Bagian XII Kehilangan Terbesar

424 3 0
                                    

Ahmad terlonjak kaget dan langsung melompat bangun dari tempat tidurnya. Dia menatap langit-langit gua yang mulai bergetar tapi tak lama getaran itu berhenti. Perlahan suara gaduh mulai terdengar dari luar ruangan, dan baru saja Ahmad hendak memeriksanya, tiba-tiba Ali melongokkan kepalanya dan langsung berteriak, “serangan, cepat bangun !” teriaknya sambil bergegas pergi.

Ahmad melihat tempat tidur disebelahnya, tampaknya Acep sudah bangun lebih dulu, dan Hafidz masih mendengkur di tempat tidurnya. Dengan cepat Ahmad menghampiri Hafidz lalu mengggoyangkan tubuh Hafidz dengan cepat, berusaha untuk membangunkannya. “Bangun Fidz, ada serangan !” seru Ahmad. Hafidz membuka matanya, mengerjapkannya sebentar dan langsung ditarik Ahmad menuju ruang utama gua.

Semua sudah berkumpul, anak-anak yang lebih kecil tampak memeluk para penjaganya dengan wajah ketakutan bahkan beberapa mulai menangis, sementara orang dewasa mulai keluar dengan membawa senjata di tangannya. Hiruk pikuk ini begitu terasa hingga Ahmad beberapa kali harus merapatkan tubuhnya di dinding gua memberi jalan pada orang-orang yahg bergegas lewat.

Ahmad menebarkan pandangannya. Dilihatnya Ali sedang sibuk menggiring anak-anak kecil untuk berjalan menuju dinding gua. Setengah berlari, Ahmad langsung menghampiri Ali kemudian menggamit tangan salah satu anak kecil yang tampak kebingungan, berdiri di tengah ruangan. “Kapan serangannya ?” tanya Ahmad ketika akhirnya tiba di tempat Ali, sementara anak kecil yang tadi dipegangnya, kini mulai berlari, berkumpul dengan teman-temannya. Tiba-tiba semua terpekik sambil menundukkan kepala dan melindunginya dengan tangan ketika ledakan dasyat tiba-tiba terdengar hingga menggetarkan dinding gua. Ali menggelengkan kepalanya dan memeluk salah satu anak kecil yang mulai menangis. “Entahlah, aku tadi dibangungkan Imam, dan tiba-tiba sudah terdengar banyak suara ledakan” jawab Ali

Ahmad menebarkan pandangannya. Semua tampaknya sudah berkumpul di ruang utama. “Mana Hafidz ?” tanya Ali tiba-tiba. Ahmad menoleh kebelakang, taidnya dia pikir Hafidz mengikutinya. “Tadi ada di belakangku” kata Ahmad, tapi tampaknya Ali  tidak mendengarnya, dia semakin sibuk menenangkan anak-anak kecil yang mulai menangis. Ahmad akhirnya ikut membantu Ali menenangkan anak-anak itu dengan mata yang terus mencari Hafidz. “Sudahlah, cari dia, aku takut dia melakukan tindakan bodoh, kamu tahu kan kalau dari seminggu kemarin dia selalu ngomong ingin ikut berperang ?” seru Ali.

Memang benar, sudah seminggu ini Hafidz selalu mengutarakan keinginannya untuk maju ke medan pertempuran jika terjadi lagi serangan, bahkan beberapa kali petugas penjaga menemukannya menyelinap masuk ke ruang senjata.

Rasa panik mulai mendera Ahmad ketika dia tidak menemukan Hafidz di ruang utama. Mudah-mudahan dia tidak melakukan sesuatu yang bodoh, gumam Ahmad dalam hati. “Sudah, cepat cari dia, anak-anak ini aman denganku” seru Ali. Akhirnya, sambil meminta maaf karena tidak bisa membantu, Ahmad mulai bergegas, bergerak mencari Hafidz. Dia langsung berlari menuju lorong utama gua yang mengarah keluar, perasaannya mengatakan kalau Hafidz sedang mengendap-endap untuk berusaha keluar. Ahmad tidak bisa membayangkan jika sesuatu sampai terjadi pada Hafidz, dia pasti akan merasa sangat bersalah.

Tiba-tiba seseorang menarik tangannya dan membentaknya ketika Ahmad hampir tiba di mulut gua. “Mau kemana ?” bentak orang itu dengan cepat. Ahmad mengenali orang itu sebagai salah satu pasukan yang dikirim untuk membantu mereka beberapa bulan yang lalu. “Teman saya hilang” teriak Ahmad mencoba mengimbangi suara bising. “Jangan keluar, berbahaya !” teriak orang itu sambil mendorong Ahmad kebelakang. Ahmad jatuh terjerembab kemudian meringis sambil memegangi pantatnya yang sakit. Dengan sebal Ahmad kembali berdiri dan berlari kembali ke ruang utama gua.

”Ada ?” teriak Ali ketika melihat Ahmad kembali ke ruang utama gua. Ahmad menggeleng, “belum ketemu !” teriaknya sambil berlari menuju salah satu lorong gua. Acep yang melihat Ahmad berlarian, langsung menyerahkan anak-anak kecil yang dijaganya ketangan Imam, “tolong, titip dulu, aku mau ngejar Ahmad” seru Acep. Imam mengangguk, dan membimbing anak-anak itu kearah sisi gua.

Journey : Buku Ke-2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang