot aja, Gan.