Bagian XVII Perjalanan Terakhir

429 12 3
                                    

Tak banyak yang bisa kuingat setelah kejadian terakhir selain rasa sakit di sekujur tubuhku. Lebam dimana-mana terutama bagian dada, wajahku bengkak, tangan dan kakiku sulit untuk bergerak. Kemudian makhluk dengan jubah hitam itu yang membantu aku dan yang lainnya, mereka adalah Antelon.

Entah keberuntungan, tapi akang selalu bilang kalau itu adalah takdir. Para Antelon menemukan kang Hafidz dalam keadaan terdesak dan membantunya. Hingga akhirnya kang Hafidz dibawa ke dalam pesawat mereka. Tapi kang Hafidz berontak dan memaksa untuk melakukan pencarian terhadap tim kami. Alhamdulillah, kang Hafidz dan para Antelon datang pada saat yang sangat tepat.

Kami dirawat dan diperlakukan dengan baik, layaknya tamu kehormatan. Makanan, pakaian, semua tersedia sangat banyak. Sayangnya hal itu tidak bisa menutupi rasa sedih kami ketika tahu bahwa kang Ahmad harus kehilangan kakinya. Dengan tekhnologi Versalius, Antelon, bahkan Verisatus, tetap saja tidak mampu mengembalikan kaki kang Ahmad hingga akhirnya kang Ahmad harus menggunakan kursi roda. Tapi kang Ahmad tidak tampak sedih, sepertinya dia sangat tabah dalam menerima semuanya, padahal aku sendiri, beberapa minggu setelah menerima kabar tersebut, hatiku masih tetap ciut kalau melihat keadaan kang Ahmad.

Kini yang tersisa hanyalah Aku, dan kelompokku, Adam, kang Hafidz, dan beberapa orang dari kampung sebelah. Sementara mereka yang menjadi kelompok utama sepertinya tidak berhasil sampai pada tujuan. Kang Roni yang paling terpukul menyadari kang Wawan tak akan kembali, sementara kang Ali, dia tampaknya sudah bisa melepaskan kakaknya.

Kang Adam mengalami depresi yang sangat berat. Kehilangan sahabat terbaik tak pernah mudah. Akang selalu menemaninya, menenangkannya dan tampaknya perlahan keadaan kang Adam mulai membaik. Walau begitu, rasa khawatirku ada pada akang. Walau akang terlihat tegar, tapi kadang ketika sendiri dia tak mampu lagi menyembunyikan perasaannya. Kang Andri, kakak kami semua ternyata tidak pernah kembali. Kami merasa sangat kehilangan, tapi pukulan terbesar tentu ada pada diri akang.

Tiga bulan akhirnya kami lewati dalam pesawat ini. Berkumpul dengan sekitar tiga ratus lebih manusia, versalius, verisatus, dan antelon, dan menyaksikan perang yang entah kapan akan usai.

***

 Ahmad duduk sambil menatap kaluar melalui jendela pesawat yang berbentuk bundar. Bayangan Bumi tampak begitu kecil, begitu jauh, hati kecil Ahmad kembali rindu untuk kembali ke sana. Tangannya tetap memainkan kalung yang kini tersampir di lehernya, dan benaknya kembali terbang mengingat seseorang yang tampaknya tak akan pernah kembali.

Tiba-tiba pintu ruangan terbuka diikuti dengan sosok makhluk tinggi dengan jubah hitam yang bergerak lambat menghampiri Ahmad.

“Seharusnya kamu masih istirahat” kata mahkluk itu dengan suara parau.

Ahmad membungkukkan kepalanya, “terima kasih Valuret, tapi aku bosan berdiam diri terus di kamar” jawab Ahmad dengan suara pelan.

Selama ini Veluret lah yang telah merawat Ahmad. Antelon bijak dan baik hati itu dengan telaten merawat luka Ahmad, bahkan tak henti-hentinya mencobakan tekhnologi baru supaya Ahmad bisa kembali berjalan dan akhirnya menyerah ketika Ahmad menolak untuk terus berusaha.

“Kaum Neera memiliki tekhnologi yang dinamakan jerat hidup, mereka katanya bisa membangkitkan kaum yang mati, mungkin kamu ingin mencobanya ?” tanya Veluret.

Ahmad tersenyum, dengan lembut dia menggelengkan kepalanya, “sudahlah, bukannya aku menyerah, tapi kenyataannya belum ada tekhnologi yang bisa membantu hybrid. Lagipula aku tidak keberatan seperti ini” kata Ahmad.

Mata hitam besar Veluret menatap Ahmad, lalu tangan kurus dengan jari kecil panjang tampak menjulur membelai kepala Ahmad. “Aku lama hidup di antara manusia, dan aku tahu arti kata menerima” kata Veluret, “kamu selalu saja membuatku kagum” gumamnya membuat Ahmad hanya bisa menunduk dengan wajah tersipu.

Journey : Buku Ke-2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang